Skip to main content

Kapten Bentang

Aku berdiri di sampingmu, mencoba mencari perbedaan dirimu yang sekarang dengan dirimu tiga puluh tahun lalu. Dalam setelan jas lengkap, aku masih bisa melihat sisa-sisa ketampanan dan keras kepalanya dirimu.

Tahi lalatmu masih di tempat yang sama. Hidungmu masih tinggi. Entah kau masih mendengarkan permintaanku dulu atau tidak, tapi aku tersenyum saat mengetahui bahwa perutmu tidak membuncit meskipun kau tidak sekurus dulu. Bola matamu? Ah, kenapa kali ini tidak kau buka matamu. Aku ingin berkaca sekali lagi di sana.

Lantunan rosario membawa pikiranku terbang ke tiga puluh tahun silam, saat jiwa kita masih begitu muda dan bergairah. Saat mimpi dan optimisme adalah dua sahabat terbaik. Sampai akhirnya hari itu tiba, di suatu Desember yang seharusnya ceria. Di saat orang-orang sibuk menyambut kelahiran Mesias, di saat lagu-lagu natal yang ceria dan menghangatkan jiwa diputar di mana-mana, di saat itulah pengetahuanku tentangmu berhenti. 

Penuaan mungkin menyerang hampir seluruh tubuhku, tetapi tidak ingatanku tentangmu. Biar kuceritakan padamu sekarang. Hari itu, aku berjudi dengan keadaan. Jika kita tidak jadi bertemu, maka selesailah sudah. Dan ternyata, semesta tidak berpihak kepadaku. Kau tidak pernah bisa membuktikan bahwa kau bisa menemukan waktu primer untukku. Selesailah sudah semua di hari itu. Sempat kukirimkan pesanku yang terakhir untukmu. Bentang, betapa penting konsistensi antara ucapan dan perbuatan. Ah, sesungguhnya, akupun masih belajar untuk itu.

Aku mencintaimu, tetapi aku lebih mencintai diriku yang mencintaimu. Untuk itu, aku berhenti. Aku percaya, kita saling mengerti tentang apa yang terjadi, tanpa perlu konfirmasi. Jembatannya kita biarkan terbakar, dan ternyata, butuh tiga puluh tahun untuk membangunnya kembali, sampai akhirnya pesan itu tiba.. 

Aku terkejut saat melihat ada telepon masuk, tanpa nama, dari nomor yang rasanya pernah begitu aku hafal. 

"Halo?" Aku menjawab dengan nada canggung.

"Raya, kamu bisa hadir besok? Kamu salah satu undangan yang begitu diharapkan Bentang untuk hadir," suara perempuan menjawab dengan agak terisak. Mendengar namamu diucapkan, barulah aku sadar, ini nomor teleponmu.

Apakah kau masih ingat, aku pernah menceritakan mimpiku kepadamu, mimpi yang memberikan efek kesal ketika aku bangun. Biar kuceritakan kembali. Di mimpi itu, aku menerima telepon darimu, dan ketika ku angkat, yang berbicara adalah seorang perempuan yang paling aku cemburui.

Lantunan rosario masih belum berhenti. Aku masih berdiri di sampingmu. Perempuan yang meneleponku ternyata memang perempuan yang dulu paling aku cemburui, yang kini menjadi ibu dari anak-anakmu. Dia duduk sambil menahan isak. Di sebelahnya berdiri jelmaanmu saat muda dulu, yang aku yakini adalah anak laki-laki kebanggaanmu.

"Raya, kau janji mau hadir ke pemakamanku?" Kau bertanya seringan angin, di perjalanan kita yang pertama.

"Belum tentu kamu meninggal duluan. Lagipula, bagaimana aku tahu bahwa kamu meninggal?" Jauh di lubuk hatiku, aku begitu ingin menjadi yang mendampingimu jika hari itu tiba.

"Pesannya akan sampai kepadamu, entah bagaimana caranya," jawabmu mantap seperti menjawap pertanyaan dua ditambah dua.

Akhirnya hari pemakaman itu tiba. Untuk itulah aku berdiri di sini sekarang. Memenuhi undanganmu.

Jadi Kapten Bentang, apakah kau sukses membawa bahtera ini dan seluruh isinya berlayar? Apa kau sempat membacakan paseo di suatu Jumat Agung yang sendu itu? Apakah kau.. Ah, kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku? Tidakkah kau rindu bercerita kepadaku? Aku menghalau segera air mataku, berharap tidak ada yang melihat. 

"Ibu, ayo kita pulang," kurasakan lengan Jagat di pundakku, mengembalikanku pada kekinian.

"Aku turut berduka, Dik," pamitku pada istrimu sambil memberinya pelukan.

Comments

Post a Comment