Skip to main content

Posts

Showing posts from 2018

Kehilangan yang Semu di 2018

Sewaktu sekolah, saya sering ditegur ibu karena lupa membawa pulang tempat makan. Iya, biasanya diletakkan di kolong meja kemudian lupa dibawa pulang. Nasib menyedihkan serupa terjadi pada toples, sendok, tempat minum, dan peralatan lain yang saya bawa keluar, biasanya mereka tidak pernah kembali ke rumah. "Untung saja kepalamu nempel, kalau nggak, pasti ketinggalan juga," Kata Ibu dengan nada campuran antara kesal, agak putus asa, tapi juga sedikit bercanda. Kalau diingat-ingat, tahun 2018 kalau orang jawa bilang pelupa dan teledor saya  unbelievable. 1. KTP Kuartal satu tahun 2018, saya baru sadar kalau KTP saya tidak ada ketika mau meeting ke client  yang masuk gedungnya harus menyerahkan KTP.  Saya merasa sudah mencari ke semua penjuru mata angin, mulai dari meja kantor, tas, kosan, sampai tanya ke orang rumah, tapi ternyata jawabannya nihil. Saya mencoba mengingat-ngingat dimana terakhir saya menggunakan KTP itu. Dengan ingatan yang terbatas, saya meny

Bergelung di Ketiakmu

Aku ingin bergelung di ketiakmu Seperti anak ayam di balik sayap induknya Yang berlindung dari dingin dan hujan deras Anak ayam berciap-ciap.. Ketakutan jika genangan dapat menghanyutkannya. Demikian juga aku ingin bercerita kepadamu Tentang gelisah yang remah dan remeh bagi dunia Ciapan anak ayam tidak akan mengeringkan genangan Begitupun juga ceritaku tidak akan merubah keadaan Tapi mengetahui bahwa kamu tidak sendirian Memberi kekuatan untuk menghadapi ketakutan Ku dengar bisikmu di telingaku, "Tak jadi soal menjadi bagian dari yang remah dan remeh, Asalkan tetap ramah, Dan tidak mudah marah." Ah.. Aku semakin menggulung di ketiakmu Menanti hujan reda Lalu kita menari bersama

Kacamata Kuda

Ketika kita kecil, kita diajari hitam dan putih, baik dan buruk, benar dan salah. Kita diajarkan untuk memilah diantara dua itu secara straightforward. Jika tidak baik, maka itu buruk. Jika tidak benar, maka itu salah. Tidak ada diantaranya. Anak-anak biasa disuguhkan dengan akhir cerita yang bahagia dan optimisme. Tidak ada yang salah dengan itu, karena memang demikianlah yang dibutuhkan untuk usia anak-anak. Semasa sekolah, bahkan sampai kuliah, semuanya terasa hitam dan putih. Setiap tahun, target saya berkutat pada nilai yang baik, dapat beasiswa agar biaya sekolah gratis, membantu teman yang kesulitan dalam belajar, aktif di komunitas, dan menabung untuk bisa jalan-jalan. Ini menjadi kacamata kuda saya semasa sekolah. Tidak terpikirkan untuk melakukan kenakalan remaja pada umumnya. Saya selalu ingat pesan ibu saya, "Hidup harus prihatin. Bersyukur." Dengan kacamata kuda yang konsisten saya gunakan hingga lulus kuliah, semua memang terasa straightforward . Setelah mem

Cerita dari Binaiya - Menuju Desa Piliana

Setelah vakum selama tiga tahun, akhirnya saya kembali melanjutkan apa yang pernah ada di dalam bucket list , seven summit Indonesia . Binaiya adalah gunung keempat setelah terakhir mendaki Kerinci berdua Siska di 2015. Ada sedikit perasaan gugup dan khawatir, terlebih karena ini pendakian open trip saya yang pertama, tapi perasaan excited  akan berada seminggu di gunung jauh lebih dominan.  Saya ingat betul, tahun 2014 saya pergi ke Desa Sawai di Pulau Seram dan terkaget karena desa ini masih bagian dari Taman Nasional Manusela, tempat dimana Binaiya berada. Janji saya kepada diri sendiri untuk kembali ke Taman Nasional Manusela dan mencecap Binaiya ketika itu tergenapi kini. Saya menjadi peserta terakhir yang sampai di Bandara Pattimura dan hampir ditinggal rombongan karena hanya pesawat saya yang delay . "Rani," saya memperkenalkan diri sambil menyalami mereka satu persatu. Sembilan peserta (tiga diantaranya perempuan) ditambah empat pemandu, merekalah yang

