Jalur di Awal Pendakian |
Rencana awalnya adalah “merayakan” hari lahir di puncak
Kinabalu, Malaysia. Tiket dan paket pendakian sudah dibeli sejak awal tahun.
Tapi apa daya, Gunung Kinabalu ternyata terkena gempa, dan baru bisa didaki
sampai puncak di bulan Desember. Saya tahu berita ini H-10 keberangkatan. Cuti selama seminggu sudah disetujui supervisor.
Kinabalu boleh cancel,tapi saya tetap
ingin menyepi di gunung saat hari lahir. Ada satu nama yang langsung
muncul di pikiran, dan tanpa pikir panjang, saya langsung menghubunginya.
Jika orang yang memiliki teman naik gunung terpercaya dan
bisa diandalkan adalah orang yang beruntung, maka saya termasuk golongan orang
yang beruntung.
“Kinabalu gw cancel nih. Lu ada rencana naik gunung tanggal
3 – 8 Sept?” Saya mengirim pesan singkat kepadanya.
“Belum ada. Adain aja!” jawabnya singkat. Yeayy!
Sempat muncul beberapa pilihan, mulai dari Merapi, Lawu,
Sindoro, hingga Sumbing. Akhirnya, pilihan kami berakhir di Argopuro, gunung
dengan jalur terpanjang di Pulau Jawa. Gunung ini juga pas untuk tujuan utama
kami, menyepi dengan waktu yang cukup panjang, lima hari empat malam. Tiket
perjalanan dan logistik segera dibeli, rencana perjalanan segera dibuat. And here we are, ready to go...
Kembali melakukan perjalanan panjang untuk naik gunung, naik
kereta ekonomi jarak jauh, berbincang dan berbagi dengan orang asing, dan mengunjugi
tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya, ini kenikmatan yang luar biasa.
Belum lagi ditambah mendengar aksen warga lokal yang selama ini hanya didengar
di televisi dan melihat langsung budaya dan kebiasaan mereka. Travelling memang menyegarkan jiwa dan
raga. Travelling, as far as you can, as
much as you can, as long as you can, begitu kata pepatah.
Pendakian dimulai dari Desa Baderan saat hari mulai senja. Kami
berangkat sekitar pukul lima sore dan memutuskan akan berhenti pukul delapan
malam di tempat yang agak lapang, tidak harus sampai Pos Mata Air 1.
Pemandangan di satu jam pertama sudah sangat cantik. Kami sempat berhenti sebentar,
duduk dalam hening, menikmati senja yang jingga, matahari yang hampir terbenam,
dan suara alam yang begitu riuh. Tidak ada suara apa-apa selain suara angin,
burung, dan hewan hutan lainnya. Momen yang begitu mendamaikan.
Hari mulai gelap, jalur mulai terjal, dan badan mulai lelah,
karena sejak kemarin, kami belum benar-benar beristirahat. “Bintangnya banyak
banget! Setelah Rinjani, belum pernah lagi gw liat bintang sebanyak ini!”
kata saya kepada teman jalan. Lalu kami memutuskan untuk duduk beristirahat sambil
melihat ke langit. Tak beberapa lama kemudian, ada sebuah bintang jatuh, spontan, langsung mengucap harap dalam hati. Selama kami
duduk, beberapa kali terlihat bintang jatuh. Ah, Argopuro!
Pukul delapan malam, kami menemukan lapak yang agak besar,
akhirnya kami memutuskan untuk camp disana.
Kegiatan dilanjutkan dengan makan malam, setelah itu teman membuka peta, mengecek
ketinggian, dan memeriksa tentang jalur yang akan kami lalui, membuat
perencanaan untuk besok, lalu tidur.
(bersambung)
Ka crita argupuro ini lanjutannya begimana. Pnasaran.
ReplyDeleteHmm, belum dibikin si.
Delete