Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2014

4.20 Diskusi Senja

lepaskanlah apa yang kau rasa jingga menyala warna langitnya saat senja saat senja memanjakan kita duduk bersama diskusi rasa saat senja saat senja bertukar cerita ceritakan masalahmu teman lepaskanlah apa yang kau rasakan masih disini dan tetap disini lewati senja berganti malam diskusi sampai di sini jangan tenggelam di dalam masa-masamu yang kelam dan percayalah roda pasti berputar cahaya terang datang aku di sini tempat berbagi saat senang saat susah ku tetap di sini

Tiga Hari untuk Selamanya

"Do you hate me that much?" Jagat .  Aku baru bangun, ku kerjapkan mataku, memastikan kembali kalau aku tidak salah baca nama si pengirim. Sudah lama tidak ada nama ini di kotak masukku. Aku sedang di dalam mobil, dalam perjalanan dari Pantai Sawarna menuju Jakarta, bersama tujuh sahabatku. Sudah lama Jagat tidak mampir di kepalaku, sampai aku tiba-tiba benar-benar memikirkannya sebelum aku ketiduran barusan - aku tidak mau mengakui sebagai merindukannya. Ajaib, ketika aku bangun, dia mengirimkan pesan untukku. Sinyalku sampai ke kepalanya? Atau karena dia sedang merindukanku, maka aku memikirkannya? Jagat! Apa aku perlu membencimu, Gat? Tak lama kemudian, lagu Float mengalun lembut dari telepon genggamku. Lewat sudah Tiga hari ‘tuk s’lamanya Dan kekallah Detik-detik di dalamnya Hari Pertama "Maaf Jani, aku terlambat," katamu sambil mengajak bersalaman. Aku hanya menyambut tanganmu, berjabat tangan, tanpa membalas sepatah katapun. Rambutm

Pram, Teman Kecilku

Pram, dia teman pertama dan terbaikku saat masih di taman kanak-kanak dulu. Tinggi kami tidak lebih dari 100 cm saat itu. Ibu Pram sangat baik, aku sering mampir ke rumahnya sebentar setelah pulang sekolah, sekedar untuk minum dan makan makanan kecil. Ayah Pram juga sangat ramah, kami sesekali diantar Ayah Pram ke sekolah. Pram baru punya satu adik saat itu. Rupanya aku dan Pram masuk ke sekolah dasar yang sama. Seiring bertambahnya kelas, dia semakin tinggi dan kurus menjulang, persis seperti ayah dan ibunya. Tidak hanya tingginya yang bertambah, adik Pram pun terus bertambah, sampai ia memiliki empat adik. Ibuku dan Ibunya saling mengenal. "Mama Jani", begitu Ibu Pram memanggil ibuku. Ibu Pram tidak sesegar ketika aku masih TK dulu. Meskipun tubuhnya semakin kurus, tetapi senyumnya tetap seteduh dahulu.  Aku dan Pram tidak lagi satu sekolah di SMP dan SMA. Yang aku tahu, keluarga Pram sudah pindah ke Bogor. Sejak saat itu, aku tidak pernah melihat Pram dan seluruh ke

Bersambung 2..

Jagat memang menyebalkan, tapi cobalah sekali saja travelling bersamanya, maka kamu akan ketagihan. Kalau ada malam penganugerahan travelmate terbaik, mahkota itu pasti akan aku berikan padanya. ------------------------------------------------------------------------------------------------------ Aku baru selesai mandi ketika ku dengar ada suara vespa di depan rumah.  Tak lama kemudian terdengar suara memanggil, “Anjani.. Jani..” “Sebentar Gat!” Jawabku agak berteriak dari dalam kamar.  Sepuluh menit kemudian, barulah aku keluar, menghampiri Jagat yang sudah menunggu di beranda. Dia masih mengenakan setelan kantornya, kemeja, celana, dan pantovel yang seba hitam. Aku lebih suka melihat jagat dengan kaos hitam dan jins belelnya. Jiwanya terasa lebih hidup. “Tumben lo mandi. Bakal badai kayanya malem ini,” katanya asal sambil melihat langit kemudian bersiul riang. “Jadi, ke Rinjani kita bulan depan?” Tanyaku tanpa menghiraukan gurauannya. Jagat mengeluarkan ses

Sick Leave

Semesta berkonspirasi. Udah hampir satu setengah tahun saya kerja, tapi cuti sakit belum pernah dipake. Sempet mikir tolol, "ah, bisa kali sakit, nggak usah kerja." Padahal cuma mikir sepintas dan efeknya cepet banget ternyata. Jedar! Dua hari kemudian. Saya panas dingin. Bolak-balik kamar mandi. Ahhh, begini ternyata rasanya sakit sendirian di kosan. Nggak ada air anget, bahkan selimutan juga pake sleeping bag yang bau gunung dan masih ada sisa-sisa rumputnya. Langsung kebayang, andai sakit di rumah, ada ibu yang bikinin air anget, mijetin, bahkan megangin kepala mastiin udah nggak panas. Cuti sakit? Ujung-ujungnya nggak saya ambil juga. Jauh-jauh sama sakit. Biarin deh masuk kantor terus, yang penting sehat! Satu lagi, hati-hati sama harapan lo, bahkan untuk yang nggak terucap sekalipun.

