Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2014

Jokowi dan Sendal Gunung

Kalo ada yang tanya, "lo dukung siapa?" Saya bakal jawab dengan pasti, "Jokowi!". Ada yang milih presiden berdasarkan track recordnya, ada juga yang "gw gak mau dukung A karena di belakang B tuh ada A1 sampe Z1000 yang gw gak suka", ada juga yang "partai gw dukung C, makanya gw juga pilih C", ada juga yang pake teori konspirasi, dan masih banyak lagi. Kalo orang lain punya alesan rasanya tinggi, bagus, dan sangat sistematis, saya nggak punya alesan secerdas dan sebrilian itu. Ini dia alesan saya kenapa Jokowi. 1. Jokowi adalah jawaban dari harapan yang bahkan nggak pernah terucap. Saya pernah berandai-andai punya presiden yang sederhana, yang kesannya "terjangkau" sama orang biasa, yang bukan terlahir enak dari sananya. Dan tiba-tiba, muncullah Jokowi. Saya pernah berandai-andai, harusnya, mereka yang mau jadi wakil rakyat atau presiden itu nggak perlu keluar duit banyak-banyak. Kalo rakyat emang suka, mereka bakal didu

tujuan atau temen jalan?

"kadang, yang terpenting bukan kemana, tapi sama siapa." Hmm, tergantung sebenernya. Ketika tujuan utamanya adalah tempat, gw bakal milih jalan sama yang ada, yang penting bisa sampe tujuan. Kaya misalnya pas ke Semeru. Karena gw bener-bener pengen nyicipin Mahameru, akhirnya gw jalan ke sana sama orang-orang yang sama sekali belum gw kenal. Atau Rinjani. Karena itu adalah salah satu gunung impian, meskipun cuma jalan berdua, kita tetep lanjut. Tapi, ada juga saat dimana kita bilang, "tempat gak gitu lagi penting, yang penting sama kalian". Misalnya pergi ke tempat-tempat yang udah berkali-kali atau pernah dikunjungin. Ada dua kemungkinan, entah tempatnya yang emang favorit, atau temen-temen jalannya yang emang favorit. A: "Lo gak papa kalo kita ke tempat X lagi? Lo doang yang udah pernah." B: "Gak papa. yang penting sama lo-lo pada." Nah, kalo berhasil ke tempat impian untuk yang pertama kali sama temen-temen jalan favorit, ini naman

Selagi Kau Lelap

Ini dia, salah satu cerpen favorit saya karya Dee dari kumpulan cerpennya, Filosofi Kopi. Sekarang pukul 01.30 pagi di tempatmu. Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur tertelungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal? Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk ke dalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang berbaring. Sudah hampir tiga tahun aku begini. Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini: 4.354.560.000. Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta padamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik sampai skala nano. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada di situ. Di tiap int

Happy Birthday!

Karena ngucapin "selamat ulang tahun" di grup whatsapp terlalu mainstream. Karena mau kirim voice note nyanyiin lagu "selamat ulang tahun" , takut kuping lo cidera. Karena mau bilang "selamat ulang tahun" langsung di depan rumah itu gak mungkin. Jadi, disini aja, di beranda! Spesial untuk Sang Ungu yang hari ini ulang tahun, 25 Juni 2014! -------------------------------------------------------------------------------------------------- Lo yang begitu menggemari ungu.. Selamat hari lahir. Semoga semakin mengungu,  Tanpa kehilangan kesadaran bahwa ada banyak warna lain di sekitar lo yang juga indah. Semoga segera bertemu dengan sang jingga, Kemudian bersama menjemput fajar dan mengantar senja. Lo yang begitu cinta matematika, Semoga logika dan hati kecil selalu punya tempat bermain yang luas di kedalaman jiwa Lo yang udah bisa bahagia dengan mengajar, Semoga kelak, lo punya taman sendiri, yang menghasilkan jutaan kupu

