Kadang kita terlalu terburu-buru sampai lupa untuk
menikmati, tapi kali ini aku ingin menikmati desa kecil di kaki gunung ini
dalam keheningan malam. Ku lambatkan langkahku, aku ingin mengalami walkgasm di penghujung perjalanan ini. Belasan orang di depanku satu persatu tak kelihatan ranselnya lagi.
Tidak banyak suara yang terdengar, hanya jangkrik, aliran
air, dan sesekali terdengar gonggongan kambing riuh bersahutan karena merasakan
kehadiran kami yang mungkin asing bagi mereka. Ada beberapa rumah yang masih
menyetel radio keras-keras, terdengar sampai ke jalan, siaran radio sunda
rupanya. Suasana ini membawaku ke kampung halaman ibu, mengingatkanku pada
eyang yang dulu suka membawaku menonton pertunjukkan wayang golek di pinggir
sungai.
Aku begitu tertarik dengan satu rumah yang kulewati. Halamannya
luas, tidak berpagar, rumputnya rapi tertata. Belum ada rumah lain di kanan dan
kirinya. Bangunan rumah bernuansa putih itu tidak terlalu besar, banyak jendelanya,
ada sepasang kursi dan sebuah meja menghiasi berandanya yang kira-kira
berukuran 3x3 meter. Sangat sederhana tapi begitu teduh. Aku jatuh suka pada
rumah itu kurasa.
Setelah melewati rumah itu beberapa langkah, tiba-tiba aku
sadar, aku pernah tinggal di rumah yang serupa itu, rumah orang tuaku versi
belasan tahun yang lalu.
Rumah yang sederhana dengan banyak jendela. Halaman kami
tidak terlalu luas tapi cukup untuk ibu memelihara beberapa jenis tanaman. Tidak
ada pagar besi, hanya pagar bambu kira-kira setinggi perut untuk membatasi
halaman dengan jalan.
Dulu ibu menanam pohon pisang hias di pojok halaman sebelah
kiri, kami suka menggunakan buahnya untuk dijadikan taring drakula. Di bagian
tengah, tumbuh kembang mawar merah jambu yang jarang sekali ku petik, aku tidak
suka durinya. Ada daun talas yang sering aku ludahi, aku belajar kohesi dan
adhesi dari sana. Ada tanaman yang berdaun ungu, daun sirih yang tidak pernah
berhasil tumbuh dengan sempurna, dan entah apa lagi, aku tidak ingat. Di
beranda kami ada bale bambu,
menjelang senja, aku suka tidur-tiduran di sana sambil membaca buku cerita.
Dulu, di sekeliling rumah kami masih kebun kosong, kebun
singkong tepatnya. Bangun pagi, membuka jendela, tidak ada tembok yang
mengalangi. Jika hujan turun, suara kodok masih terdengar bersahut-sahutan.
Waktu berlalu. Tidak ada lagi mawar merah jambu, apalagi
pohon pisang hias. Rumah kami tidak punya halaman tanah lagi sekarang, sudah
berganti dengan semen. Pagar bambu sudah menjadi pagar besi. Kebun singkong
sebelah rumah sudah berganti menjadi tembok tinggi rumah tingkat dua. Suara
kodok sudah menjadi suara dari knalpot motor. Modernisasi? Ah.
Gerimis mengembalikanku pada kekinian. Walkgasm-ku memudar perlahan. Kupercepat langkahku. Seorang teman
menungguku di depan.
Walkgasm.hm nice.wkwk pin juga ahhh
ReplyDeleteselamat ber-walkgasm :p
ReplyDelete