Skip to main content

Posts

Showing posts from 2021

Seandainya

"Seandainya kamu bisa memilih satu profesi lain selain seniman, kamu akan memilih jadi apa?" Pertanyaan ini keluar begitu saja di percakapan acak saya dan Cen. Kemudian ia menceritakan profesi lain yang masih terkait dengan estetika tetapi lebih teknis. Dua hal yang sebenarnya memang sangat mencerminkan dirinya saya kira. Ia bisa sangat mengolah rasa tapi sangat teknis sekaligus.  "Hmm, kalau saya bisa memilih satu profesi lain selain aktuaris, saya mau jadi apa ya.." Saya terdiam beberapa saat, kemudian terpikir profesi yang berkaitan dengan anak-anak dan perempuan. Dua isu yang saya cukup peduli walau sekarang saya tidak terlalu mengikuti perkembangannya dan entah apa yang sudah saya lakukan untuk isu tersebut. Entah kenapa dengan hanya membayangkan, ada gairah  yang menyala. Menyenangkan rasanya membayangkan saya bisa ahli di bidang itu, melakukan hal yang disukai, terjun ke hal-hal yang saya peduli, kemudian menjalani profesi yang bukan untuk mencari penghidupan

Hitam Putih Tiga Puluh

Genap tiga puluh di Rinjani. Kali ini saya akan bercerita singkat tentang pendakian saya dan Cen ke Rinjani awal September lalu.  Perjalanan dimulai dari Bali, menggunakan motor sewaan, menuju Lombok. Perjalanan dimulai pukul sebelas malam dari Ubud menuju Pelabuhan Padang Bai. Motor inilah yang akan menemani kami menyeberang dan mengelilingi Pulau Lombok. Setelah empat jam di tengah laut, subuh kami sampai di Pelabuhan Lembar, Lombok. Tidak langsung ke Lombok Timur, kami ke selatan dulu mampir di Pantai Mandalika menghabiskan pagi di sana. Setelah itu, kami menyusuri pantai lombok dari selatan ke Utara untuk bisa sampai Sembalun. Pukul tiga sore kami sampai basecamp. Keesokan harinya, kami baru memulai pendakian. Ini barang yang akan kami bawa selama pendakian.  Rencananya, kami akan mulai mendaki melalui Sembalun kemudian turun melalui jalur Torean. Sembalun terkenal dengan jalurnya yang cantik dan terbuka. Sepanjang perjalanan ke Plawangan, kamu akan disuguhi dengan savana hijau yan

Mata - Mata

Ia datang dengan mata yang berbinar-binar. Sepanjang kedatangannya, ia bernyanyi tak henti, sesekali menari. Seluruh ruangan mendadak ikut riang dan hangat, padahal di luar sedang gerimis dan agak sendu.  Sorot mata yang paling saya kenal darinya adalah sorot mata yang teduh dan penyabar. Saya bisa berlama-lama menatap matanya dan menemukan kedamaian di sana. Kalau ia sedang tertawa, matanya akan tertarik ke samping dan ada garis-garis halus di ujung-ujung matanya yang membuat tawanya semakin meriah.  Kali ini berbeda. Tatapan matanya tidak semeriah kalau ia tertawa, tapi juga tidak setenang biasanya. Ia tersenyum dengan matanya. Ada kegembiraan yang menyala, yang seolah-olah memanggilmu untuk ikut merayakannya bersama-sama. Jiwa saya ikut bernyanyi dan menari di kedalaman matanya.

Merasa Bersalah

Salah satu perasaan yang paling mengerikan adalah merasa bersalah. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaiki karena sudah terlanjur terjadi dan sayangnya kita tidak memiliki mesin waktu untuk meng- undo yang sudah terjadi. Yang bisa dilakukan adalah meminta maaf, melanjutkan hidup dengan perasaan bersalah yang mendera, dan tentu saja berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tanpa hukuman dari orang lain pun, perasaan bersalah yang terus membayangi seumur hidup sudah merupakan hukuman dari diri sendiri yang pahit. Diberikan maaf dan pengampunan tentu saja hal terbaik yang bisa diterima, tapi tetap tidak bisa menghilangkan perasaan bersalah atas apa yang sudah dilakukan. Semoga tidak termasuk ke dalam kaum bebal yang mengabaikan perasaan bersalah kemudian mengulangi kesalahan yang sama. Setidaknya, ingatan akan perasaan bersalah yang mengerikan menjadi pengingat untuk berpikir sejuta kali sebelum melakukan kesalahan yang sama. 