Alarm

Aku berada di kamar rumah sakit. Bukan, bukan aku yang berbaring di sana. Tapi kamu, ya, kamu yang sedang tertidur damai dengan selang oksigen kecil di hidungmu. Kamar itu kosong. Aku melihatmu dari kejauhan, mungkin dari sudut ruangan. Kemudian kamu terbangun. Kamu melihat foto yang ada di sebelah ranjang, ada beberapa orang di sana, sepertinya foto keluarga. Aku mendekat, ikut melihat foto itu. Semua orang di foto itu tersenyum lebar. Wajah mereka mirip denganmu. Kemudian, aku mulai menebak siapa saja yang ada di foto itu. Tak lama kemudian, ada seorang perempuan cantik masuk. Aku segera kembali ke tempatku yang semula. Kemudian kalian berbincang. Bahagia, itu yang tergambar jelas di ekspresi wajah perempuan yang datang mengunjungimu. Hey, mengapa kalian tidak menyadari keberadaanku. Ah, barulah aku sadar, bahwa aku sebagai sosok transparan di sana. Aku berdiri, mengamati, melihat semuanya, tanpa ada yang menyadari keberadaan ku. Seolah, aku penonton suatu pertunjukkan.

Tama

Senja saya tenang sampai ada anak kecil di belakang rumah masuk tanpa permisi ke dalam kamar. "Siapa ini, Ga?" Saya tanya ke ade saya yang tiap hari di rumah. "Tama, adeknya Vio," jawab dia. Anak kecil ini masuk sambil senyum-senyum. Saya kasih dia biskuit, dia ambil sambil ketawa. Badannya kecil, jadi saya langsung angkat dia tinggi-tinggi ke udara, naik turun. Dia makin ketawa.  Anak ini baru selesai mandi kayanya. Baunya enak, rasanya pengen saya makan. Waktu saya kecil, saya suka banget kalo di angkat tinggi ke udara, seolah kaya mau dilempar, adrenalinnya berasa. Makanya, hampir setiap saya gendong anak kecil, suka banget saya giniin. Banyak yang seneng, tapi banyak juga yang nangis. Akhirnya, anak ini masuk lagi ke kamar. Jadi, kita bertiga di dalem kamar. Ada saya, ade saya, dan si anak ini. Aktifnya luar biasa. Dia pegang semua yang keliatan. Laptop dipencet-pencet, pas pegang kalkulator, dia taro di kupingnya, terus dia bilang "Halo, in

Pulang

Saya rasa, saya tahu kapan saya harus berjalan.  Kapan saya harus berputar. Kapan saya harus berhenti. Dan kapan saya harus pulang. Bolehkah saya memintamu untuk mendukung saya sepenuhnya selama saya dalam perjalanan? Jangan, jangan pernah meminta saya berhenti berjalan. Kamu, kamu yg akan jadi alasan kenapa saya harus pulang.

Christmas Wish

Duo Maya akhirnya bertemu lagi. Dua anak manusia ini punya nama yang hampir sama, kesukaan yang hampir sama, tapi nasib yang agak berbeda. Maya pertama seorang jurnalis, sedang Maya yang kedua masih berharap bisa jadi aktuaris. Sebut saja Mayalis untuk Maya Jurnalis dan Mayaris untuk yang satunya lagi. "Ris, jalan-jalan ke luar negeri yuk!" Mayalis membuka percakapan senja itu. "Hah? Kemana? Passport aja gw kaga ada," jawab Mayaris dengan agak terperangah. "Nepal!" Jawab Mayalis dengan senyum anehnya. Mayaris mengerutkan dahi. Nepal memang terkenal dengan Everestnya. Tapi pergi melihat Everest? Mayaris tidak pernah bermimpi sejauh itu. "Kapan lo rencana ke sana?" Tanya Mayaris dengan agak bingung. "Tahun ini! Oktober," jawab Mayalis mantap. "Harus tahun ini banget?" Mayaris masih berusaha mencerna perjalanan panjang ini. "Iya, well , sebenernya gw mau "kabur". Doi mau nikah bulan Oktober. Gw ngga

