Entah keberanian macam apa yang membuatku berani kembali menemui
Raya dan entah apa yang membuat Raya masih mau menemuiku. Dua tahun lalu, aku pamit padanya untuk meninggalkan kota ini hanya
melalui sebuah pesan singkat. Dia begitu marah padaku saat itu.
Hari ini, kami akan bertemu di tempat yang sama seperti
dulu, di stasiun kereta itu. Aku ingin tersenyum jika mengingat perjalanan
pertamaku bersama Raya. Kami berjalan kaki di tengah kota Jakarta, berkilo-kilo
meter, siang hari bolong, saat matahari persis di atas kepala. Tangguh dan
bertenaga kuli ternyata berbeda tipis, dia sama sekali tidak mengeluh saat itu.
Kami tidak menonton bioskop seperti anak muda kebanyakan,
kami memilih masuk ke museum terdekat, berteduh dan berbincang di sana. Kami
memilih museum bukan karena kami pemuda yang idealis, melainkan karena kami
pemuda yang berkantong tiris. Harga tiket bioskop bisa sepuluh kali harga tiket
museum, lagipula, di bioskop kami tidak boleh berisik, di museum, kami boleh
bercerita sepuasnya.
Aku melihatnya sedang berjalan ke arahku. Dia melambaikan
tangan. Saat itulah aku tahu, kami sama-sama sangat menantikan perjalanan ini.
“Mau kemana kita hari ini?” tanyanya riang.
“Get Raya to guide you,” kataku.
Hari ini, kami kembali menyusuri jalan yang sama. Tidak
banyak yang berubah, kios-kios masih di tempat yang sama, debu dan polusi udara
masih bersemayam, matahari masih menyengat. Aku masih banyak bercerita dan Raya
masih senang mendengarkan. Kantong kami memang sudah tidak setiris dulu, kami
bisa saja membeli tiket bioskop sekarang, tetapi aku ingin berjalan lagi di sebelahnya,
selama berjam-jam, menikmati momen yang entah kapan akan terjadi lagi.
Raya begitu mengasihiku. Aku tahu itu. Dia seperti rumah
dengan pintu yang selalu terbuka untukku. Tapi aku tahu, akan ada hari dimana
pintunya tidak lagi terbuka, karena aku tidak akan pernah bisa menjadi penghuninya. Akan ada hari dimana dia berhenti menungguku.
Raya begitu merdeka, wanita pejuang, memperjuangkan apapun
yang dia mau, termasuk akupun dia perjuangkan. Hal yang sedikit wanita mau lakukan, memperjuangkan ketimbang menunggu. Aku tidak pernah mengatakan bahwa
aku mengasihinya seperti dia mengasihiku. Karena aku tahu, aku tidak akan
pernah memperjuangkannya, Raya tahu itu dari awal. Satu hal yang Raya perlu
tahu, tidak pernah mengatakan bukan berarti tidak pernah merasakan.
Di penghujung hari, kami saling melambaikan tangan. Saat itu, kami sama-sama menyadari, bahwa mungkin ini untuk yang terakhir kalinya.
Kau pernah bilang, tak perlu membedakan selamat tinggal dan selamat datang, keduanya tersirat dalam lambaian tangan.
-Sapardi Djoko Darmono
Comments
Post a Comment