Skip to main content

Cerita dari Bali

Saya kirimkan video tempat dimana saya tinggal sekarang ke keluarga di rumah, ibu bertanya, "Sekarang kamu tinggal di hutan?" Bersyukur sekali menemukan tempat ini. Tempatnya persis di pinggir jalan raya, kemudian turun ke bawah sedikit, dan voila, sebuah ruangan dengan ukuran 5m x 7m, yang dari berandanya langsung terlihat air terjun, sungai, dan pohon-pohon besar. Seperti di Aselih, ruangan ini bermandikan cahaya matahari, tapi tentu saja lebih sejuk. Setelah empat bulan pindah-pindah tempat tinggal di sekitaran Ubud, akhirnya, menemukan tempat yang nyaman tapi juga bisa sustain untuk jangka panjang.

Salah satu bagian yang paling menyenangkan selama lima bulan terakhir adalah perjalanan berkeliling Bali. Di akhir pekan, saya dan Cen akan membuka google maps, lalu menunjuk tempat menarik yang sekiranya ingin dikunjungi, kemudian siap-siap, lalu berangkat. 

Cen Terdampar di Pantai Jimbaran

Minggu pertama, kami naik Gunung Batur di daerah Kintamani. Dua minggu setelahnya, camping di Savana Tianyar di Karang Asem lalu melanjutkan perjalanan ke Amed di Bali bagian Timur hanya untuk makan siang. Minggu berikutnya kami ke Air Terjun Tegenungan di Gianyar dan melanjutkan melihat matahari tenggelam di Pantai Jimbaran dan makan seafood di Kedonganan yang murah meriah. Di sana saya lumayan kaget ternyata ikan-ikan cantik yang biasa terlihat ketika snorkeling ternyata bisa dimakan.

Seminggu kemudian, kami naik Gunung Agung di Karang Asem, bersyukur sekali cuacanya baik dan semuanya berjalan lancar. Seminggu setelahnya kami ke daerah Uluwatu, ke Pantai Nyang Nyang. Pantai ini merupakan pantai terbaik bagi saya selama di Bali. Kebetulan ketika itu ada gerhana bulan, saya lumayan terkejut karena bulan bisa terlihat sedemikian besar dari tempat ini. Dua minggu setelahnya, kami kembali ke Uluwatu karena masih penasaran dengan pantai-pantai di sini. Kami sempat menonton Tari Kecak di Pura Uluwatu, yang entah kenapa rasanya jauh lebih bagus dan magis dibandingkan beberapa tahun lalu saya menonton di tempat yang sama. Oh ya, kami juga menemukan tempat makan sate dan sop kambing paling enak di daerah Pecatu, Sate dan Sop Kambing Khas Jakarta Sudi Mampir. Setiap saya membayangkan tempat ini, selera makan saya mendadak naik.

Kecak di Pura Uluwatu. Penari menggunakan masker dan menjaga jarak.

Di pertengahan Juni kami ke Tabanan, lebih tepatnya ke Kebun Raya Bali. Sayang sekali hujan. Oh, persis di seberang Kebun Raya, ada tempat makan ayam taliwang yang enak. Cen suka sekali untuk tidak pulang lewat jalan yang sama, jadi ia akan melihat peta, lalu memplot jalur mana yang akan dipilih. "Kita ke Plaga dulu ya, terus pulang lewat Kintamani, gimana?" tanyanya sambil menunjukkan jalur yang akan dituju. Astaga, butuh waktu sekitar tiga jam untuk sampai Ubud lagi. "Kenapa Plaga?" tanya saya sambil men-zoom in peta. Cen menjawab, "Kepingin aja. Kan ada wine merk Plaga." Sudah diduga, jawabannya akan tidak terduga. Ayo, jawab saya senang-senang saja karena tinggal duduk manis di jok belakang sambil menikmati pemandangan menyenangkan di sepanjang jalan. Benar saja, jalan dari Tabanan ke Plaga cantik sekali. Kami naik turun bukit, melewati pedesaan sejuk yang dikelilingi perkebunan. 

Jalan di Plaga

Karena masih penasaran dengan Bali Utara yang sudah tidak jauh dari Tabanan, seminggu setelahnya, kami mengambil cuti setengah hari dari hari Jumat untuk bisa ke Bali Utara dengan tidak terburu-buru. Seperti biasa, ketika memulai perjalanan kami tidak punya banyak perencanaan. Biasanya ada satu destinasi awal yang kami tuju dulu, tapi kemana setelahnya, menginap di mana, makan di mana, itu sama sekali tidak direncanakan. Benar-benar go show dan lihat bagaimana nanti.

Danau Tamblingan

Hari itu kami sampai di Danau Tamblingan sudah lumayan sore. Tempatnya mengingatkan saya dengan Danau Taman Hidup di Argopuro, tapi ini jauh lebih besar. Kesan tenang, damai, dan magisnya terasa kuat sekali. Sekitar empat puluh lima menit di sana, karena mulai gelap, kami memutuskan untuk mencari pusat kotanya sekalian makan malam. Tidak disangka, ternyata jalanannya lumayan mencekam. Naik turun, berkelok-kelok, dan sesekali kabutnya luar biasa tebal. Setelah hampir empat puluh lima menit, akhirnya kami tiba di jalan raya. Lega sekali. Sambil makan malam, saya dan Cen berdiskusi apakah akan langsung ke Singaraja atau mau menginap semalam di sini, di Munduk. Belakangan kami baru tahu, bahwa Munduk seperti puncaknya Bogor, bahkan orang lokal Bali menyebut Munduk dengan Puncak. 