Rencana Terbaik

pagi ini saya dengar.. lima orang sekuriti yang menyapa tiap pagi sudah dirumahkan. bulan depan, lima orang lagi tidak akan saya dengar sapaannya. pegawai kebersihan yang juga teman naik gunung sudah tidak bisa lembur lagi. ada seorang perempuan setengah baya.. dia sudah menunggu kehadiran anak selama dua belas tahun. dan pagi ini, bayi satu-satunya yang baru berumur tiga hari sedang dalam kondisi kritis. ajarkan kami tetap percaya, bahwa rencana-Mu selalu yang terbaik.

Mengungu

Kedua kuku kaki bujari saya mengungu, sudah sebulan lebih. Awal dia mengungu, sakit sekali. Sekarang tidak lagi. Awalnya sedikit, kemudian melebar. Konon katanya, setelah semua menjadi ungu, baru kukunya akan lepas. Semua cuma masalah waktu. Kuku lama pasti akan lepas. Tapi tidak tahu kapan. Sesiap apapun, mungkin akan tetap sakit. Tapi, kuku baru akan tumbuh bukan? Mungkin akan jadi jauh lebih baik dari sebelum dia mengungu.

Alfa, Teta, dan Omega

Perkenalkan, saya Alfa. Perempuan saya Omega. Saya mengasihinya, saya kira. Tidak ada kurangnya, dan yang terpenting, dia bisa dibawa pulang menghadap Ibu saya, Semesta. Kamu kenal Teta? Saya tidak sengaja bertemu dengannya di suatu masa kejenuhan. Saya senang bercerita, dan Teta senang mendengarkan. Sampai akhirnya saya sadar, Teta mengasihi saya. Teta tidak tahu Omega. Omega tidak tahu Teta. Tapi saya rasa, Omega dan Teta mengenal satu sama lain di dimensi yang lain. Saya sedang dalam masa-masa sulit, dan Teta ada di sana, berjaga-jaga. Tidak banyak bantuan yang bisa Teta berikan. Tapi setidaknya, dia salah satu pos bantuan saya. Teta sempat bertanya tentang keberadaan Omega. Tapi saya menyangkal. Kamu perlu tahu, bahwa penyangkalan terhadap yang satu, bisa menjadi pupuk harapan bagi yang lain. Bermain bersih, itu yang terpenting. Setidaknya, saya tidak meninggalkan jejak apapun, menjadi anonim, ketika bersama Teta. Berharap Omega atau siapapun, tidak menemu

Kelas Menulis dan Berpikir Kreatif

sensasi kuliah lagi! ada lagi di dalem kelas, walaupun cuma untuk 10 pertemuan ke depan. semacem kuliah 2 sks. "dosennya" Ayu Utami. "mahasiswa"nya ada dari orang design, orang hukum, programmer, teknisi, dosen beneran, dll. kelas tanpa "nilai". aaaah!

berlian

"Ran, titip dong, gw harus ikut tarik tambang" kata perempuan cantik yang berbadan kecil. "Titip apa, Ka?" Kemudian dia memakaikan cincinnya satu persatu di jari saya. "Hati-hati ya, yang ini berlian," ketika dia memakaikan cincin yang di jari manis. Saya diam. Wow, saya pakai berlian, yaa, meskipun cuma pinjaman. Haha. Dia pergi, saya perhatikan jari saya lekat-lekat, satu persatu. Saya terpukau saat melihat jari manis saya. Kerlap-kerlipnya begitu cantik. Kadang putih, kadang biru. Saya tertegun seperti anak kecil yang kagum pada mainan barunya. "Cieeee Rani, diliatin mulu," kata teman saya yang lain. Saya terperanjat. Yaa, berlian ini bisa menghipnotis ternyata. berliannya yang di jari manis

