Skip to main content

Bermain dan Belajar di Literasi Keuangan untuk Anak


Cha-Ching di SDN 04 Pagi Cawang

Hari ini saya mengikuti program CSR Cha-Cing, program dari Prudential yang bekerja sama dengan Prestasi Junior untuk memberikan latihan literasi keuangan untuk anak-anak. Kamu tahu istilah Cha-Ching terinspirasi dari apa? Dari suara mesin kasir, cha-ching. Jika tidak percaya, cobalah suarakan dengan suaramu sendiri.

Program ini tentu bukan seperti seminar literasi keuangan untuk orang dewasa, bukan mengenai investasi yang paling menguntungkan, bukan juga tips dan trik memiliki rumah tanpa KPR dalam waktu satu tahun. Program ini mengajarkan kepada anak-anak dengan cara bermain sambil belajar tentang apa yang harus mereka lakukan terhadap uang yang mereka punya. Anak-anak akan diajarkan mengenai konsep Earn, Saving, Spend, dan Donate terhadap uang mereka.

Acara hari ini diadakan di SDN Cawang 04 Pagi. Sebanyak seratus empat puluh siswa mengikuti kegiatan ini, mereka dibagi ke beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari dua belas siswa. Program disajikan dengan sangat menarik. Saya membayangkan akan sangat excited kalau saya mengikuti acara ini ketika berumur 10 tahun.

Ada dua kelompok yang menarik perhatian saya. Kelompok yang pertama terdiri dari sebelas anak laki-laki dan satu anak perempuan. Ternyata, terlihat sekali bahwa “pemimpin” di kelompok ini adalah yang perempuan tadi. Dia mengatur siapa saja yang boleh ada di kelompoknya. Kelompok yang satu ini sangat aktif dan bersemangat, boleh dibilang para anggotanya sangat vokal.

Satu kelompok lagi adalah kelompok yang sangat tenang. Kalau kelompok lain, saat disebut nama kelompoknya akan melonjak girang, sedangkan di kelompok ini, hanya ada satu yang melonjak, tapi karena sendirian, dia jadi canggung sendiri.
Inilah cara mereka bermain sambil belajar hari ini.

Kelompok vokal di tengah dan di sebelah kanannya kelompok tenang
Earn
Untuk mendapatkan uang, mereka harus “bekerja”. Pekerjannya ada macam-macam. Ada atlet basket yang harus dribble keliling lapangan dan shoot bola ke ring, professor yang harus mengerjakan soal-soal pengetahuan umum, penjaga sekolah yang harus membersihkan kaca kelas, dan pembuat donat. Dari pekerjaan itu, mereka akan mendapatkan “uang” maksimal lima puluh ribu rupiah per orang. Mereka begitu bersemangat, seolah itu sungguh pekerjaan mereka. Saya tidak sadar kelebihan ketika memberikan. Dengan jujurnya, anak itu mengembalikannya kepada saya.

Save
Setelah uang diperoleh, anak-anak diberi tahu bahwa yang dilakukan setelah itu haruslah menabung. Ada stand “bank”, teller dan buku tabungan. Rata-rata anak-anak menabung dari lima ribu sampai tiga puluh ribu, tidak ada ketentuan mereka harus menabung berapa. “Kak, saya mau nabung,” kata anak laki-laki di depan meja saya. Ceritanya saya sedang menjadi teller. “Kamu mau nabung berapa?” saya tanya ke anak ini. “Seribu kak,” katanya polos. Saya kaget dan ingin tertawa. Uang yang berhasil dia kumpulkan padahal empat puluh ribu. Dari 140 siswa, hanya anak ini yang menabung seribu. Unik.

Spend
Setelah menabung, mereka boleh masuk ke stand “toko” untuk membeli apa yang mereka mau. Ada susu, minuman, alat tulis, dll. Kebanyakan dari mereka memilih susu, tidak ada yang membeli rautan. Mungkin mereka pikir, kalau rautan nanti tugasnya ibu yang belikan. Yang unik adalah mereka tidak ada yang serakah untuk menghabiskan uang sisa menabungnya untuk jajan. Saya jadi berpikir, kapan sebenarnya rakus atau serakah itu muncul di pikiran.