Moscarosa

Mencintaimu seperti menghirup udara bersih di kaki gunung, memberikan kesegaran dan menyehatkan. Mencintaimu seperti berjalan di pantai ketika senja tiba, theurapeutic dan menyenangkan. Mencintaimu seperti ketika mencicipi Moscarosa Sababay atau Kopi Susu Seniman, riang dan tidak ingin berhenti.  Mencintaimu seperti merenung di kamar mandi, khusyuk dan memberikan pencerahan.  Mencintaimu seperti berdoa, kedamaian dan harapan turut serta.

Cerita dari Bali

Saya kirimkan video tempat dimana saya tinggal sekarang ke keluarga di rumah, ibu bertanya, "Sekarang kamu tinggal di hutan?" Bersyukur sekali menemukan tempat ini. Tempatnya persis di pinggir jalan raya, kemudian turun ke bawah sedikit, dan voila, sebuah ruangan dengan ukuran 5m x 7m, yang dari berandanya langsung terlihat air terjun, sungai, dan pohon-pohon besar. Seperti di Aselih, ruangan ini bermandikan cahaya matahari, tapi tentu saja lebih sejuk. Setelah empat bulan pindah-pindah tempat tinggal di sekitaran Ubud, akhirnya, menemukan tempat yang nyaman tapi juga bisa sustain untuk jangka panjang. Salah satu bagian yang paling menyenangkan selama lima bulan terakhir adalah perjalanan berkeliling Bali. Di akhir pekan, saya dan Cen akan membuka google maps , lalu menunjuk tempat menarik yang sekiranya ingin dikunjungi, kemudian siap-siap, lalu berangkat.  Cen Terdampar di Pantai Jimbaran Minggu pertama, kami naik Gunung Batur di daerah Kintamani. Dua minggu setelahnya, cam

Sedang Berdendang

tuhan, mengapa kau panggil terlalu cepat? karena ia mengerjakan segala tugasnya juga secepat kilat mengapa tidak kau berikan tugas lain?  bukankah semakin lama, semakin banyak yang bisa merasakan kebaikannya? eeh, kamu kira saya bosmu di kantor? yang semakin bagus pekerjannya, semakin terus dikasih tugas tanpa dikasih kendor tapi tuhan, banyak sekali yang merasa kehilangan oh, itu justru jadi peringatan bahwa hidup seharusnya demikian selama di bumi, kebaikannya dirasakan setelah pergi, tetap melekat dalam ingatan tuhan, apa ia sudah tenang? oh, tentu! kini ia sedang berdendang kami akan pesta malam ini menari sampai pagi karena yang terbaik, telah kembali hari ini

Angkat dan Rayakan

Aku lihat tuhan Saat hampir mati Mengakhiri hidup di tangan sendiri Dia menghampiri Lalu tanya-tanya Kamu sedang apa? Kenapa, mengapa? Tuhan aku malu Aku penuh dosa Mengapa kau datang Di saat begini? Ku tahu hidupmu Tanpa kau cerita Aku lihat semua Dari atas sana Sudah-sudah tak apa Aku tidak murka Kamu pasti lapar Ayo cari makan Dan kita berjalan Seperti kawan lama Maukah ----- Sebab ia berkata Lihatlah ke depan Dan semua yang telah lalu Yang jauh terbentang, itulah jalanmu Yang salah dan benar Yang kalah dan menang Angkat dan rayakan! Angkat dan rayakanlah! Angkat dan rayakanlah! Angkat dan rayakanlah! Ananda Badudu

Pada Nasib, Pada Arus

Tak akan kuserahkan garis hidupku Pada nasib, pada arus Dan pada rasa-rasa yang tak menentu Yang mengikatku Tak akan kubiarkan arah hidupku Dihempas nasib, dibawa arus Akan ku tentang, tantang, dan tanggalkan Itu yang ku tahu Dan akan kutuliskan jalan hidupku Tanpa nasib, melawan arus Bila deru-deru itu balik menghujamku Aku kan, aku kan melawan Sekuat-kuatnya, sekuat-kuatnya melawan Tak akan kuserahkan garis hidupku Pada nasib, pada arus Ananda Badudu

Apa Mimpimu?

