Alam memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan, tepat di
depan warung kelontong. Aku turun membeli amplop. Dia memberiku beberapa lembar
uang sekaligus pulpen. Kami akan segera menghadiri pernikahan sahabat Alam.
“Kamu terbiasa menulis namamu di amplop?” Aku bertanya
kepadanya heran. Aku kira hanya generasi ibuku yang masih menjalani tradisi
ini.
“Adatnya memang demikian, Raya. Kamu menulis namamu disitu
agar mereka tahu. Jadi suatu hari kamu mengadakan acara serupa, mereka tahu
harus memberi berapa,” katanya sabar.
Aku mendengar alasan yang persis sama dari ibuku ketika aku
protes padanya tentang mencantumkan nama di amplop. Ibuku masih menjalani
kebiasaan ini.
“Itu namanya pamrih dong. Mereka harus mengembalikan yang
telah kita berikan. Jadi, mereka malah berhutang kepada kita. Kalau kita ikhlas
memberi, kenapa kita harus menulis nama disitu?” aku memberondongnya dengan
pertanyaan.
“Kebiasaan di tempat kita, jika ada orang yang mau
mengadakan acara, biasanya tetangga diminta untuk menyumbang. Misal, telur satu
peti, beras satu karung. Mungkin bisa dibilang sebagai bentuk gotong royong.
Jadi, suatu hari kamu mengadakan acara serupa, tidak terlalu berat lagi untukmu
mendanai semuanya,” katanya masih mencoba menjelaskan.
Aku terdiam. Mencoba melihat dari sudut pandang yang lain
walau tetap masih sulit diterima. Untuk apa memberi sambil berharap suatu hari
mereka mengembalikan yang telah kita berikan. Jika memang kamu ada dan
tetanggamu membutuhkan, kenapa mereka jadi harus mengembalikan suatu hari
nanti? Kenapa tidak memberikannya dengan cuma-cuma sebagai bentuk ikut
berbahagia bersama mereka? Untuk apa suatu hari kamu membuat perayaan,
mengundang orang lain, agar mereka “membayar hutang”.
Bukankah sudah lebih dari cukup bisa merayakan dengan
sederhana hanya dengan bersama sahabat dan keluarga terdekat? Menurutku, amplop should be forbidden karena tujuan utama
merayakan adalah bersyukur dan berbagi kebahagiaan. Kehadiran dan doa dari
mereka sudah jauh lebih dari cukup.
Comments
Post a Comment