Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2020

Lega

Ini menjadi perjalanan singkat pertama kami setelah kampanye #dirumahaja didengungkan, setelah tiga bulan lebih benar-benar di rumah saja. Sukamantri di Ciapus menjadi destinasinya. Sukamantri selalu menjadi pilihan terbaik untuk menyepi sesaat dari hiruk-pikuk rutinitas. Kalau biasanya saya hampir selalu camping , kali ini hanya ingin trekking singkat bersama Will dan numpang makan siang di sana.   Dari terakhir turun mobil, kami masih harus jalan kaki sekitar satu jam. Terakhir saya menyambangi tempat ini adalah Januari 2018. Jalan dari rumah penduduk ke  Kujang Raider tidak banyak berubah, tapi saya lumayan terkejut sekarang ada resort  lumayan mewah di jalan berbatu menuju Sukamantri. Kejutan selanjutnya adalah jalan yang sudah mulus dari Kujang Raider sampai Camping Ground, dicor beton. Dulu masih tanah dan berbatu. "Wah, bisa ini untuk lari," kami berkelakar. Iya, bisa pingsan. Begitu memasuki Camping Ground, ternyata sekarang sudah lebih tertata lagi. Mulai dari pos p

Insecure

Sejak duduk di sekolah dasar, saya sadar bahwa betis saya lebih besar dari orang kebanyakan dan saya begitu tidak percaya diri karena hal ini. Betis tukang becak, kalau kata teman-teman sekolah. Komentar sederhana seperti, "Gila, betis lo gede banget ya, Ran" sudah biasa saya terima. Dari luar saya pura-pura cuek, padahal setiap memilih pakaian, saya selalu memikirkan bagaimana supaya betis saya kelihatan sedikit lebih kecil. Beberapa tahun belakangan, saya belajar bahwa tidak ada yang bisa dilakukan selain menerima bahwa tidak ada yang salah dengan betis besar. Akhirnya saya mulai berani dan percaya diri memakai celana pendek dengan bebas dan berterima kasih karena dengan betis ini saya bisa menyambangi puncak-puncak gunung.  Lain dengan ukuran betis yang di atas rata-rata, ukuran dada saya malah di bawah rata-rata. Andai kelebihan di betis bisa dipindahkan sebagian ke dada. Suatu hari, saat saya ingin membeli bra di mall, saya bertanya apakah ukuran sekian tersedia. Mbanya

Pohon Pikiran

Aku melihat kata-kata keluar dari telingamu Banyak sekali dan tak beraturan Kemudian mereka berputar-putar di atas kepalamu Terus menjalar dan semakin tinggi Menyerupai pohon yang telah berusia ratusan tahun Yang dahan dan daunnya kemana-mana Sementara akarnya tertanam erat di kepalamu.  "Kasihku, kau punya pohon pikiran!  Bolehkah aku memanjat kepalamu?" Kau mengangguk. Betapa aku ingin mengetahui isi pikiranmu! Akhirnya aku berada di bawah rindangnya pohon pikiranmu. Betapa menakjubkan. Bahkan ini lebih menakjubkan dari pohon-pohon istimewa yang selalu kita kagumi itu. Aku akan menelusuri setiap dahan dan daunnya yang terbuat dari kata-kata, tekadku dalam hati. Betapa buah pikiran di setiap ujung dahan itu begitu menggiurkan. Sayang sekali, belum selesai satu dahan, aku sudah ketiduran. Bagaimana tidak, satu dahan bisa terdiri dari berjuta-juta kata tak beraturan yang harus kupahami sendiri maknanya.  Jangankan sampai pada buah pikiranmu, sudah berkali-kali aku terbangun da

Growing Up

Growing up What are we supposed to see, to feel, to meet Growing up What are we supposed to miss, to keep, to leave When it hurts It hurts me When it hurts Still hurts every time One leaves, one ceases Growing up How are we supposed to give, to take, collate Growing up How are we supposed to love, to breath, to be When it hurts It hurts me When it hurts Still hurts every time We fall and we crawl Can anybody tell me Can anybody tell me Can anybody help me How to What to do Can anybody tell me Denizens of the deep Drifters of the current Where do we go Where do we seek? If not Within Within me Within you Within me Within you -Rara Sekar

Feminis

Saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang membuat saya meyakini bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara. Setiap orang harus mandiri dan bisa menghidupi dirinya sendiri, tidak peduli dia laki-laki atau perempuan. Setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing, memperjuangkan apa yang menurutnya berharga, mengutarakan apa yang dia inginkan, tanpa harus mempertimbangkan apakah dia laki-laki atau perempuan.  Sejak remaja, saya tidak bisa mengerti mengapa yang berlaku secara umum adalah para ibu yang melakukan pekerjaan rumah tangga, mendidik dan mengurus anak juga lebih dititikberatkan kepada para ibu, sementara para bapak yang bertugas memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Saya ketika itu bertanya-tanya mengapa tidak berlaku sebaliknya. Saya bergidik ngeri waktu mendengar istilah kodrat perempuan sebatas sumur, dapur, dan kasur.  Memasuki masa SMP dan SMA, saya mempertanyakan mengapa dianggap wajar jika laki-laki yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu, tapi diang