Kursi Malas

Jati baru membeli sebuah kursi malas yang berusaha ia jejalkan di kamarnya yang sempit. Kini, ia tak lagi harus duduk merenung di toilet. Kursi malasnya bisa digunakan untuk bekerja jika disandingkan dengan meja belajar. Kursi malasnya bisa diputar menghadap jendela, lalu Jati bisa santai bengong sekedar melihat awan, burung, dan segala pikirannya yang beterbangan dan melayang di seberang sana. Keinginannya sederhana saja. Ia ingin menonton film kesukaannya dengan duduk santai setelah seharian menghabiskan waktu di luar. Kemudian menghabiskan pagi dengan duduk, membaca, atau sekedar bengong sebelum harus kembali ke luar menjadi seperti orang dewasa pada umumnya di luar sana. Kursi malas, selamat datang!

Jadi?

Perjalanan naik gunung, camping, dan sejenisnya membuat saya sadar akan hal-hal yang begitu saya cintai. Menyadarkan kembali hal-hal apa saja yang membuat saya bahagia dan tenteram dari dalam. Semua berjalan dengan lambat, tidak ada target waktu selain matahari terbit dan tenggelam. Seperti masuk ke suatu semesta lain yang di dalamnya kamu tidak terikat apapun. Menghirup udara sebebas-bebasnya. Lepas dari kebisingan dan kesibukan. Seperti melayang. Seperti terbang. Berharmonisasi dengan simfoni alam. Damai sekali. Kembali ke alam mengingatkanmu untuk kembali ke dasar. Menyadarkan kembali bahwa yang sesungguhnya kamu butuhkan tidaklah banyak. Berhentilah menciptakan kerumitan yang tidak perlu. Mempersiapkan diri sebaik mungkin, karena alam penuh dengan kejutan. Memilah-milah mana yang sungguh perlu dan tidak untuk dibawa, agar beban yang kamu bawa adalah sungguh yang benar-benar akan membantu perjalananmu, bukan kelak akan menyulitkan dirimu sendiri, terlebih lagi orang lain. Demi

Menginginkan

Sekali waktu, kamu menginginkan banyak hal. Ada binar di matamu yang membuat semangat hidupmu terus menyala. Mengusahakan keinginan-keinginan itu. Pagimu penuh semangat dan harapan. Seperti anak kecil yang akan masuk sekolah di hari pertamanya. Berharap malam segera berakhir Karena tak sabar untuk segera pagi Dan kembali menggapai hari Aku ingin hidup seribu tahun lagi, Bisikmu dalam hati. ----- Sekali waktu kamu kecewa, Karena keinginanmu tidak bisa tercapai. Kamu mempertanyakan dirimu sendiri Tidak cukup pantaskah aku? Kurang keraskah perjuanganku? Kamu belajar melepaskan keinginan Tidak lagi menaruh harapan Dengan begini, kamu berharap tidak perlu lagi merasa kecewa Bukankah yang tidak memiliki tidak akan kehilangan? Di titik ini, hidupmu tinggal sehari ataupun seribu tahun lagi Kamu tidak peduli ----- Hidup tanpa keinginan Ternyata membawa hidup yang tanpa gairah Hidup yang tanpa gairah ternyata membuatmu jauh lebih cepat lelah Persetan dengan kec