Ulurkanlah jarimu Tuk ku rengkuh Dengan sepenuh hati yang telah kau tempa Dengan tabah  Dengan kasih yang tak pamrih Yang ilahi Apa mimpimu Yang belum tersentuh Tangan-tangannya Tangan-tanganku Benamkanlah lelahmu Tuk ku peluk Dengan sepenuh kasih yang murah hati Dengan sabar Dengan kasih yang tak pamrih Yang ilahi Ananda Badudu, feat Monita

Kita Berangkat Saja Dulu

Sepanjang hidup kita Mencari-cari tanda Tuk Beranjak Tuk Berjalan Sejauh pandangan Yang keruh kerontang Tiada jawaban Yang kelak kan datang Tak kau tahu sekarang Inikah inilah Dan laut terbelah Tanah menengadah Percayalah Barangkali kita berangkat saja dulu Meski tahu Jalan nanti kan berbatu Tak kau tahu Berapa jauh Tapi pasti Kita berangkat saja dulu Meski tahu Barangkali Kemanakah awan Kemanakah api Yang menuntun dan terangi Lelah kita lelah Hingga ia pergi Adakah jawaban Ananda Badudu, feat Monita

Koin

Fana sekaligus abadi Tentang hidup yang begitu fana, tapi kisahnya bisa abadi Bebas sekaligus terikat Hidup sesuai dengan apa yang diyakini, tapi terikat pada perasaan bersalah Anugerah sekaligus musibah Karena hidup adalah anugerah, walaupun sebenarnya diberikan sepaket dengan musibah Sekali waktu, kamu merasa beruntung bisa dilahirkan Di lain waktu, kamu merasa hidup adalah penderitaan Saya rasa, tuhan terobsesi pada koin dalam proses penciptaan Dua sisi yang bertolak belakang, tapi tak bisa terpisahkan

Untuk Kekosongan yang Tidak Akan Pernah Bisa Terisi

Untuk kekosongan yang tidak akan pernah bisa terisi Sekalipun telah memasukkan seluruh dunia ke dalamnya Sekalipun telah berbicara dengan seluruh manusia yang pernah hidup di bumi Sekalipun telah berjalan menyusuri setiap sudut yang bisa dijelajahi Untuk kekosongan yang tidak akan pernah bisa terisi Sekalipun seluruh to do list  sudah selesai dilakukan Sekalipun seluruh cita-cita sudah terpenuhi Sekalipun seluruh hidup sudah menunjukkan bagian terbaiknya Untuk kekosongan yang tidak akan pernah bisa terisi Yang semakin berusaha diisi, justru semakin terasa kosong Yang semakin dikejar, justru semakin terasa menjauh Yang semakin, justru semakin Untuk kekosongan yang tidak akan pernah bisa terisi Tidak dengan sukacita Tidak juga dengan penderitaan Tidak dengan kelegaan Tidak juga dengan kekhawatiran Tidak dengan keberanian Tidak juga dengan ketakutan Tidak dengan kedamaian Tidak juga dengan chaos Untuk kekosongan yang tidak akan pernah bisa terisi Yang tetap kosong, sampai akhirnya dibawa

Meledak

Mukanya berubah menjadi merah, oleh amarah Lalu kepalanya membesar, dipenuhi gusar Diikuti dadanya yang menggelembung, lalu ia limbung Kini ia perlahan melayang ke udara Tubuhnya sesak dengan kecewa  Sekuat tenaga ia berusaha mencengkeram akar pengharapan Tapi ketakutan membuat tubuhnya semakin ringan Ia terus melayang dalam kesakitan Semakin tinggi, tinggi sekali  Sampai akhirnya hanya terlihat seperti satu titik Kemudian ia meledak di udara Menjadi serpihan partikel tak kasat mata Tak lagi merasa apa-apa

