Gunung Guntur, 2249 MDPL |
Semua akan ada waktunya, jika kita memang benar – benar
mengusahakan. Termasuk pendakian Guntur kali ini, akhirnya terwujud setelah dua
kali gagal. Untuk pertama kalinya saya mendaki ketika bulan Ramadhan, dengan
harapan gunung akan lebih sepi dari biasanya. Tim perjalanan kali ini adalah
empat orang teman dari KMK MIPA, Hanna sang pawang babi hutan, Adel si koki
handal, Cici ahli bersih-bersih nesting, dan Andi si penyamun di sarang perawan.
Setiap perjalanan punya ceritanya sendiri, termasuk perjalanan
kali ini. Keanehan perjalanan kali ini sudah dimulai dari awal. Turun di Pasar
Rebo, kami langsung masuk ke bus tujuan Garut yang ternyata penuh dan tidak
ber-AC, begitu mau keluar, malah dimarahi oleh kondektur. Akhirnya, kami tetap
di dalam bus, duduk di bawah pakai jongkokan
panjang. Saat sedang asik tidur, kondektur membangunkan kami, meminta untuk
pindah ke bus lain. Sambil ngantuk, kami pindah bus. Begitu sampai di bus yang
baru, ternyata sudah lumayan penuh, kami memperoleh kursi-kursi sisa. Banyak
tukang asongan bolak-balik dan protes karena carrier yang kami bawa lumayan besar dan menghalangi jalan.
Yang paling menarik adalah pedagang jeruk yang begitu gigih
menawarkan dagangannya. “Hayu atuh, Teh. Amis pisan ieu jerukna. Teu bohong
abdi mah. Ngan sarebu sabiji. Biasana dua rebu. Kapahung, salah naek bus ieu
mah. Lobana panumpang nu rek arulin, kemping.” Begitu terus, sepanjang jalan
dari baris paling depan sampai baris paling belakang ke hampir setiap
penumpang.
Ternyata saya rindu suasana ramai pedagang asongan seperti
ini. Terakhir saya mengalami suasana seperti ini mungkin ketika kereta ekonomi
keluar kota masih boleh banyak pedagang berlalu lalang. Di saat setiap malam
saya tidur dengan nyaman di kamar, banyak pedagang, supir, dll. Yang sedang
berjuang di jalan.
Busnya memang tidak nyaman, tidur mungkin jadi kurang, dan
sampai tujuan jadi lebih lama, lalu? Tidak ada pilihan lain selain menikmati
perjalanan ini. Liburan adalah untuk keluar dari rutinitas, mengalami sesuatu
yang baru, dan tidak melulu tentang tujuan, tapi lebih tentang perjalanan. Here
we go!
Hutan Tertutup di Awal Pnedakian |
Dari catatan perjalanan yang kami baca, Gunung Guntur
memiliki ketinggial 2249MDPL, tidak
terlalu tinggi, tapi terkenal dengan jalurnya yang terjal, berpasir dan kerikil.
Kecil-kecil cabe rawit, katanya. Ternyata pendapat itu terbukti. Lepas dari pos
3, pemandangannya memang sangat cantik dan terbuka, tapi jalurnya sangat terjal
dan berkerikil. Benar – benar menguras tenaga dan kesabaran.
Kami mulai pendakian pukul 6 pagi, dan istirahat makan pukul
1 siang di bawah pohon cemara. Saat ingin mulai makan, tiba-tiba, tas selempang
Hanna yang berisi uang, kamera, dll, jatuh bebas menggelinding cantik, jauuuuh
ke bawah. Kami sempat bengong
sejenak, sampai akhirnya Andi berlari mengejar tas itu. Saya, Hanna, Adel, dan
Cici cuma bisa tersenyum miris, membayangkan Andi harus naik lagi lewat jalur
kerikil yang terjal itu dengan jarak yang lumayan jauh. Mangat, Ndi!
Jalur yang harus dilalui selepas pos 3 |
Akhirnya, jam empat sore kami sampai di puncak bayangan,
sebelum puncak satu. Langsung mendirikan tenda, ngemil, bermain 10 nyawa,
sedikit sesi curhat, lalu memasak. Semua terasa baik-baik saja, sampai
akhirnya, ada pendaki dari tenda seberang yang teriak, “Tenda gue disobek babi
hutan! Makanan gue diambilin.” Malam kami yang tidak tenangpun dimulai.
“Babi hutan menggunakan indera penciuman. Jadi, kita harus packing makanan dengan rapi, masukkan
dalam carrier, dan jangan sampai
tercium dari luar tenda,” Hanna memberikan instruksi. Beruntung sekali punya teman jalan orang biologi yang mengerti
berbagai macam satwa.