Donate
Tidak ada yang menjaga stand “donate” karena sifatnya sukarela. Anak-anak hanya diingatkan bahwa sisihkan uang yang kalian punya untuk didonasikan. Rata-rata mereka menaruh uang dua ribu sampai sepuluh ribu disitu.

Setelah proses Earn, Save, Spend, and Donate selesai, mereka dipanggil ke dalam kelas kembali. Permainan dilanjutkan. Anak-anak tidak tahu kalau akan ada bagian ini. Ternyata ada pengeluaran tak terduga, misalnya ban sepeda bocor, pergi ke dokter, dll. Anak-anak harus membayar ini. Jika tidak cukup uangnya, mereka harus mengambil tabungan mereka di bank.

Dari semua rangkaian permainan ini, mereka wajib mencatat setiap transaksi yang mereka lakukan . Ada selembar kertas yang terdiri dari kolom detail, pemasukan, pengeluaran, dan saldo.
Keseluruhan konsep yang diajarkan sebenarnya tidak sesederhana itu untuk anak-anak, tapi pengemasan hal yang tidak sederhana tadi menjadi sangat mudah dipahami. Jadi, hai kita para orang yang sudah tidak lagi anak-anak, sudahkan kita menerapkan hal ini?

Di kelas bersama anggota Cha-Ching
Di luar acara ini

Saya bukan yang sering terlibat dengan kegiatan anak-anak. Ini pertama kalinya saya kembali masuk ke kelas Sekolah Dasar lagi. Seperti lorong waktu melihat anak-anak itu di dalam kelas, membawa saya pada bayangan saat saya seumuran mereka, membayangkan kelas saya seperti apa, rupa saya bagaimana, seragam apa yang saya pakai, siapa saja teman-teman sekelas saya, apa kabar guru-guru saya, dan masih banyak lagi.

Sekolah Dasar saya dulu tidak sebesar sekolah ini yang begitu luas. Sekolah saya Letter L dan hanya ada enam kelas. Ada satu kelas yang jendelanya terbuat dari kawat. Hampir setiap kelas bocor, kalau hujan mejanya harus didempet-dempetkan untuk menghindari “hujan lokal”. Sedihkah kami? Tidak, kami tetap bergembira. Ah, anak-anak sangat jarang bersedih kawan.

Kalau istirahat, kami senang bermain benteng, lari-larian sampai mandi keringat setelah itu kembali belajar dengan membuat aroma kelas menjadi harum semerbak sehingga ibu guru jadi rada enggan masuk kelas.

Kami tidak bisa pikir panjang sebelum bertindak. Pernah suatu hari kami naik sepeda dari rumah ke Kota Wisata sepanjang 12 km, saling berboncengan untuk foto-foto di patung bundaran Kota Wisata. Pernah juga kami mencoba kabur dari latihan pramuka yang akhirnya sekelas mendapat hukuman di kunci di kelas.

Saya juga masih ingat, kami harus maju satu-satu untuk menghafal nama negara dan ibu kotanya di seluruh benua. Ini yang membuat saya masih ingat sampai sekarang bahwa ibukota Estonia adalah Talin, dan Riga adalah ibukota Latvia. Apa gunanya? Entahlah. Saya tidak berpikir sampai situ ketika dulu disuruh meghafal.

Yang menyenangkan dari berada dekat dengan anak-anak adalah kegembiraan dan ketulusan mereka, seolah tidak ada yang mereka risaukan, dan mereka seperti punya bank energi yang tidak pernah habis. Anak-anak belum bisa berpikir panjang dan merenungkan hal-hal kompleks sebab-akibat dari apa yang mereka lakukan. Ini yang membuat mereka spontan dan penuh ingin tahu, tidak banyak ragu. Ini yang membuat pendampingan orang dewasa menjadi dibutuhkan.

Saya jadi teringat, kalau orang dewasa dikatakan masih seperti anak-anak, biasanya cenderung bermakna negatif. Padahal, sifat anak-anak banyak sekali yang baik, yang saya sebutkan sebelumnya hanyalah beberapa diantaranya saja. Bahkan, ada tertulis, bahwa yang demikianlah yang memiliki kerajaan surga.

Comments