Bersambung 1..

Kalau sebagian orang sedang berusaha menemukan belahan jiwa mereka, aku rasa aku sudah bertemu dengan belahan jiwaku. Travelling , dia adalah belahan jiwaku. Aku sudah merasa penuh ketika aku travelling. Ibuku bilang, ada bulu kakiku yang sudah jatuh di jalan, sehingga aku tidak pernah betah di rumah, persis seperti ayahku. Dari cerita ibuku, aku tahu bahwa Ayah adalah seorang petualang, bahkan dia melamar ibu di Segara Anak. Ayahku masuk ke dalam golongan yang berbahagia menurut Gie, karena dia mati muda. Dia meninggal di usianya yang ke 32, saat sedang melakukan ekspedisi arung jeram di sungai Citarik. Saat itu, aku baru berusia 5 tahun. Ingin rasanya aku bertanya pada Gie, apakah mereka yang ditinggalkan oleh orang yang mati muda juga termasuk golongan yang beruntung. “Gat, gw baru aja jadi SARJANA!!! Rinjani yuk bulan depan!” Aku menelepon Jagat dengan nada suara dua oktaf lebih tinggi dari suara alto ku. Jagat menjadi orang kedua setelah ibuku yang aku telepon setelah din

Whatsapp!

Empat bulan terakhir, pagi saya tidak diawali dengan doa pagi, tapi mengecek BB. Makan siang saya bersama teman-teman yang "nyata" ada di sekitar, masih sering diganggu oleh teman-teman yang "maya" di sosmed maupun grup-grup whatsapp. Setelah seharian menatap layar komputer, sesampainya di kosan,  saya habiskan untuk menatap layar handphone. Tidak cukup untuk membuka hari, menutup hari juga dengan mengecek BB. "Minta no lo yang WA nya aktif dong!" "Lo ada WA?" "Hari gini nggak punya WA?" "Buruan lah nabung, smartphone sekarang murah-murah ko."  "Ayo dong punya WA, biar bisa ngobrol di grup."  Ajakan untuk punya WA ternyata bisa lebih dahsyat dari ajakan untuk bergabung ke sekte tertentu. Biasanya, saya cuma bales, "Iya, ntar. Nabung dulu." atau "Ntar deh, tunggu mati total." Di saat orang lain mulai meninggalkan BB, saya akhirnya mencicipinya, kakak saya yang super baik hati memberik

Si Anak Petir

"Aaaaaaa, Huahuaaaaaa... " Badan saya yang panas dingin makin nggak jelas rasanya ngedenger anak nangis dari dalem ruang perawatan. 20 menit kemudian, anak ini keluar sama bapaknya dengan perban di kepala belakang. Di baju belakang dan lehernya masih ada sisa darah. "Sini, duduk sini dek!" Kata Bapaknya sambil nunjuk kursi persis di sebelah saya. Matanya masih sembab, tapi udah sama sekali gak nangis, tanpa ekspresi. Dia duduk di sebelah saya. Ngeliat perbannya, ngeliat darah di leher sama bajunya, dengkul saya jadi lemes. Saya jadi inget, ade saya pernah jatoh dari sepeda, dan lukanya lumayan parah di bahu, begitu saya liat, kepala saya langsung pusing dan nggak kuat duduk. Saya tanya sok akrab, "Kenapa, dek?" Anak itu diem. Bergeming. Cuma natap lurus ke tv di depan. "Jatoh, Mbak. Sobek. Lari-larian pas hujan. Ini dapet empat jaitan," kata Bapaknya ramah. "Tadi mah pas jatoh nggak nangis sama sekali. Ini anak kuat banget. Waktu

Mata Dewa

Biar saya tambahkan kesenangan saya yang lain. Menjemput dan menghantarkan matahari. Untuk itulah, saya ada di sini sekarang, di dubur laut selatan, bersama hamparan milyaran pasir, dan seorang teman perjalanan. "Cemburu pada sang ombak yang selalu bergerak. Cemburu pada samudera yang menampung segala." Iwan Fals bersenandung lirih di sebelah saya, lewat handphone kecil nan jadul. Saya biarkan ujung kaki saya disentuh ombak yang katanya selalu bergerak. Mata saya menjelajah samudera, tanpa berakomodasi. Angin pantai begitu bersahabat. Mendadak saya mengerti arti "santai aja kaya di pantai. " Haruskah saya iri pada samudera? Rasanya tidak. Siapa yang bilang menampung segalanya itu enak? Saya mungkin akan lebih memilih menampung secukupnya. Matahari sudah semakin pendek. Semakin mendekati garis laut, semakin besar ia. Tidak cuma langit yang mulai menjingga, hampir seluruh pantai ini mulai menjingga. Ini bagian yang paling saya tunggu-tunggu. Momen jingga.