Selain kami harus waspada terhadap babi hutan, kami juga
harus waspada terhadap pencuri di Gunung Guntur. Berdasarkan catatan perjalanan
pendaki yang pernah ke sini, telah terjadi beberapa kali pencurian. Bapak yang
menjaga basecamp juga mengingatkan agar menjaga barang-barang berharga,
masukkan semua dalam tenda. Alhasil, tenda kami sangaaaaat penuh, karena semua
barang sekarang masuk ke dalam tenda. Carrier, sepatu, semua alat masak,
makanan, dll, harus kami atur sedemikian rupa sehingga kami berlima dan semua
barang bawaan bisa tidur bersama dengan nyenyak.
Naik gunung Edisi Ramadhan - Puncak 1 Guntur |
“Babi, babi, babi! Ndi, ada babi!!!!” Cici, Hanna, dan Adel
berteriak sambil berlari ke arah tenda. Mereka bertiga awalnya keluar tenda
untuk buang air kecil. Saya agak ngeri membayangkan, saat sedang buang air
kecil, tiba-tiba ada babi hutan di belakang. Andi langsung keluar membawa
nesting dan centong, untuk kemudian dipukul, menimbulkan suara yang semoga bisa
mengusir babi.
Setelah semuanya rapi, akhirnya sekitar pukul 9 malam, kami
merebahkan diri, bersiap untuk tidur. Tak lupa menyalakan headlamp dan MP3
keras – keras, agar babi hutan tidak berani mendekat.
“Yaah, masa jam segini udah tidur. Gw sering insom, jam 4
pagi biasanya baru bisa tidur,” Cici berceloteh sambil memakai sleeping bag.
Saya dan Andi ada di paling pinggir, Cici, Adel, dan Hanna
di tengah. Ada untungnya juga semua barang masuk, karena kami semua saling
berdekatan, jadi lebih hangat.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian, semua orang
sudah tertidur, termasuk Cici yang mengaku insomnia. Sampai akhirnya ada suara
babi yang terasa mendekat, Hanna dan saya langsung bangun. Kami
menggoyang-goyangkan headlamp, mengencangkan MP3. Setelah dirasa aman, kami
tidur lagi. Hal ini terus berulang sampai kira-kira pukul setengah 12 malam. Andi,
Cici, dan Adel tetap tertidur nyenyak, nyenyak sekali. Saya tidur dengan MP3
yang memekakkan telinga dan headlamp menyala, saya letakkan di atas perut.
Tiba-tiba, babi hutan terasa mengendus tenda di atas kepala
kami. Saya dan Hanna langsung terlonjak bangun, duduk, bercampur perasaan
kesal, kaget, dan lelah. Bisa bocor kepala, kalau dia menanduk. Haha.
Di Tenda, Sebelum Ada Gangguan Babi |
“Ndi, Del, ada babi!” saya dan Hanna mencoba membangunkan
mereka. Adel hanya membuka mata seklias sambil bergumam, “babi..” kemudian
tidur lagi dengan nyenyaknya. Sementara Andi refleks mengeluarkan suara aneh
dari mulutnya, “tak tok tak tok..” sambil mata tetap terpejam. Saya dan Hanna
hanya saling berpandangan, agak lucu melihat respon mereka.
“Tidur aja yuk, Han! Bodo amat deh. Apa yang terjadi,
terjadilah,” kata saya kepada Hanna. Baru kali ini kami tidur di tempat camp
dengan gelisah karena takut serangan hewan buas.
Akhirnya, kami semua bisa tidur dengan nyenyak. Rencana
muncak bersama mengejar matahari terbit dibatalkan. Demi keamanan
barang-barang, saya dan Hanna muncak terlebih dahulu, baru Cici, Adel, dan Andi
muncak setelah kami kembali ke camp.
Siangnya, kami berbincang dengan pendaki yang tendanya
disobek babi hutan, “Kecap, mie, mentega, semua diambil Mpok sama babi hutan!
Padahal kita udah tabur garem sama minyak kapak di sekitar tenda!”
“Harusnya pake minyak wangi, Bang. Mereka gak suka. Itu
mereka mau masak buat keluarganya kali ya. Sampe semuanya diambil,” kami
menimpali.
Akhirnya, pukul 12 siang kami mulai perjalanan turun.
Turunnya harus ekstra hati-hati karena jalurnya berpasir, sehingga sangat mudah
untuk jatuh tergelincir. Saya sangat menikmati pendakian kali ini. Semoga empat
teman saya yang lain pun demikian.
Sampai jumpa di pendakian selanjutnya!
Teman Perjalanan kali ini. Ki - Ka : Andi, Cici, Saya, Adel, dan Hanna |
Wkwkwkkwwk koplak amat! Babi oh babi~
ReplyDeleteHaha, harusnya judulnya, Tentang Aku dan Babi di Guntur
ReplyDeleteGuntur.. :)
ReplyDeleteHahaha... Ran babinya dimana... Kmrn blm lama aku k Guntur gda babi untungnya
ReplyDeleteDi lembahan sebelum ke puncak gitu Wi. Bagus doong gak ketemu Babi di sana :)
Delete