Khawatir

Bagi saya, sulit sekali bisa sepenuhnya mengerti keadaan orang lain sampai saya yang ada di posisi itu sendiri. Yang terbaik yang bisa dilakukan adalah hadir menemani, menawarkan apa yang bisa dibantu, walau kadang tidak sepenuhnya mengerti keadaan atau yang sesungguhnya mereka rasakan. Terlebih, di keadaan tertentu, tidak semua yang dirasakan bisa diceritakan.  Ketika menemani seorang teman yang patah hati, saya yang belum pernah patah hati tidak paham bagaimana ia bisa sampai tidak makan sama sekali selama beberapa hari. Ketika seorang teman kehilangan ibunya, saya tidak bisa benar-benar merasakan kesedihannya. Yang bisa saya lakukan adalah menemani, walaupun saya bingung apa yang sebenarnya sungguh dibutuhkan ketika itu. Ketika belakangan jumlah yang positif Covid-19 melonjak dan banyak yang isolasi mandiri, saya tidak pernah benar-benar paham bagaimana perasaan khawatir dari anggota keluarga lainnya sampai itu menimpa anggota keluarga sendiri.  Kakak saya positif setelah dua minggu

Kamar Sembunyi

Semua yang pernah singgah pasti tahu bagian beranda. Karena di sanalah gerbang pertama tempat dimulai perbincangan. Hal-hal yang ringan, yang gembira, dan fakta-fakta yang hampir semua orang tahu dibicarakan di sini. Obrolan di beranda seperti tempat screening  apakah ia akan mengajakmu ke dalam atau tidak.  Lalu bagaimana dengan bagian dalam rumahnya? Seperti rumah pada umumnya, ada ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Rumah sederhana tanpa ornamen apapun, yang ia pastikan bahwa segala peralatan di rumah itu memiliki fungsi. Oh, ada satu ruangan yang pintunya selalu tertutup rapat dan letaknya agak tersembunyi, ia menyebutnya Kamar Sembunyi. Di kamar inilah ia meletakkan bagian dirinya yang gelap, memori-memori yang mengerikan untuknya, penyesalan, dan ketakutan-ketakutan baik yang beralasan maupun tak beralasan.  Berpuluh-puluh tahun, tak ada satupun orang yang dibawanya ke sana. Ia merasa tidak perlu ada yang tahu kamar itu. Jika ia sendiri saja sesekali masih sesak napa

Yakin?

Bagaimana kamu bisa yakin? Salah satu pertanyaan yang cukup sering saya sampaikan ke teman-teman terdekat. Mereka hanya menjawab, ya yakin saja. Saya tidak pernah puas dengan jawaban itu. Bagaimana bisa meyakini tanpa ada penjelasan logis untuk salah satu keputusan terpenting dalam hidup.  Belakangan baru saya mengerti ketika pertanyaan itu dilemparkan seorang teman kepada saya, "Bagaimana kamu bisa yakin?" Saya terdiam sebentar, "Sejujurnya sulit untuk dijelaskan, tapi hatimu tahu. Itu aja ." Ia tampak tidak puas dengan jawaban saya, mungkin sama seperti ketika saya tidak puas dengan jawaban teman-teman saya dulu. Setelah dipikir-pikir kembali, sebenarnya bisa saja dicari banyak alasan yang logis kenapa bisa yakin, tapi balik lagi, itu "dicari-cari". Padahal, ketika yakin, ya yakin saja.  Hmmm, entahlah, ketika masih ada pertanyaan itu di dalam hatimu, mungkin sebenarnya hati kecilmu tahu bahwa kamu masih ragu. Ketika sungguh meyakini, pertanyaan ini tida

Cerita dari Gunung Agung

Gunung Agung, May 2021 Ketika kembali ke Bali, saya memang sempat terpikir untuk ke Gunung Agung, tapi karena sendiri, rencana awalnya adalah tektok bersama guide lokal. Saat bertemu Cen, dia bercerita bahwa beberapa minggu sebelumnya dia sudah ke Batur sendirian dan berencana ke Gunung Agung untuk merayakan ulang tahun. Karena satu dan lain hal, akhirnya diputuskan kami akan mendaki di hari kedua lebaran. Pendakian kali ini saya mendaki bersama Cen, Erik dan satu guide lokal, Yudha yang masih muda belia, baru dua puluh tahun usianya. Tim pendakian kali ini Hari H, kami bertemu di Alfamart Besakih untuk kemudian melanjutkan ke Pura Pengubengan, tempat parkir motor dan titik awal pendakian. Targetnya adalah camp di Pos 2. Dari Pura Pengubengan ke Pos 1 jalurnya masih lumayan landai, kami menghabiskan waktu satu setengah jam untuk sampai Pos 1.  Istirahat di Pos 1 Yang menguras tenaga adalah dari Pos 1 ke Pos 2. Jalurnya terjal, nggak ada ampun. Jalurnya mengingatkan saya pada Cikuray da

