Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Rumit

Aku menyukaimu sejak kita masih anak-anak. Aku menyukaimu seperti aku suka mandi hujan, seperti aku suka berlari, dan seperti aku suka belajar matematika. Tidak butuh alasan untuk suka mandi hujan, berlari, dan belajar matematika, mereka seolah sudah tertulis di DNA ku. Serupa itulah aku menyukaimu, sudah tertulis di DNA ku juga sepertinya. Anak – anak tidak peduli pada kerumitan, tidak bisa berpikir panjang, dan menyukai hal yang spontan. Aku tidak peduli bahwa doa yang harus kita hafal ternyata berbeda, kamu harus hafal Al-Fatihah sedangkan aku harus hafal Bapa Kami. Aku sangat bersyukur bahwa aku bisa bertemu denganmu selama hampir setiap hari selama lima tahun. Aku gembira saat berlari bersamamu mengejar lawan untuk menjaga benteng kita. Aku menyukaimu dengan sederhana, spontan, dan tanpa kerumitan. Tahun berlalu, aku dan kamu tumbuh dewasa, dan kita kembali bertemu, saat kamu sudah bersama calon pasangan hidupmu. Orang dewasa menyukai kerumitan, sudah bisa ber

Mendorong Sampai Batas

Seberapa sering kita mendorong diri sampai ke batas? Berusaha dengan segala daya dan upaya, sampai akhirnya tubuh benar-benar menyerah karena tidak ada lagi kekuatan yang tersisa. Ada kepuasan tersendiri ketika kita sudah sampai di batas itu, kepuasan yang hanya kamu dan seluruh ragamu yang bisa merasakannya. Berikutnya, kita mencoba membuat batas-batas baru yang lebih dari itu sampai mendorong diri ke batas menjadi candu. Naik gunung membuat saya mampu mendorong diri sampai ke batas. Terus bergerak, selambat apapun, sambil meyakinkan tubuh bahwa kita masih bisa bergerak, sedikit lagi. Lalu seluruh tubuh menikmati setiap langkah yang perlahan semakin berat. Akhirnya, tidak ada kekuatan yang tersisa, selain memutuskan beristirahat sejenak. Saya juga menjadikan berlari sebagai sarana mendorong diri sampai ke batas. Terus berlari, memaksa kaki dan jantungmu berpacu pada kecepatan tertentu, terus melaju, sampai seluruh tubuh menikmati lelahnya, sampai kaki tidak lagi m

Detak, Denyut, dan Denting

Aku ingin lelap di dekat jantungmu malam ini sampai napasku dan detakmu menjadi seirama. Ambillah lenganku, rasakan denyut nadinya, biarkan hembusan napasmu mengikuti denyut nadiku.  Ya, sampai kita berdua menjadi seirama. Kamu dengar denting jam dinding sialan itu? Yang ketiga dari keberadaan kita berdua. Dia tuannya sekarang. Detak jantungmu, denyut nadiku, dan hembusan napas kita, harus tunduk kepadanya. Detakmu, denyutku, dan dentingnya sedang seirama sekarang. Alunan surga, katamu, nikmatilah! Ketika dentingnya berhenti, detakmu dan denyutku pun harus berhenti. Ah, aku ingin lelap di dekat jantungmu malam ini sampai napasku dan detakmu menjadi seirama. Matikan jamnya, agar tak perlu lagi kita dengar dentingnya.  Agar hanya kita berdua yang seirama.

Cerita dari Argopuro (1)

Jalur di Awal Pendakian Rencana awalnya adalah “merayakan” hari lahir di puncak Kinabalu, Malaysia. Tiket dan paket pendakian sudah dibeli sejak awal tahun. Tapi apa daya, Gunung Kinabalu ternyata terkena gempa, dan baru bisa didaki sampai puncak di bulan Desember. Saya tahu berita ini H-10 keberangkatan. Cuti selama seminggu sudah disetujui supervisor . Kinabalu boleh cancel, tapi saya tetap ingin menyepi di gunung saat hari lahir. Ada satu nama yang langsung muncul di pikiran, dan tanpa pikir panjang, saya langsung menghubunginya. Jika orang yang memiliki teman naik gunung terpercaya dan bisa diandalkan adalah orang yang beruntung, maka saya termasuk golongan orang yang beruntung. “Kinabalu gw cancel nih. Lu ada rencana naik gunung tanggal 3 – 8 Sept?” Saya mengirim pesan singkat kepadanya. “Belum ada. Adain aja!” jawabnya singkat. Yeayy! Sempat muncul beberapa pilihan, mulai dari Merapi, Lawu, Sindoro, hingga Sumbing. Akhirnya, pilihan kami berakhir di Argopu

