Skip to main content

Teman Hidup

Saya tidak menyangka bahwa akhirnya saya akan mengikuti jejak Siska, menemukan pasangan hidup di Bali. Bedanya, pasangan saya tidak berasal dari Bali, tapi dari Bandung. Ya, awalannya sama-sama 'ba' sih

Sebelumnya saya selalu bertanya-tanya, bagaimana seseorang bisa yakin untuk menikah, bagaimana seseorang bisa tahu bahwa pasangannya adalah orang yang ia percayai untuk menghabiskan seluruh sisa usia bersama-sama. Saya hampir selalu menanyakan hal itu ke orang-orang terdekat saya yang akan menikah, tapi tidak ada satupun jawaban yang bisa saya pahami. Setelah saya bertemu Zaenal, saya menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Jawaban atas pertanyaan itu ternyata bukan melalui pemahaman atas pengalaman orang lain, tapi pengalaman personal. 

Tentu saja saya tidak langsung meyakini bahwa dia orangnya saat saya pertama bertemu di Jalan Cinta. Perjalanan bersama, obrolan, pemikiran, dan tentu perasaan kami terhadap satu sama lain yang akhirnya membawa kami untuk menjadi teman hidup. Kesan pertama saya tentangnya adalah ia orang yang apa adanya, tidak berusaha terlihat keren, dan saya langsung bisa merasakan ketulusan dan kejujurannya. 

Latar belakang kami sangat berbeda. Ia seorang seniman, sementara saya aktuaris. Ia mengolah rasa, sementara saya mengolah angka. Sejauh yang saya ingat, nilai saya di sekolah yang paling jelek adalah pelajaran seni, salah satu pelajaran yang menjadi momok bagi saya. Ia bercerita pernah menjawab soal ujian matematika dengan gambar karena saking tidak ada ide apa jawabannya. Saat pertama ia menjelaskan tentang proses membuat karya, saya sama sekali tidak ada bayangan. Mungkin sama blank nya ketika saya menjelaskan soal pekerjaan saya terkait aktuaria.

Sebelumnya, saya berpikir bahwa memiliki hobi yang sama dengan pasangan tidaklah esensial. Ternyata salah satu hal yang mempersatukan kami justru adalah kecintaan kami kepada perjalanan. Seminggu setelah bertemu, kami mendaki Gunung Batur bersama. Lalu dua minggu setelahnya, kami berkemah di Savana Tianyar. Ada momen yang tidak akan pernah saya lupakan, saat kami bermotor menembus jalan berkabut, dengan kanan tebing dan kiri sungai. Ada perasaan takut, excited, tapi juga tenang karena saya tidak sendirian. "Kemana saja saya selama ini, saya rasa ini yang selama ini saya cari," saya bergumam dalam hati.  

Kami memiliki pemahaman yang sama soal peran perempuan dan laki-laki, baik dalam kehidupan bersosial, maupun dalam hidup berkeluarga. Saling mengasihi, saling melayani, dan demi kebaikan dan kebahagiaan bersama. Kami setuju untuk saling mendukung impian kami masing-masing sebagai individu, kami sepakat bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. 

"Bagaimana kalau saya nggak mau punya anak?" suatu hari saya menanyakan ini kepadanya. Lalu ia menjawab, "Yang akan hamil kan kamu, Ran. Tubuh kamu, otoritas kamu. Kita sama-sama nggak semata-mata untuk punya keturunan kan. Kita nyaman dan bahagia berdua, dan akan terus mengupayakan itu. Itu yang paling penting." 

Lalu saya melanjutkan, "Memang menurut kamu, apa peran bapak? Kalau kamu sebagai bapak, kamu mau jadi bapak yang seperti apa?" Lalu ia menjelaskan bahwa peran mendidik anak adalah peran ibu dan bapak. Tidak hanya mendidik, tapi juga hal-hal yang terkait peran domestik seperti memandikan, makan, dan lain-lain. "Bagi saya, peran ibu dan bapak itu nggak rigid, Ran. Siapapun yang memang punya waktu lebih fleksibel, entah itu ibu atau bapaknya, ya akan punya waktu lebih banyak untuk menemani anaknya." 

Saya lumayan terkejut dengan jawaban Cecen, tapi bercampur lega dan semakin yakin bahwa saya akan memilih Cecen tidak hanya sebagai teman jalan, tetapi juga teman hidup. Saya bisa membayangkan bagaimana kami akan bersama-sama menemani satu sama lain, berjalan lebih jauh, dan membentuk keluarga seperti yang kami cita-citakan. Saat Cecen melamar di Rinjani tepat di ulang tahun saya yang ketiga puluh, saya dengan yakin menjawab iya. 

Januari kemarin akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Saat mengirim undangan ke teman-teman terdekat, banyak yang mengatakan, "Gw nggak nyangka lo akan nikah, Ran!" Oh, jangankan kamu, bahkan saya sendiri tidak menyangka.

Comments