Skip to main content

Bau Karbit



http://wallpaperswide.com/road_to_nowhere-wallpapers.html


Dua puluh tahun bersama, aku tidak pernah bosan memandangi Alam yang sedang terlelap. Tidurnya pulas dan wajahnya begitu polos, penuh kedamaian, persis seperti Air ketika bayi dulu, yang terlelap selesai menyusu.

Masih kupandangi wajahnya sambil kuusap alisnya. Di usianya yang sudah setengah abad, Alam masih tetap jadi kebangganku seperti dua puluh tahun yang lalu. Alisnya masih tebal, senyum menggodanya tidak pernah berubah, dan tatapan tajamnya masih sama. Tidak banyak yang berubah dari Alam selain rambut ikalnya yang kian memutih dan guratan halus di wajahnya yang semakin banyak. Alam adalah keajaiban yang aneh untukku.

Kalau aku boleh meminjam Puisi Soe Hok Gie, aku akan pinjam potongan puisinya yang berisi, “Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta.” Sekilas terdengar picisan, tapi memang itu yang aku alami bersama Alam. Kami selalu berdebat, mulai dari hal yang sepele seperti perdebatan dalam memilih sendal gunung atau sendal jepit, gunung atau kota, jalan kaki atau berkendara, pulang malam ini atau besok pagi, rambut pendek atau panjang, sampai yang paling krusial, Gereja atau Masjid. Kalau ada yang bertanya apa aktivitas utama kami? Dengan cepat kami akan menjawab serempak, “berdebat.”

Aku tersenyum mengingat masa-masa itu. Masa dimana Alam selalu menyebutku sebagai wanita yang pintar, pintar menaikkan emosinya dan pintar mengulangi kesalahan yang sama. Sedangkan aku, aku selalu menyebutnya sebagai pria yang keras dan pengekang kebebasanku. Alam sebenarnya tidak pernah meminta banyak, dia hanya tidak ingin waktu bersamanya diganggu oleh hobi dan teman-temanku, dia tidak suka aku ada di luar ketika malam hari kecuali bersamanya, dan dia memintaku lebih sering berada di rumah menghabiskan waktu bersama keluargaku. Mudah? Jelas tidak ketika itu yang sebagian identitasku adalah naik gunung dan jalan-jalan.

Aku dan Alam saling menyakiti tanpa henti, tetapi anehnya kami memutuskan untuk tetap bertahan. Tidak ada yang menyerah sekalipun kami sama-sama sangat lelah.

Alam mengasihiku apa adanya dan selalu bisa diandalkan. Dia tidak pernah memintaku berdandan seperti perempuan kebanyakan, dia tidak pernah protes karena aku selalu cuek dalam penampilan, dia tetap memelukku erat meskipun sambil berkata, “Raya bau karbit.”

Aku mengasihi Alam sebagai Alam seutuhnya. Aku percaya kepadanya bahwa dia selalu tahu apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Aku cenderung menghindari konflik dan perdebatan dengan orang lain, tapi dengannya, aku lebih baik berdebat dan ribut hebat untuk memberitahu dan meminta apa yang menurutku benar.

Alam yang membuatku sadar bahwa berdua tidak lebih sederhana daripada sendiri. Ketika belum terbiasa, semua jadi terasa lebih rumit. Ada perasaan orang lain yang harus kamu jaga sekalipun kamu tidak pernah bermaksud macam-macam. Ada orang lain yang harus kamu pertimbangkan sebelum kamu mengambil keputusan. Percayalah, ini tidak mudah untuk orang yang terbiasa serba sendiri.

Aku dan Alam tidak tahu kemana arah kami ketika itu. Kami hanya mengusahakan yang terbaik, memanfaatkan waktu bersama kami sebaik-baiknya, tidak hidup untuk masa depan, tidak juga untuk masa lalu. Aku dan Alam sepakat untuk benar-benar menghidupi masa “sekarang”, masa yang sedang kami lalui. Tidak ada yang menyangka kalau ternyata “jatah” yang Tuhan berikan untuk bersama berlangsung sungguhan sampai sekarang.

Sampailah kita di sini. Aku masih memandangi Alam yang masih terlelap di hadapanku. Kupeluk Alam Erat. Dia balas memelukku sambil bergumam, “Raya bau karbit."

Comments

  1. Tak sengaja menemukan ini, ku baca, ku cermati.. Dan... Sumpah ternyata sangat mirip dengan cerita hidupku..

    ReplyDelete

Post a Comment