Di Beranda yang Pertama

  Raya menemani Alam berbuka puasa hari ini. Ya, hanya menemani, karena Raya memang tidak perlu berpuasa selama bulan Ramadhan. “Mampir dulu, Lam?” tanya Raya dengan maksud hanya basa-basi saat Alam mengantarnya kembali ke kos. Sempat agak terkejut, ternyata Alam menerima tawarannya. Itulah pertama kalinya mereka menghabiskan setengah malam dengan berbincang di beranda. Kejutan, hadiah! Mungkin ini kata yang paling cocok untuk menggambarkan pertemuan mereka kembali. Keduanya tidak pernah lagi berani berharap bisa bertemu sejak sabtu malam dulu. Kemarau setahun dihapus hujan sehari. Tidak bertemu selama sembilan tahun dihapus dengan pertemuan sehari. Mereka berbincang sangat banyak malam itu. Saling mengisahkan apa yang terjadi selama mereka tidak berkomunikasi sama sekali. Begitu banyak yang terjadi, begitu banyak yang ditemui, sampai akhirnya mereka menyadari, bahwa ada bagian yang tidak pernah bisa terganti. Malam itu, barulah mereka tahu bahwa mereka hampir

Lorong Waktu

Raya mengambil jins belel dan flannel hijaunya, lalu mematung di depan cermin. Cermin di hadapannya mendadak menjadi lorong waktu, membawanya kembali ke masa putih merah, masa dimana puber saja bahkan belum dimulai. Petualangan Sherina, Sheila on 7, pramuka, permainan benteng, bermain sepeda, sekolah bocor, mandi hujan, dan berbagai kenangan berkelebat. Sebentar lagi, Raya akan menemui teman kecilnya, untuk pertama kalinya hang out bersama dalam usia yang tidak lagi anak-anak.   “Halo Lam,” sapa Raya agak canggung saat menemui Alam yang ada di kursi kemudi. Sabtu malam sembilan tahun yang lalu, mereka berdua memutuskan untuk tidak lagi berpacaran. Saat itulah terakhir mereka bertemu. Malam ini, mendadak Raya seperti kembali berumur lima belas tahun, kembali menjadi remaja yang canggung dan gugup. “Sehat, Ray?” tanya Alam dengan suara khasnya. Raya hanya berani melihat sekilas, potongan rambut Alam tidak berubah dari terakhir mereka bertemu. “Sehat,” jawab Raya sing

Api

Ada orang yang seolah-olah mendadak dihadirkan dari masa lalu ke masa sekarang. Tanpa sadar, kehadirannya mengubah   sistem dan rutinitas yang sudah bertahun-tahun telah dijalani tanpanya. Sempat kehilangan keseimbangan, tapi dari aromanya, ini berbau petualangan. Tantangan yang sepertinya akan menyenangkan. Akhirnya, lingkaran maya dibuat di atas tanah sengketa, lalu sepakat memutuskan untuk memantik api. Menari dengan gembira di tengah kobaran api yang seharusnya tidak pernah ada. Ada tiga kemungkinan. Pertama, keduanya lelah menari, lalu api padam, dan lingkaran maya menghilang tanpa bekas, seolah tidak pernah ada. Kedua, diusir dari tanah sengketa dan menari bersama sepanjang sisa usia. Ketiga, terbakar hidup-hidup, menjadi debu, lalu tertiup angin, tak bersisa apa-apa selain legenda cerita sedih. Belum diketahui apa yang akan menjadi akhir dari tarian mereka. Satu hal yang pasti, mereka masih menari dengan bahagia di tengah kobaran api. Asapnya tidak lagi berbau t