Skip to main content

Senja dan Fajar di Beranda


"Setelah punya rumah, apa cita-citamu?
Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja. Supaya saya dan dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.”
Salah satu kutipan puisi dari Joko Pinurbo, yang kalau saya resapi, jadi sempat menikmati senja di beranda.

Minggu lalu, 14 Februari 2015, saya jalan-jalan ke Lembang Bandung, dan yang paling spesialnya (selain tentunya teman-teman perjalanan) adalah villa yang kami tempati. Berandanya sangat spesial, karena kami bisa melihat matahari terbenam dan terbit dari tempat yang sama. Tidak banyak tempat yang mudah dijangkau supaya kita bisa melihat matahari terbenam dan terbit dari tempat yang sama tanpa terhalang apapun, tapi ternyata di beranda itu bisa.

“Andai bisa punya tempat yang kaya gini di Jakarta,” kata teman saya, saat kami menikmati matahari tenggelam di ujung barat sana.

“Kalaupun kita bisa punya tempat kaya gini, semoga kita bisa pulang kantor sebelum gelap,” saya menimpali ucapannya.

Selalu ada efek sedih setelah matahari tenggelam. Setelah semuanya menjadi gelap, muncul semacam perasaan kehilangan. Ok, mungkin saya terlalu berlebihan menggambarkannya, tetapi untuk penikmat senja mungkin tahu perasaan ini.

Senja di Beranda

Tidurlah selarut mungkin, bangunlah sepagi mungkin, prinsip saya kalau liburan santai di luar rumah. Karena menurut saya, tidur sepuasnya bisa di rumah.

Minggu, jam setengah enam pagi, dingin Lembang masih begitu menggigit, saya keluar ke beranda. Menanti matahari terbit, sambil ditemani Payung Teduh berparara. Ah, nikmat mana lagi yang kamu dustakan, wahai anak manusia…

Sebelum matahari benar-benar terbit ataupun tenggelam, matahari harus sama-sama ada di batas cakrawala, di sini tidak ada bedanya. Warna dan suasana yang ditimbulkan pun serupa. Jika saya buta waktu, ketika matahari ada di batas cakrawala, saya mungkin tidak tahu, apakah matahari akan terbit atau tenggelam.

Tak lama kemudian, matahari naik perlahan dari batas cakrawala. Saat itu juga, saya tahu perbedaan efek antara matahari terbit dan tenggelam, selain terang dan gelap. Kalau senja menimbulkan perasaan kehilangan, fajar ternyata menimbulkan semangat yang tak terkatakan, menyalakan harapan. Terdengar berlebihan? Mungkin kamu hanya perlu menikmati senja dan fajar yang hanya 12 jam berselang.

Jika fajar itu serupa dengan kelahiran, mungkin senja serupa dengan kematian. Di antara fajar dan senja, di sanalah kehidupan. Lalu di antara senja dan fajar? Bisakah kita sebut peristirahatan, entah peristirahatan sementara, entah peristirahatan terakhir?

Fajar di Beranda

Comments

  1. Wow.besok besok kalo naik gunung gua juga mo coba ah.liat senja dan fajar, merasakan sensasi yang lu rasakan..

    ReplyDelete
  2. Sayang, kemaren terlalu rame, La. Haha

    ReplyDelete

Post a Comment