Tercekat

Ternyata, saya dan kamu bisa merasakan banyak hal sekaligus dalam satu waktu. Senang, takut, dan khawatir bisa dirasakan di momen yang sama.  Ada saat dimana ketakutan dan kekhawatiran membuatmu sulit bernapas dan terasa sungguh nyata daripada realita itu sendiri. Kamu tercekat pada skenario yang hanya ada di kepalamu, padahal kenyataan yang ada di hadapanmu berkata sebaliknya. Kamu takut kehilangan pada hal-hal yang saat ini jelas-jelas berada di dekapanmu. Kamu takut gagal pada hal-hal yang sejauh ini sebenarnya berjalan baik-baik saja. Pikiranmu refleks merancang skenario terburuk sebagai respon atas suatu hal yang kamu anggap masalah. Entah karena alam bawah sadarmu membawamu pada momen-momen serupa yang pernah terjadi sebelumnya, atau karena survival instinct yang bekerja tidak pada tempatnya. Perasaan takut dan khawatir seperti pencuri, ia mengambil porsi kebahagiaan yang sedang kamu rasakan. Lain kali ia hadir, mungkin kamu perlu mengajaknya berbincang tentang maksud kehadiranny

Menonton dari Balik Kaca

Menonton hujan dari balik kaca. Akhirnya hujan juga setelah seharian hanya mendung. Di seberang sana, sepasang muda-mudi menyantap makanan. Sayang sekali, jika mereka datang kemarin sore, mereka akan melihat langit violet. Tidak ada matahari terbenam hari ini. Ah, tapi bagaimana bisa terbenam, kalau terbit pun tidak. Menonton bunga yang berguguran dari balik kaca. Akhirnya, menyerah juga setelah dengan segala daya dan upaya mencoba bertahan. Setelah dihantam panas, angin, dan hujan berhari-hari. Kan , dari kemarin sudah dibilang, lepaskan saja. Ketinggian tidak selalu baik walau pemandangannya memang lebih indah. Tapi tanahpun tidak selalu mengerikan. Toh pada akhirnya segala yang hidup harus kembali ke tanah, menyerah pada kenyataan bahwa segalanya hanya sementara. Menonton sawah yang baru saja dipanen dari balik kaca. Sawah tidak lagi dihuni oleh padi, tetapi oleh bebek kwek kwek . Padi gembul sudah diangkut oleh Buk Tani, Pak Tani membawa bebek sebagai gantinya. Kenapa? Katanya, bia

Istirahatlah Angka-Angka

Ia tak pernah bosan bertanya, "Apa yang sedang kamu pikirkan?". Pertanyaan ini ia utarakan jika ia mendapati saya sedang bengong . Tidak mudah untuk selalu menceritakan apa yang sedang dipikirkan, tapi belakangan saya mulai terbiasa untuk menjawab pertanyaan itu, dan masih akan terus belajar. Belajar mengkomunikasikan mulai dari hal-hal yang paling kecil, sekalipun itu sama sekali tidak penting. Mempercayai bahwa ia adalah tempat paling aman untuk menyampaikan segala hal, dari yang paling liar, mustahil, bahkan yang paling gelap sekalipun. Ia akan mendengarkan dengan sabar, dengan tatapan lembutnya. Kalau hanya melihat dari luar, tidak akan ada yang menyangka bahwa ia memiliki perasaan yang sangat halus. Bahkan tidak hanya halus, tapi juga sangat peka. Saya sempat beberapa kali berkelakar dan menggoda bahwa ia punya indra keenam. Pernah suatu hari kami sedang berbincang, tiba-tiba ia berujar sambil memegang kepala saya lembut dengan dua tangannya, "Kalau Wiji Thukul, ist