Pasti

Randu rebah di pangkuan Jati untuk pertama kalinya. Dengan canggung, Jati menyisiri rambut Randu yang tebal dan bergelombang dengan jarinya.  "Saya tidak tahu apakah saya bisa merubah keputusan saya," Randu berbisik. "Atau mungkin saya yang harus merubah keputusan saya," Jati membalas. Ia sedang menimbang-nimbang. Mungkin menunggu adalah salah satu bentuk usaha terakhir yang dapat dilakukan, karena tentu saja memaksa sama sekali bukan pilihan. Seperti lari berdua yang selama ini menjadi ritual bersama Jati dan Randu. Meskipun keduanya memiliki pace yang berbeda, tapi mereka tetap bisa menikmatinya. Memaksakan yang lebih lambat mengikuti ritme yang lebih cepat hanya akan menyiksa salah satunya. Pilihan yang mungkin adalah menunggu di tempat yang dijanjikan, memperlambat pace salah satunya, atau menjemput yang tertinggal setelah sampai pada titik tertentu. "Saya butuh kepastian darimu bahwa kita akan bersama-sama mengusahakan berada di garis fin

Dicintai Tanpa Syarat

Jati keluar dari kamarnya untuk menemui seseorang. Ia agak takjub dengan tempat ini saat pertama kali tiba. Tempatnya begitu hening, rindang dan sejuk. Bagai oase di tengah-tengah Jakarta yang polusi dan bisingnya luar biasa. Wisma Petapa namanya, tempat mencari oase rohani bagi mereka yang merasa membutuhkan. Jati sudah membuat janji dengan seorang Frater. Frater adalah panggilan yang digunakan untuk calon Pastor. Frater ini tiga tahun lebih muda darinya, Frater Lintang namanya. Frater Lintang yang akan mendampingi proses “pertapaan” Jati selama di wisma. Seorang yang wajahnya teduh, pembawaannya sangat lembut, dan auranya membawa kegembiraan. Ia sudah menunggu di tempat yang dijanjikan, di   bawah pohon besar, dengan kursi dan meja yang dibuat dari batu. “Jadi, apa pertanyaanmu?” tanya Frater Lintang pada Jati dengan senyum khasnya. “Frater, bagaimana Yesus yang mati di kayu salib ribuan tahun lalu bisa tetap relevan menjadi penebus dosa manusia yang hidup saat ini?” deng

Biasa

Jati sedang membaca catatan hariannya yang tidak setiap hari ia tulis. Besok peringatan hari lahirnya yang kesekian. Dia ingin mengingat kembali ada cerita apa beberapa tahun ke belakang. Hmmm, tidak terlalu berbeda dengan orang kebanyakan. Ada pengalaman menyenangkan dan menyedihkan, menemukan dan kehilangan, memperjuangkan dan melepaskan, mempercayakan dan mempertanyakan, melakukan kesalahan dan memetik pelajaran. Ada cerita dimana Jati mempertanyakan prinsip-prinsipnya, kehilangan kepercayaan dirinya, bahkan ketakutan setengah mati pada kesendirian dan kesunyian. Jati lupa bahwa sejatinya manusia memang sudah harus sendirian, bahkan sejak mulai tumbuh di rahim ibu sampai akhirnya ditanam ke perut bumi, dua tempat yang selalu sunyi. Ada cerita dimana Jati dibuat tertekan dengan target-target ciptaannya sendiri. Terburu-buru sampai lupa bahwa bagian terpenting adalah menikmati apa yang berjalan bersama sang waktu. Mudah hilang sabar saat apa yang diekspektasikan tidak sesuai denga

Berjalanlah. Nikmatilah.

