Skip to main content

Zona Waktu

https://thecsrjournal.in/csr-single-time-zone-in-india-causing-hinderance-in-national-development/
"Kalau gue jadi lo, gue bakal mulai nyicil rumah di daerah Depok atau Bogor. Daripada uangnya setiap bulan habis buat bayar kosan, jalan-jalan sana-sini gak karuan. Duit habis gak jelas kemana," seorang teman menceramahi saya di sekitar tahun 2016.

"Kosan buat gue sekarang udah cukup kok. Jalan-jalan bikin gue semangat kerja. Gue nggak mau mulai nyicil rumah sekarang, tapi punya hutang lima belas sampe dua puluh tahun ke depan. Mending nabung DP nya dulu sampe banyak," saya menjawab santai. Bodo amat dengan iklan di tv yang bilang hari senin harga properti naik. Pikiran saya ketika itu adalah saya merasa cukup dengan tinggal di kosan yang tinggal lima menit jalan kaki ke kantor, menabung untuk jalan-jalan, dan membeli apa yang perlu saja.

Kami terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Saya percaya bahwa tiap orang punya pertimbangannya masing-masing. Saya sungguh meyakini bahwa setiap orang sebenarnya tahu apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Pilihannya tinggal apakah dia mengikuti kata hatinya atau tidak. Saya juga yakin bahwa setiap orang punya zona waktunya masing-masing. Klasik memang, tapi keyakinan ini yang membawa saya belajar menikmati zona hidup yang sedang saya jalani, tidak terlalu banyak ambil pusing dengan pertanyaan "kapan" atau pernyataan orang-orang di sekitar yang diawali dengan "kalau gue jadi lo".

Hal itu juga yang membuat saya belajar menghormati dan menerima "zona waktu" orang-orang terdekat. Jika memang berharga untuk ditunggu, pasti akan bertemu pada irisan tertentu. Jika kemudian ditinggal atau memutuskan untuk meninggalkan, kembali ke bait pertama bahwa setiap orang punya petimbangannya masing-masing. Sesederhana itu.

Tiga tahun berselang, saya memutuskan untuk tidak lagi tinggal di kosan. Mencoba hal baru untuk menetap di tempat lain yang mungkin butuh lima puluh menit untuk sampai kantor.

Seperti waktu yang bergerak, saya perlahan belajar bahwa kesadaran dan pemikiran pun tidak stagnan. Apa yang sebelumnya dianggap tidak penting, perlahan menjadi prioritas. Hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan, akhirnya menjadi rutinitas sehari-hari. Kegiatan yang begitu kamu cintai dan begitu lekat dengan imejmu selama ini, tidak lagi dilakukan sesering dahulu.

Mana yang lebih baik? Dulu atau sekarang? Selama dilakukan atas kesadaran penuh dan kehendak bebas, tidak lebih baik atau tidak lebih buruk. Memang demikian saja seharusnya.

Lebih menyenangkan dulu atau sekarang? Ah, ternyata bagian yang paling menyenangkannya adalah tahu bahwa kamu mengikuti kata hatimu dan terus menjalani apa yang selama ini kamu yakini. Berjalan di zona waktumu sendiri dengan segala kesadaran yang kamu miliki.

Comments