Aku berdiri di sampingmu, mencoba mencari perbedaan dirimu yang sekarang dengan dirimu tiga puluh tahun lalu. Dalam setelan jas lengkap, aku masih bisa melihat sisa-sisa ketampanan dan keras kepalanya dirimu. Tahi lalatmu masih di tempat yang sama. Hidungmu masih tinggi. Entah kau masih mendengarkan permintaanku dulu atau tidak, tapi aku tersenyum saat mengetahui bahwa perutmu tidak membuncit meskipun kau tidak sekurus dulu. Bola matamu? Ah, kenapa kali ini tidak kau buka matamu. Aku ingin berkaca sekali lagi di sana. Lantunan rosario membawa pikiranku terbang ke tiga puluh tahun silam, saat jiwa kita masih begitu muda dan bergairah. Saat mimpi dan optimisme adalah dua sahabat terbaik. Sampai akhirnya hari itu tiba, di suatu Desember yang seharusnya ceria. Di saat orang-orang sibuk menyambut kelahiran Mesias, di saat lagu-lagu natal yang ceria dan menghangatkan jiwa diputar di mana-mana, di saat itulah pengetahuanku tentangmu berhenti. Penuaan mungkin menyerang hampir se...