Akhirnya aku kembali ke pelukanmu Menjejaki lagi lekuk punggungmu setelah sekian lama tidak bertemu Irama nafasku yang bernada sumbang Ikut beradu dengan nyanyian riuhmu yang syahdu Bersama riak sungai yang berkejaran, Tonggeret yang berterompet, Dan cericit burung yang berdengung merdu Aku memburu sudut-sudutmu Dengan peluh dan nafas tersengal Tak perlu tergesa, bisikmu Karena perjalanan untuk dinikmati Meski puncak tak sabar untuk disambangi. Kulelapkan tubuhku dalam pelukanmu Ah, seperti melayut di rahim ibu Tak ada marah, sumpah, dan serapah Tak kenal istilah lelah, gundah, dan gelisah Berjalanlah. Berjalanlah. Berjalanlah. Beristirahatlah. Bersabarlah. Nikmatilah. Tak perlu tergesa Karena perjalanan untuk dinikmati Meski puncak tak sabar untuk disambangi --- Setelah tabung-tabung jiwamu kembali terisi, Pulanglah! Kembalilah kepada para terkasihmu Rindu yang syahdu Juga petualangan baru Menunggumu di balik pintu

Pulang

Rindu membuncah Di antara sepoi dingin yang terselip masuk melalui setiap sela Lantunan air yang jatuh Menciptakan irama penghantar tidur Menghantar rindu dan doa yang selalu beriringan untukmu, kasihku Aku bisa melihat punggungmu dari kejauhan Punggung itu sudah berada di tempat biasa Seperti pendaki yang sudah bisa melihat puncak gunungnya Dengan perasaan itulah, aku datang menghampirimu Mata yang selalu jujur, senyum khas yang canggung menggantung Ah, ini dia kasihku. Kemudian kita berjalan bersisian.. Bercerita tentang perjalanan Kamu tahu salah satu bagian terbaik dari perjalanan? Pulang Kamu tempatku pulang, kasihku.

Teman, Tetaplah Berpetualang Tanpa Lupa Pulang!

Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut ulang tahun salah seorang teman jalan terbaik. Perjalanan pertama kami adalah ke Bali lewat jalur darat, di tahun 2011. Saat itu usianya bahkan belum genap 20 tahun. Meskipun masih anak bawang, tapi dia selalu bisa diandalkan. Perjalanan setelah itu, dia selalu menjadi perencana perjalanan handal dan penuh perhitungan.. Dari luar, auranya memang seperti singa. Tapi kenalilah lebih dalam, maka kamu akan menemukan sosok helo kitty yang lembut luar biasa. "Kesini yuk minggu depan?" "Ayo!" "Gw mau naik gunung X bulan depan, mau ikut gak?" "Mau!" "Gw pengen ngerayain ultah deh di gunung." "Yaudah, ke Y aja yuk. Gw temenin." "Pantai X bagus nih, camping kayanya seru." "Berangkat!" Dulu, iya dulu, begitu mudah merencanakan perjalanan. Hampir tidak pernah sekedar wacana. Tentukan tanggal, buat rencana perjalanan, lalu berangkat. Tidak sesering itu memang,

Diam

Tebaran merah dilemparkan matahari Dia bercengkrama diujung langit Bayangan terpaku di tanah Jiwaku tenggelam di dasar rumput Aku ingin melihatmu dalam gelap Yang mulai datang Aku ingin menyelamimu Dalam risau yang sering datang Aku ingin diam bersamamu Dalam rangkulan malam -payung teduh

Pelukan Ibu

Dengan langkah pelan, perempuan itu berjalan masuk. Cahaya temaram lilin menerangi wajahnya. Dia memilih duduk di sudut lalu memandang wajah teduh Ibu. Tak lama kemudian, ia memejamkan mata. Bahunya terguncang. Ia menangis tergugu tanpa suara di pelukan Ibu. Segala bahagianya. Segala syukurnya. Segala khawatirnya. Segala lukanya. Segala sedihnya. Segala yang tidak mungkin ia ceritakan pada dunia. Ia bawa dan ceritakan kepada Ibu, tanpa suara. Ibu memeluknya dengan penuh kasih. Dalam hening, tanpa penghakiman, tanpa syarat. Cukup lama ia terbuai dalam pelukan Ibu. Ia senyaman bayi dalam rahim, segala yang ia butuhkan sudah berada di dalam sana. Pelukan yang membuatnya lupa bahwa dunia sedang memanggil, menunggunya di luar sana. "Ibu Maria, dampingilah aku selalu," katanya kemudian diikuti tiga kali Salam Maria lalu bergegas pergi. Kembali ke pelukan dunia.