Cerita dari Savana Tianyar

Savana Tianyar Sebenarnya ada beberapa pilihan tempat yang saya dan Cecen ingin kunjungi di akhir pekan kemarin, diantaranya Sidemen, Amed, atau camping di Bukit Asah. Setelah berbincang dengan seorang teman, akhirnya diputuskanlah kami akan berangkat ke Savana Tianyar bertiga. Jumat malam, teman yang mengusulkan ini malah membatalkan rencananya. Jadilah tinggal kami berdua. "Kita ke Denpasar dulu, terus ke Seminyak, baru habis itu kita tentukan mau camping dimana. Bagaimana?" Cecen mengusulkan. Ha, siapa takut! Jadilah Sabtu pagi kami langsung packing perlengkapan camping dan berangkat. Jarak dari Ubud ke Denpasar lalu ke Seminyak total dua puluh enam kilometer, menghabiskan waktu kira-kira satu jam. Setelah beres dari Seminyak mengambil sepatu gunung saya yang ketinggalan, kami melihat peta untuk melihat beberapa opsi tempat. Setelah melihat rute, Cecen dengan santainya mengusulkan, "Oh kalau gitu, kita transit di Sidemen dulu, baru habis itu ke Tianyar." Saya

Nomaden Jilid II - Hari 21

Pagi di Tegallalang Halo! Kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan nomaden saya yang sudah nggak  nomaden - nomaden amat. Seminggu pertama, saya tinggal di Tegallalang, kemudian seminggu selanjutnya di Seminyak, lalu kembali ke Tegallalang. Untuk selanjutnya, saya memutuskan untuk kembali menjadi anak kos di sini sampai batas waktu yang belum ditentukan. di-beranda Awalnya sempat kesulitan mencari penginapan jangka panjang yang nyaman dan sesuai budget. Bahkan sampai hari H, saya masih belum mendapatkan penginapan dan akhirnya survey langsung ke beberapa tempat dengan door to door . Beruntung sekali, saya langsung mendapatkan tempat tidak jauh dari tempat pertama kali saya datang. Tempatnya sangat nyaman, semacam private villa yang berdinding kaca, dengan beranda dan taman yang luas, dan kamar mandi semi-outdoor yang kalo mandi malam-malam bisa langsung melihat bulan purnama.  Kanan-kiri penginapan ini masih sawah, bahkan ada kandang kerbau yang baunya semerbak kadang-kadang sa

Lompat

Saya membuat lompatan kepada hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Lompatan yang begitu jauh yang bahkan ketika saya melihat kembali ke belakang, saya masih dibuat terperangah oleh jarak dalam satu lompatan yang saya ambil. Salah satu keputusan paling berani yang pernah saya buat. Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi. Hidup memberikan banyak pilihan. Kali ini dengan sadar saya memilih jalan yang rumit. Ah, kalau dipikir-pikir sebenarnya tidak melulu rumit. Sama seperti proses pendakian. Mendaki kalau dipikir-pikir adalah proses yang rumit. Perlu meneliti tentang jalur yang akan dilewati, menyiapkan perbekalan, memperlengkapi diri dengan gear  paling nyaman, dan tentu saja menyiapkan fisik dan mental. Segala persiapan matang tidak menjamin perjalanan akan baik-baik saja, banyak hal di luar kendali yang justru menjadi faktor utama. Tapi setidaknya, dengan persiapan terbaik, kita berharap bahwa pendakian paling rumit sekalipun akan berakhir baik, pulang ke rumah, dan tida

Catatan Sabtu Pagi

Kamu manusia, saya juga. Kita sama-sama manusia. Kamu dan saya adalah buah cinta kedua orang tua kita masing-masing, yang kelahirannya dinanti-nantikan dan membawa kebahagiaan bagi semua anggota keluarga. Kita 'dihidupkan' oleh cinta dan sentuhan ibu sejak hari pertama kelahiran. Dirawat dan dididik dengan sungguh-sungguh dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, hingga akhirnya bertumbuh dan menjadi dewasa. Jika ibu yang melahirkan, mendidik, dan mengasihimu sejak hari pertama kelahiranmu saja tidak punya hak sama sekali untuk menyakitimu, apalagi saya yang bukan siapa-siapa.