Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2018

Pasti

Randu rebah di pangkuan Jati untuk pertama kalinya. Dengan canggung, Jati menyisiri rambut Randu yang tebal dan bergelombang dengan jarinya.  "Saya tidak tahu apakah saya bisa merubah keputusan saya," Randu berbisik. "Atau mungkin saya yang harus merubah keputusan saya," Jati membalas. Ia sedang menimbang-nimbang. Mungkin menunggu adalah salah satu bentuk usaha terakhir yang dapat dilakukan, karena tentu saja memaksa sama sekali bukan pilihan. Seperti lari berdua yang selama ini menjadi ritual bersama Jati dan Randu. Meskipun keduanya memiliki pace yang berbeda, tapi mereka tetap bisa menikmatinya. Memaksakan yang lebih lambat mengikuti ritme yang lebih cepat hanya akan menyiksa salah satunya. Pilihan yang mungkin adalah menunggu di tempat yang dijanjikan, memperlambat pace salah satunya, atau menjemput yang tertinggal setelah sampai pada titik tertentu. "Saya butuh kepastian darimu bahwa kita akan bersama-sama mengusahakan berada di garis fin

Dicintai Tanpa Syarat

Jati keluar dari kamarnya untuk menemui seseorang. Ia agak takjub dengan tempat ini saat pertama kali tiba. Tempatnya begitu hening, rindang dan sejuk. Bagai oase di tengah-tengah Jakarta yang polusi dan bisingnya luar biasa. Wisma Petapa namanya, tempat mencari oase rohani bagi mereka yang merasa membutuhkan. Jati sudah membuat janji dengan seorang Frater. Frater adalah panggilan yang digunakan untuk calon Pastor. Frater ini tiga tahun lebih muda darinya, Frater Lintang namanya. Frater Lintang yang akan mendampingi proses “pertapaan” Jati selama di wisma. Seorang yang wajahnya teduh, pembawaannya sangat lembut, dan auranya membawa kegembiraan. Ia sudah menunggu di tempat yang dijanjikan, di   bawah pohon besar, dengan kursi dan meja yang dibuat dari batu. “Jadi, apa pertanyaanmu?” tanya Frater Lintang pada Jati dengan senyum khasnya. “Frater, bagaimana Yesus yang mati di kayu salib ribuan tahun lalu bisa tetap relevan menjadi penebus dosa manusia yang hidup saat ini?” deng

Biasa

Jati sedang membaca catatan hariannya yang tidak setiap hari ia tulis. Besok peringatan hari lahirnya yang kesekian. Dia ingin mengingat kembali ada cerita apa beberapa tahun ke belakang. Hmmm, tidak terlalu berbeda dengan orang kebanyakan. Ada pengalaman menyenangkan dan menyedihkan, menemukan dan kehilangan, memperjuangkan dan melepaskan, mempercayakan dan mempertanyakan, melakukan kesalahan dan memetik pelajaran. Ada cerita dimana Jati mempertanyakan prinsip-prinsipnya, kehilangan kepercayaan dirinya, bahkan ketakutan setengah mati pada kesendirian dan kesunyian. Jati lupa bahwa sejatinya manusia memang sudah harus sendirian, bahkan sejak mulai tumbuh di rahim ibu sampai akhirnya ditanam ke perut bumi, dua tempat yang selalu sunyi. Ada cerita dimana Jati dibuat tertekan dengan target-target ciptaannya sendiri. Terburu-buru sampai lupa bahwa bagian terpenting adalah menikmati apa yang berjalan bersama sang waktu. Mudah hilang sabar saat apa yang diekspektasikan tidak sesuai denga