Berkenan

Semesta mempertemukan Tidak ada yang menggebu Tidak ada yang terlalu Tidak berlebihan tentang masa lalu Tidak juga terlalu berangan tentang masa depan Kita berjalan bersisian Sesekali sibuk dengan masing-masing pikiran Kemudian mendarat pada kenyataan Bahwa hening pun terasa nyaman Kita berlari beriringan Sesekali terpisah dari barisan Kemudian bertemu lagi di depan Sambil saling menyambut dengan segaris senyuman Spontanitasmu mengingatkan saya pada ketulusan anak-anak, menggembirakan Canggungmu mengingatkan saya pada remaja tanggung yang malu-malu, menggemaskan Sabarmu mengingatkan saya pada sebatang pohon rindang di savana gersang, meneduhkan Tenangmu mengingatkan saya pada hening panjang di jalur Argopuro, mendamaikan Belajar.. Menerima segala keterbatasan Mendampingi dalam kesederhanaan Mengasihi untuk saling membebaskan Dan semoga.. Semesta memperkenankan.

Bersabdalah!

Bus melaju diantara senja yang sedang berpacu dengan waktu Jingganya yang magis tidak hanya perlahan menyapu badan bus Tetapi juga menyapa pikiran yang sedang tandus Rumah dengan pekarangan luas terlewati sesekali dalam rentang waktu tertentu Di antara hutan-hutan yang membisu Menghabiskan waktu disini mungkin rasanya akan lebih lambat? Tidak perlu tergesa, karena hidup pun akan selesai ketika tiba saatnya Perlahan, terbayang menua disini bersama tenangmu Riakmu yang jarang muncul menjadi bukti Bahwa kedalamanmu tidak perlu diragukan Aah, aku ingin tenggelam dalam ketenanganmu Diantara desa yang senyap, yang hanya sesekali bersuara k arena gemerisik daun yang tertiup angin Tenangmu membuatku lebih mudah bercermin Menemukan pantulan diriku sesungguhnya Saat itulah aku sadar, aku compang-camping dan pontang-panting Layakkah aku? Tidak. Karena tidak seorangpun layak bagi yang lain. Tetapi, Bersabdalah saja, maka aku akan sembuh.

Hiking atau Cable Car?

Saya berdiri di depan Stasiun Tung Chung dengan carrier  hijau muda berukuran 35 liter yang disandang di punggung dan daypack hijau tua disandang di depan dada, sambil memandang keluar stasiun. Suasana tidak terlalu ramai, saat itu sedang gerimis dan sejauh mata memandang, kabut masih menyelimuti tanpa ada tanda-tanda matahari akan menampakkan diri. Badan saya agak gemetar, flanel tebal yang saya kenakan rupanya tidak berhasil menghalau dingin. Saya merutuki diri sendiri karena memutuskan tidak membawa jaket yang biasa dikenakan untuk pendakian. Ah, prakiraan cuaca terbukti benar. Sejak subuh, hujan sudah turun meskipun tidak dengan intensitas besar. Saya masih berdiri sambil menimbang-nimbang rencana  solo hiking menuju Ngong Ping Village melalui Lantau Peak dengan cuaca yang kurang mendukung. Bimbang apakah akan tetap mendaki sendirian meskipun hujan, kabut tebal, dan tidak mengenal medan atau menggunakan  cable car  yang fenomenal dengan cukup duduk manis, tidak sampai 30 menit

