Jati keluar
dari kamarnya untuk menemui seseorang. Ia agak takjub dengan tempat ini saat
pertama kali tiba. Tempatnya begitu hening, rindang dan sejuk. Bagai oase di
tengah-tengah Jakarta yang polusi dan bisingnya luar biasa. Wisma Petapa
namanya, tempat mencari oase rohani bagi mereka yang merasa membutuhkan.
(bersambung)...
Jati sudah
membuat janji dengan seorang Frater. Frater adalah panggilan yang digunakan untuk calon Pastor. Frater ini tiga tahun lebih muda
darinya, Frater Lintang namanya. Frater Lintang yang akan mendampingi
proses “pertapaan” Jati selama di wisma. Seorang yang wajahnya teduh,
pembawaannya sangat lembut, dan auranya membawa kegembiraan. Ia sudah menunggu
di tempat yang dijanjikan, di bawah pohon
besar, dengan kursi dan meja yang dibuat dari batu.
“Jadi, apa
pertanyaanmu?” tanya Frater Lintang pada Jati dengan senyum khasnya.
“Frater, bagaimana
Yesus yang mati di kayu salib ribuan tahun lalu bisa tetap relevan menjadi
penebus dosa manusia yang hidup saat ini?” dengan ragu Jati mengajukan
pertanyaannya. Ia malu karena pertanyaan ini sebenarnya sungguh mendasar, sedangkan
Jati sebagai seorang yang dididik sebagai Kristiani dari kecil belum juga
memahaminya.
Frater Lintang
hening sejenak, mencoba menyusun narasi dari buah pikirannya, “Sejak manusia
lahir, salah satu kebutuhan terbesarnya adalah ingin dicintai. Perjalanan hidup
manusia dipenuhi dengan pencarian cinta ini. Wafatnya Yesus di kayu salib dan
menebus dosa manusia adalah tanda cinta itu sendiri, tanda bahwa manusia sudah
dicintai tanpa syarat bahkan sebelum ia dilahirkan ke bumi. Yang sering kita
lupa adalah bahwa saya dan kamu, dan juga setiap manusia, kita sudah dicintai
tanpa syarat sekurang-kurangnya oleh Yesus sendiri. Kegembiraan dan kemerdekaan
karena manusia merasa dicintai dan bagaimana kemudian ia memberikan cinta itu
bagi sesama, disanalah bagian yang tak kalah penting.
Lalu, bagaimana
wafat Yesus ribuan tahun lalu dapat tetap relevan dengan saat ini? Jati, waktu
adalah konstruksi manusia. Tuhan tidak mengenal zona waktu. Tuhan adalah alfa
dan omega, awal dan akhir. Istilah ribuan tahun lalu ada dalam konsep waktu
manusia, sedangkan penebusan-Nya sungguh terjadi di setiap waktu. ”
Jati
mendengarkan mencoba memahami sampai muncul pertanyaan berikutnya, “Hmm, lalu Frater,
bagaimana proses penebusan itu menjadi relevan bagi diri saya sendiri? Sulit
bagi saya membayangkan penebusan yang berlaku bagi semua orang itu juga berlaku
bagi saya.”
Frater Lintang
tersenyum dengan wajah teduhnya, tidak ada raut menghakimi sama sekali. Hal ini
membuat Jati diam-diam lega.
”Kembali
kepada pengalaman personalmu, Jati. Tentang bagaimana pengalaman personalmu
dengan Tuhan. Apakah kamu sungguh merasakan kedekatan dengan-Nya? Apakah kamu
merasakan bahwa Tuhan menghadirkan diri-Nya dan pertolongan-Nya lewat orang-orang
yang hadir dalam hidupmu?
Dengan
segala pengalaman hidup yang kamu lalui, bagaimana kamu memaknai cinta dan
penebusan Tuhan?”
Frater
Lintang memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membawa Jati pada relasinya
dengan keluarga dan sahabat, juga pada perjumpaan dengan orang-orang yang
membuat dirinya menjadi Jati yang sekarang.
“Dengan
menyadari bahwa dirimu sudah dicintai tanpa syarat, apa yang kamu rasakan?
Bagaimana kamu membalas cinta itu?” Frater Lintang melanjutkan pertanyaannya.
Mereka
berdua lalu terdiam. Angin sejuk membelai keduanya. Pengalaman dicintai tanpa
syarat memberikan kebebasan yang hakiki, mendorongmu untuk memberikan yang
terbaik, tidak hanya bagi yang mencintaimu, tetapi juga bagi orang lain agar
mereka turut merasakan cinta itu.
(bersambung)...
Comments
Post a Comment