kepala yang menghantam lapangan

"bledag!" bukan, ini bukan suara bola basket yang didrible oleh pemain di atas lapangan. ini suara kepala salah seorang pemain di bawah gawang basket yang keras menghantam lapangan. dia terkapar. yang lain mendekat. "dimatiin dulu timernya. ini lagi maghrib. mendingan di stop dulu deh waktunya. gw gak mau ada kejadian kaya gini lagi," kata salah seorag pemain, teman dari yang jatuh terkapar tadi. timer di stop. apa iya, Tuhan yang sering didengungkan sebagai Yang Maha Mengasihi itu rela menghantamkan kepala umat-Nya untuk mengingatkan saat berdoa.

kelapa sawit

saya begitu semangat untuk pulang sabtu kemarin, meskipun harus sampai rumah hampir tengah malam. ada saudara dekat yang datang dari jauh, dia sering membantu kami. saya baru saja selesai membaca Partikel karya Dee, yang menceritakan bagaimana para aktivis lingkungan berusaha menyelamatkan orangutan yang sering ditembaki oleh pengusaha kelapa sawit. Betapa banyak spesies yang bisa hilang untuk satu pohon yang ditebang untuk pembukaan kelapa sawit. Dan bagaimana kelapa sawit bisa merusak tanah. saya masih ingat, bagaimana novel Saman karya Ayu Utami menceritakan sosok Saman, pastor yang kemudian menjadi mantan pastor, berusaha membela dan memperjuangkan rakyat dan perkebunan karet mereka agar tidak diganggu lahannya oleh para pengusaha kelapa sawit. selasa minggu lalu, di suatu berita pagi, saya menonton di televisi, bagaimana Rudi Putra dan aktivis lingkungan yang lain berusaha melindungi badak dan hutan di gunung Leuser. Leuser yang semakin terancam dengan pembukaan lahan kelap

kejutan di hari minggu

tangan saya masih bergetar saat saya menulis ini. ternyata waktu yang dinanti-nanti alam bawah sadar saya jadi nyata pagi ini. sisi putih saya tahu sebenarnya apa yang terjadi, sejak pertemuan ini dimulai. tapi sisi yang lain mencoba menyangkal. konfirmasi ke pihak yang bersangkutan tidak selalu memberikan jawaban yang benar. dia membawa saya berputar sejenak, melihat yang indah, tapi semu. sampai akhirnya, saya kembali ke jalan yang benar, seperti sisi A sudah katakan jauh lebih dulu. "tuh kan, apa gw bilang!" sisi putih merasa menang. sisi yang lain tersenyum, mengangguk takzim. sisi putih dan sisi yang lain bergerak beriringan sekarang. menuju jalan yang benar, semoga.

10 Menit di 3142 MDPL

17 May 2014 “Pos helipad di mana ya?” kata pendaki yang berjaket biru itu. Di belakangnya tertulis suatu himpunan tertentu, dari suatu universitas di Bandung. “Ke sebelah sana kalo nggak salah. Setelah ini, Mas,” aku mencoba menjelaskan setengah terengah. “Ooh, udah pernah ke sini?” tanyanya lagi. “Iya, udah, tahun lalu.” Jawabku singkat. Pendaki itu berjalan meninggalkan kami bertiga dan menghilang dari pandangan. Akhirnya kami tiba di puncak, 3142 MDPL. Cuaca cerah! Aku lihat pendaki berjaket biru itu, dia sudah berdiri di sana sebelum kami tiba. Berpisah dari yang lain, merenung, berkilas balik, dan bersyukur. Ini adalah agenda wajib setiap sampai di puncak sebelum berfoto tentunya. Setelah agenda wajib ini, saya berkeliling sebentar dan memilih duduk di jarak yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan pendaki berjaket biru yang sedang berdiri sendiri ini. Saya lupa, siapa yang memulai pembicaraan. “Asalnya dari mana?” Tanyanya singkat tanp