Cerita dari Disney Land

Pertengahan April ini, berbekal tiket pesawat gratis Jakarta - Hong Kong PP, free One Day Pas Ticket Disney Land, dan tumpangan menginap di rumah seorang teman, saya akhirnya berkesempatan menyambangi Hong Kong, negara yang katanya supersibuk dengan biaya hidup yang supermahal. Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman ke Disney Land melalui foto yang saya ambil secara candid . Karena saya pergi sendiri, sambil menunggu antrian masuk wahana, saya berkesempatan mengambil gambar-gambar ini.  Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan setiap saya melihat kedekatan ayah dengan putrinya, terlebih lagi ayah dengan putrinya yang masih balita. snow white dalam gendongan this pinky princess is in the safest hand have a nice dream, my dear! can you see that, my little girl? warm feeling when i saw them laugh together Kalau foto-foto setelah ini adalah potret interaksi antara ayah dengan anak laki-lakinya. Seorang teman pernah bercerita bagaimana dia selalu b

Badai Pasti Berlalu, Terang Pasti Datang

source: https://www.artsdistrictchorale.org/events/light-darkness-stars-vastness-heavens/ Habis gelap, terbitlah terang . Badai pasti berlalu . Slogan penyemangat yang begitu sering bergaung. Permasalahannya, bertahankah kita sampai saat terang itu tiba? Bertahankah kita sampai badai akhirnya berlalu? 2012 saya mengalami masa-masa yang rasanya mengerikan. 2017 saya mengalami hari-hari yang lebih mengerikan. Ah, mungkin bukan mengerikan, tapi “tahun sulit”. Siklus lima tahunan? Entahlah. Masih terbayang jelas dalam ingatan tentang masa-masa itu. Ketika siang, saya berharap malam segera tiba agar saya bisa tidur dan tidak usah sibuk bersosialisasi. Saya pun merasa lelah sepanjang hari. Ketika senja, saya begitu takut membayangkan harus kembali ke kamar dan bergulat dengan kesendirian. Ketika malam, saya terjaga dalam gelap dengan mata nyalang dan terisak dalam hening. Pekat malam mendistorsi kenyataan menjadi hal yang jauh lebih buruk dari sebenarnya dan memunculkan ide-ide y

Di Kereta Menuju Jogja, Tepat Pukul Lima

Ada momen yang begitu nyaman untuk terlelap Misalnya saat berada di kereta menuju Jogja, tepat pukul lima Saat matahari mulai menyinari harapan petani yang sedang menguning Juga menghangatkan jiwa-jiwa kami yang mulai dingin Ada momen yang begitu nyaman untuk terlelap Misalnya saat berada di kereta menuju Jogja, tepat pukul lima Diiringi penyair jalanan yang menyanyikan rima Membawakan syair entah karya siapa Ada momen yang begitu nyaman untuk terlelap Misalnya saat berada di kereta menuju Jogja, tepat pukul lima Bersama teman-teman seperjalanan Yang diam-diam tidak pernah merasa sejalan Kereta tiba di Stasiun Lempuyangan Yang terlelap bangun tergesa memungut impian Kereta sudah sampai Tapi perjalanan belum selesai

Cerita dari Boalemo - Pulo Cinta Eco Resort

"Ran, ke Pulo Cinta yuk," Azki memberi ide untuk melakukan perjalanan ke suatu pulau yang akhirnya saya tahu itu ada di Boalemo, Gorontalo. Karena saya mure kalau masalah diajak jalan-jalan, saya pun langsung mengiyakan dengan mengajak teman-teman KMK siapa tahu ada yang berminat. Lumayan juga, semakin banyak orang, bisa semakin murah. Akhirnya, pertengahan Oktober 2017, saya, Azki, Leti, dan Eva berangkat kesana. Dari gambarnya saja, Pulo Cinta Eco Resort ini bentuknya lope-lope gitu. Tidak heran kalau tempat ini biasanya menjadi tujuan honeymoon . Perjalanan kali ini tidak terlalu rumit transportasinya. Kami menggunakan direct flight ke Bandara di Gorontalo dari Bandara Soekarno Hatta. Sesampainya di Bandara Gorontalo, kami sudah dijemput oleh pihak resort dengan menggunakan mobil untuk melanjutkan perjalanan selama kurang lebih dua jam. Jangan takut, jalanan dan pemandangannya bagus, jadi dua jam tidak akan terlalu terasa. Setelah dua jam berkendara, akhirnya dilanjut