Skip to main content

Mengawali Tahun bersama Suku Baduy Dalam

Ini open trip saya yang pertama. Apa itu open trip? Semacam tour, jadi ada pihak penyelenggara dan siapapun boleh ikut. Kalau kamu nggak punya teman jalan yang cukup tapi ingin sekali pergi ke suatu tempat, mungkin kamu bisa ikut semacam open trip ini. Harganya mungkin lebih mahal dibandingkan kamu urus segala sesuatunya sendiri.

Baduy dalam menjadi pilihan saya dan Hanna, karena kita cuma punya waktu dua hari, harganya lumayan terjangkau (200ribu), dan saya kangen tracking. Kami mengawali tahun 2015 dengan belajar dari suku Baduy dalam. Awal yang baik.

Suku Baduy dalam ada di Provinsi Banten. Ada beberapa pintu masuk menuju Baduy dalam, kemarin kami melalui Ciboleger. Akses ke sana masih cukup mudah, kamu bisa naik kereta dari Tanah Abang ke Rangkas Bitung, dari Rangkas Bitung naik Elf ke Ciboleger, kemudian tracking sekitar 3- 5 jam untuk bisa sampai ke Baduy dalam.

Begitu memulai tracking, kami langsung disambut dengan ramah oleh para pria suku Baduy dalam. Mereka yang akan mendampingi dan menawarkan bantuan untuk membawakan barang bawaan jika kami kelelahan di tengah perjalanan. Mendaki bukit lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera. Sound track Ninja Hatori ini betul-betul pas untuk menggambarkan tracking menuju Baduy dalam. Kalau naik gunung cenderung naik terus, ini naik turun. Belum lagi diguyur hujan sepanjang perjalanan.

Selama perjalanan, banyak yang bisa dinikmati. Perkampungan baduy luar, lembah, gunung, sungai, suara tonggeret, dan tentu obrolan dengan teman seperjalanan membuat Tracking panjang ini jadi menyenangkan. Sampai di Baduy dalam, kamera tidak boleh lagi dinyalakan.

Orang Baduy dalam tinggal di rumah panggung dari bambu dan kami menginap di sana selama satu malam. Kami disambut ramah oleh sang pemilik rumah. Tidak ada listrik dan barang elektronik. Penerangan sebagian besar menggunakan lilin dan lampu tradisional. Setelah makan malam bersama, kami bertanya banyak tentang suku Baduy dalam.

Ada berbagai macam profesi di Suku Baduy dalam. Ada ketua adat yang dinamakan Pu’un. Pu’un tidak boleh keluar kampung. Konon, banyak pejabat datang bersilaturahmi menemui Pu’un. Selain itu, ada Jero sebagai kepala desa. Tidak semua orang boleh memotong ayam di sana, hanya orang tertentu. Dan masih banyak profesi lain. Profesi ini sifatnya diturunkan dari orang tua.

Mereka tidak memiliki kartu tanda penduduk, hanya memiliki surat keterangan domisili. Mereka tidak ikut pemilu, prinsip mereka adalah Lunang, milu nu menang, ikut dan mendukung yang menang. Siapapun pemerintahnya, mereka mendukung. Mereka juga tidak mengikuti pendidikan formal. Jarak mereka dari pusat kota bisa dibilang dekat, tetapi mereka memilih untuk setia pada budaya dan hukum adat.

Suku Baduy dalam tidak boleh memakai pakaian modern, mereka memiliki pakaian khusus yang dibuat sendiri. Tidak boleh memakai emas, alas kaki, dan kendaraan. Sejauh apapun itu, mereka berjalan tanpa alas kaki dan berjalan kaki. Mereka tidak boleh meninggalkan kampung lebih dari lima belas hari berturut-turut. Saya langsung membayangkan, kemana paling jauh dengan berjalan kaki lima belas hari pulang pergi. Tamu juga hanya boleh menetap paling lama satu hari satu malam.

Mereka hidup sangat berdampingan dengan alam. Detergent, shampoo, sabun, dsb tidak boleh dipakai di sini. Sebagai penggantinya, mereka menggunakan sabut kelapa. Ah, tanpa produk-produk itu, mereka sudah mulus dan bersih. Jika sakit, mereka menggunakan obat-obatan tradisional.

Sebagian besar mereka berkuning langsat, cenderung serupa dengan suku sunda kebanyakan, tetapi ada yang seperti didatangkan dari Korea. Pernikahan di sana adalah hasil perjodohan dan biasanya dengan saudara sepupu. Prinsipnya, tidak boleh poligami dan tidak boleh cerai. Bisa menikah lagi hanya jika pasangannya meninggal.

Saya sempat bertanya, “kalau orang kota, keinginannya sangat banyak. Ingin mobil, rumah, ini, itu. Kalau orang sini, punya ambisi atau impian?”

“Kami ingin selalu sehat dan hidup cukup,” Jawab bapak pemilik rumah.

Mereka cukup dengan sehat, tanpa teknologi, kendaraan, dan semua kemewahan. Kita, kapan kita merasa cukup?

Pagi hari, kami ke sungai untuk bersih-bersih diri. Di sana, kami bertemu dengan kaum perempuan yang juga sedang bersih diri. Sebagian lainnya sedang menumbuk padi.

Kombinasi gerimis, suara aliran sungai yang deras, dan dentuman bersahut-sahutan dari para perempuan penumbuk padi menjadi satu lagi koleksi pagi syahdu yang saya miliki. 

Terimakasih Baduy dalam!

Comments