Skip to main content

Si Kecil



Ada penghuni baru tidak diundang di tubuhku. Kehadirannya terlalu kecil untuk aku sadari. Hanya gejalanya yang makin lama makin terasa. Aku menamainya Si Kecil. Si Kecil yang membuatku bisa menghabiskan waktu bersama ibu di dapur berjam-jam sambil berbincang panjang. Ya, di dapur, bukan di beranda, karena malu bila sampai ketahuan tetangga.

Si Kecil yang membuatku bisa kembali tertidur di pangkuan ibu seperti masa kecil dulu. Ibu akan menelusuri setiap helai rambutku dan beliau bahagia bukan main bila bisa merasakan gerakan Si Kecil. Bau daster ibu, belaian tangannya, dan kepalaku yang terkulai di pangkuannya, membuatku tertidur lelap seperti bayi selesai menyusu, tanpa takut, tanpa khawatir.

Ibu ingin aku tetap memelihara Si Kecil, sementara aku bertekad untuk tidak mempertahankannya. Si Kecil adalah parasit untukku. Secara tidak langsung, dia memakan apa yang aku makan. Teman-teman, tetangga, dan siapapun yang mengetahui bahwa aku hidup bersama Si Kecil pasti akan jijik melihatku. Mereka akan melihatku dengan cara yang tidak lagi sama. Si Kecil harus aku musnahkan dari diriku.

Pagi-pagi sekali, saat semua orang masih terlelap, aku bergegas ke toko obat. Aku membeli dua botol obat untuk membunuh Si Kecil lalu pulang ke rumah dengan tergesa. Terduduk di bawah pancuran kamar mandi sambil menggenggam dua botol obat yang baru saja kubeli. Haruskah kumusnahkan Si Kecil yang bisa membuatku begitu dekat dengan Ibu?

Akhirnya, kutumpahkan semua isinya ke atas kepalaku, kubilas rambutku sebersih-bersihnya. Semoga Si Kecil dan semua telur-telurnya tewas sekarang. Tidak ada lagi yang tersisa dari dua botol obat yang berlabelkan “PEDITOX” itu.

Comments

Post a Comment