Aku menyukaimu sejak kita masih anak-anak. Aku menyukaimu
seperti aku suka mandi hujan, seperti aku suka berlari, dan seperti aku suka
belajar matematika. Tidak butuh alasan untuk suka mandi hujan, berlari, dan
belajar matematika, mereka seolah sudah tertulis di DNA ku. Serupa itulah aku
menyukaimu, sudah tertulis di DNA ku juga sepertinya.
Anak – anak tidak peduli pada kerumitan, tidak bisa berpikir
panjang, dan menyukai hal yang spontan. Aku tidak peduli bahwa doa yang harus
kita hafal ternyata berbeda, kamu harus hafal Al-Fatihah sedangkan aku harus
hafal Bapa Kami. Aku sangat bersyukur bahwa aku bisa bertemu denganmu selama hampir
setiap hari selama lima tahun. Aku gembira saat berlari bersamamu mengejar
lawan untuk menjaga benteng kita. Aku menyukaimu dengan sederhana, spontan, dan
tanpa kerumitan.
Tahun berlalu, aku dan kamu tumbuh dewasa, dan kita kembali
bertemu, saat kamu sudah bersama calon pasangan hidupmu.
Orang dewasa menyukai kerumitan, sudah bisa berpikir
panjang, dan penuh pertimbangan. Saat itulah kita sadar, bahwa doamu dan doaku
berbeda. Kita tidak akan pernah ada di benteng yang sama seperti dulu. Menyukaimu
tidak bisa lagi spontan, ada yang perlu dijaga agar kita tidak jatuh terlalu
jauh. Hubungan kita rumit, seperti headset kusutku. Yaa, kita memilih untuk
tinggal di kerumitan ini.
Aku bisa bercerita padamu seperti anak-anak bercerita pada
pada temannya tanpa rasa malu, aku bisa berlindung di sampingmu seperti aku
punya kakak pria yang luar biasa melindungi, aku bisa menyandarkan kepalaku di
bahumu seperti aku rebah di bantal bauku. Satu hal yang tidak pernah berubah
dari dulu adalah bahwa aku begitu percaya padamu. Aku percaya padamu tanpa
syarat, seperti anak-anak yang percaya pada Santa Claus bahwa mereka akan
mendapat kado terbaik di malam natal. Aku percaya bahwa kamu akan selalu memenuhi
ucapanmu.
Aku percaya padamu sampai siang itu tiba. Sampai saat aku
melihatmu makan bersama perempuan cantik yang jelas bisa menjadi makmummu nanti,
mungkin dia calon pasangan hidupmu, yang selama ini sering kita ributkan. Kita
saling menatap. Pandanganmu begitu dingin dan menusuk. Seolah aku telah
membunuh hewan kesayanganmu. Aku mencoba mencerna semua yang aku lihat.
Aku berasumsi itu adalah calon pasangan hidupmu. Sempat aku
memutuskan ingin kembali, menyalami perempuan cantik itu, lalu memberitahu aku
siapa. Ah, aku ternyata tidak seberani itu. Aku memilih untuk terus melaju dengan
pandangan yang semakin kabur dan mendadak merasa menjadi orang paling tolol
sedunia karena telah begitu percaya kepadamu.
Bukan salahmu, salahku yang terlalu mempercayaimu. Aku
belajar, bahwa yang paling menyedihkan dari ini semua adalah mulai meragukan
hampir semua ucapan yang pernah begitu aku percaya.
Aku ingin kembali menyukaimu seperti waktu masih anak-anak dulu.
Sederhana, spontan, dan tanpa kerumitan.
tjuy semangat! be dauntless. luvyu
ReplyDeleteSedihnya baca ini....
ReplyDelete