Ekommunity

Akhirnya kami putuskan untuk menginap semalam dulu. On the spot, kami menemukan tempat bernama Ekommunity. Tempat camping yang tenda dan segala fasilitasnya sudah disediakan. Karena kami tiba sudah malam, tidak banyak yang bisa kami lihat pemandangan dari tenda. Ketika pagi, ternyata pemandangannya cukup luar biasa. Tendanya didirikan di tebing yang bawahnya langsung sungai, dan masih sangat hutan. Sekitar pukul delapan, kami turun ke sungai dan mengikuti penunjuk arah yang menunjukkan tanda ke air terjun. Sekitar lima belas menit berjalan kaki, sampailah kami di air terjun yang lumayan tinggi dan tidak ada pengunjung lain di sana.

Agak siang, kami langsung menuju Singaraja yang ternyata sangat kota, kami bermalam di Pantai Lovina, Bali Utara. Subuh kami sudah siap-siap untuk naik kapal kecil menuju ke tengah laut untuk melihat lumba-lumba. Menuju spotnya, kami disuguhi pemandangan matahari terbit yang indah sekali. 

Sunrise di Lovina

Dalam bayangan saya, lumba-lumbanya hanya satu atau dua dan belum tentu beruntung bisa bertemu lumba-lumba. Ternyata begitu sampai spotnya, sudah banyak kapal lain yang juga menunggu. Sekitar lima menit, sekumpulan lumba-lumba melompat ke udara. Saya kira sudah selesai, ternyata tidak. Entah lumba-lumba dari kawanan yang sama atau tidak, tapi ternyata mereka berkali-kali muncul. Yang cukup mengganggu sebenarnya adalah ketika lumba-lumba muncul, kapal akan berlomba-lomba mendekati. Ya tentu saja lumba-lumba akan langsung lari dan tidak lagi muncul. Kenapa kita tidak diam di tempat saja dan menyaksikan dari kejauhan lumba-lumba berlalu-lalang.

Minggu tengah hari, kami bersiap-siap untuk kembali ke Ubud. "Cen, kita mampir ke Gitgit dulu?" saya bertanya sambil menunjukkan peta. "Boleh, ada apa di Gitgit?" Cen mengambil ponsel saya dan melihat jarak dan arahnya. "Hmm, nggak tau. Namanya lucu aja," kata saya menimpali. Di tengah jalan, akhirnya kami memutuskan untuk mampir di Air Terjun Gitgit. Saat sampai, tidak ada orang sama sekali di sana dan mulai gerimis. Setengah jam menunggu, ternyata cerah. Tidak jauh dari air terjunnya, terdapat sungai yang lumayan besar dan jernih sekali. Jadilah kami menghabiskan sekitar satu jam di sana. Jam tiga sore baru kami bergegas pulang. Sekitar jam delapan malam kami baru sampai Ubud setelah berhenti di Kintamani untuk makan malam. 

Itu adalah perjalanan terakhir kami sebelum PPKM darurat akhirnya dimulai. Dua bulan kemudian, baru kami kembali melihat peta dan bersiap untuk jalan lagi. Kali ini kami kembali ke Amed yang kemarin hanya mampir untuk makan siang. Amed terkenal sebagai destinasi untuk menyelam, di tempat ini masih banyak turis asing yang berkunjung. Bahkan, saat kami makan, seluruh pengunjungnya tidak ada orang indonesia. Berasa asing di negeri sendiri. 

Amed

Pagi hari, kami menunggu matahari terbit. Saya rasa ini pertama kalinya saya melihat matahari yang benar-benar bulat seperti dimuntahkan dari perut bumi. Setelah melihat pemandangan itu, tiba-tiba saya mengerti kenapa telor ceplok dinamakan sunny side up. Karena ternyata memang seperti kuning telur saat matahari baru terbit.

Bukan Cen namanya kalau pulang lewat jalan yang sama. Kalau berangkat kami menelusuri Gianyar, lalu melewati Candi Dasa, baru masuk ke Amed, pulangnya kami malah semakin naik ke atas, melewati Kubu, Tianyar dan Gretek baru belok di Tejakula. Kami berencana menghabiskan sore di Kintamani sambil menikmati pemandangan Gunung Batur. Sudah dua kali kami kesorean saat sampai Kintamani, berharap kali ini bisa sampai sebelum matahari tenggelam.

Bintangnya Amed

Yang mengejutkan dari perjalanan pulangnya adalah setelah belok dari Tejakula menuju Kintamani, ternyata jalurnya tanjakan curam tanpa ampun. Sampai di satu titik, Mio kesayangan nggak sanggup lagi nanjak. Kami di tengah-tengah desa dengan pemandangan yang indah, yang berlalu lalang kebanyakan warga setempat yang berkebun. Untunglah, saat kami sedang menunggu Mio dingin, seorang bapak bermotor menghampiri dan menawarkan tumpangan ke Jalan Raya Kintamani. Jadilah saya sama bapak ini, dan untungnya Mio mau membawa Cen yang sendirian. 

Akhirnya kami sampai di Kintamani sekitar pukul lima sore. Gunung Batur berdiri dengan gagahnya di hadapan kami. Sore yang menyenangkan.

Sejauh ini, kami gembira bisa melakukan perjalanan yang sangat menyenangkan dengan pemandangan yang luar biasa, tapi lebih dari itu, cerita, momen, dan pengalaman yang kami lalui tidak akan pernah bisa tergantikan. Dan tentu saja, semoga masih panjang waktu yang diberikan untuk kami bisa melanjutkan perjalanan ini.

Saya dan Cen di Pantai Nyang Nyang

Comments