Kejadiannya sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Saya
dan adik saya ikut pendakian ke Semeru untuk yang kedua kalinya, masih
penasaran karena pendakian pertama belum sampai puncak. Waktu itu Semeru masih
belum terlalu ramai, film 5 CM belum keluar. Ini pengalaman pertama saya
mendaki bersama orang-orang yang belum pernah saya temui dan saya kenal
sebelumnya. Mereka berasal dari suatu komunitas sosial yang peduli pada anak
pinggiran.
Sebelum pendakian, kita mampir menginap dulu di Malang, di sanggar
sosial, untuk anak-anak belajar dan bermain musik. Singkatnya, mata saya nggak
bisa lepas dari sesosok pria gondrong yang lagi asik bercanda sama anak-anak.
Pemandangan itu unik banget rasanya untuk saya. Berambut agak ikal, gondrong
sebahu, kuping beranting, penampilan agak sangar, tapi bisa bercanda seriang
itu sama anak-anak kecil.
Sorenya, saya lihat dia melatih beberapa anak
laki-laki main perkusi di halaman. Mereka membentuk lingkaran, dengan dua stik
di tangan dan tong biru besar di hadapan masing-masing. Dia melatih dengan sangat
serius, dua tangannya bergerak lincah, stiknya menari di atas tong. Rokok
yang terselip di bibirnya karena belum habis, menambah efek lain dari
permainannya sore itu.
“Dia perkusionis xxxx, Ka!” Salah seorang teman menyebut
penyanyi reggae Indonesia terkenal yang lagunya saya mainkan tiap pagi. Wow.
Ternyata, mungkin permainan perkusinya yang selama ini saya dengarkan tiap pagi
dari MP3.
Hari berikutnya, kami menginap di aula Gereja Katolik
Tumpang. Jam 5 pagi kami harus mulai perjalanan ke Ranu Pane, tapi sampai
hampir jam 12 malam, dia masih menceritakan berbagai lelucon. Satu lagi fakta
tentang dia yang saya ketahui, selera humornya bagus.
Pendakian dimulai. Saya mencoba menjaga jarak, menjaga
pandangan, berusaha sewajar mungkin. Sampai akhirnya, kami sampai di Ranu
Kumbolo untuk camping semalam di sini. Saya mengganti sepatu dengan sandal
gunung. Hmm, rasanya ada yang aneh dengan sandal saya. Ahaaa, ternyata sandal kanan
dan kiri saya motifnya memang sama, tapi ukurannya ternyata beda. Ah, nggak
mungkin sandal saya memuai segitu cepatnya.
Waktu saya jalan-jalan berkeliling, saya lihat dia memakai sandal
yang persis sama dengan yang saya pakai.
“Kayanya, sandal kita ketuker deh!”
Dia kaget, “Ah, masa?”
Saya kasih sandal yang saya pakai yang ukurannya lebih
besar ke dia.
“Oh iya ya. Haha. Kok bisa..”
Saya merasa seperti Cinderella.
Sepatu kaca dan sandal gunung ternyata tidak terlalu berbeda di sini. Hahaha.
Keesokan harinya, perjalanan berlanjut ke Kalimati. Kalimati
lebih dingin dari Ranu Kumbolo dan serpihan abu Mahameru sudah sampai di sini. Kalimati
jadi begitu syahdu ketika dia memanggil saya dari tempat memasak, “Sini Ran,
mau dibikinin susu atau teh?”
![]() |
Kalimati |
Jam 12 malam, kami siap mendaki Mahameru. Tengah malam, di
gunung, hanya ada cahaya bulan, bintang, dan headlamp. Sibuk mengatur napas,
menahan dingin, dan memperhatikan jalan membuat saya tidak tahu dimana dia. Apalagi,
anggota pendakian ini berjumlah sekitar 50 orang.
Entah bagaimana caranya, saat di batas vegetasi, saya dan
dia bertemu. Akhirnya, kami memutuskan untuk muncak bersama. Wohoooo, semangat
untuk menjejak Mahameru jadi berkali-kali lipat dari sebelumnya. Kita berdua
berhasil sampai di puncak sebelum matahari terbit. Salah satu sensasi muncak
yang nggak akan terlupakan.
Pendakian selesai, kembali ke kota, kembali ke rutinitas.
***
Beberapa bulan setelah pendakian, ternyata mereka akan
mengadakan pertunjukkan seni, drama musical di suatu gedung pertunjukkan di
Kuningan. Saya, adik saya, dan seorang teman memutuskan untuk hadir. Ini pertama
kalinya saya melihat dia perform di atas panggung. Dia memainkan perkusi,
gitar, dan keyboard, secara bergantian.
Selesai pertunjukkan, para penonton naik ke atas panggung
untuk berfoto bersama atau sekedar mengucapkan selamat. Dengan mengumpulkan
keberanian dari segala penjuru, dan diyakinkan oleh adik saya, akhirnya kami
naik ke atas panggung.
Saya lihat dia dalam balutan baju hitam, rambut ikal
yang semakin gondrong, dan senyum sumringah.
“Selamat, ya!” Saya mengulurkan
jabatan tangan.
Dan yang terjadi selanjutnya adalah reaksi yang tidak pernah
saya duga.
“Thanks ya udah dateng,” katanya menyambut tangan saya sambil memberi pelukan hangat.
Saya benar-benar tidak bisa mengingat, apakah saya membalas pelukannya,
atau mengejang kaku, atau malah berhenti bernapas. Yang saya ingat, sensasinya
seperti tubuh saya terbang menembus atap saat itu, padahal kejadiannya mungkin
hanya beberapa detik.
Turun dari panggung dan bersiap pulang, sensasinya masih
terasa. Ada badai endorphin yang mengisi penuh seluruh tubuh saya saat itu.
Bruk! “Aww,” saya teriak spontan.
Saya jatuh ke dalam proyek
galian di depan gedung pertunjukkan, yang untungnya tidak terlalu dalam. Tolol
betul. Saking senangnya, sampai nggak lihat-lihat jalan. Adik saya menertawai
saya tidak bisa berhenti. Hormon endorphin masih bekerja, sehingga saya tidak
terlalu merasa sakit. Saat saya sudah kembali normal, sakit dari luka-lukanya
baru mulai terasa.
Saya selalu berhasil tersenyum setiap mengingat kejadian
bodoh ini.
Ini dia cerita Cinta monyet saya yang paling berkesan. Apa
ceritamu?
![]() |
Sunrise Mahameru |
ciyeh ciyeh ciyeh
ReplyDeleteciyat! ciyat! ciyat! Mana cerita lo, La!
ReplyDelete