Skip to main content

Pulang

Sudah lama aku tidak pulang, tidak juga memberi kabar. Belum terlalu rindu. Kuhabiskan waktuku sehabis-habisnya, menyibukkan diriku dengan apapun, menyempatkan melakukan banyak hal, kecuali menemuimu. Mungkin karena hidupku baik-baik saja akhir ini, aku sehat, dikelilingi keluarga dan teman-teman yang membahagiakan, pekerjaan yang memang aku inginkan - meskipun kadang aku pertanyakan, dan buku-buku yang bisa membuatku larut berjam-jam. Di saat-saat seperti ini, biasanya aku tidak rindu padamu.

Kerinduan itu akhirnya tiba, memanggilku tanpa bisa kuelakkan lagi. Aku memutuskan untuk pulang. Secara tidak sengaja, yang pertama aku temui adalah ibumu, ibu kita, di kebun mawarnya. Kebun mawarnya sangat cantik dan penuh. Aku mencoba mengingat bulan apa sekarang. Ah, bulan ini memang sedang musim mawar. Aku menyapanya, memberi salam. Aku takjub dengan bibirku sendiri. Entah, sudah berapa lama aku tidak menyuarakan salam ini keras-keras untuknya. Tapi ibu tetap tersenyum, tidak ada kecewa apalagi ekspresi menghakimi dari wajahnya yang teduh itu. Dia hanya tersenyum, mengusap kepalaku lembut, sambil berkata, "Akhirnya kamu pulang, anakku. Aku sangat berbahagia melihatmu kembali."


Saat aku bergegas meninggalkan ibu, barulah aku sadar, kau sudah menunggu di sana, berdiri di depan pintu. Angin berhembus pelan, mengibarkan rambut ikal dan jubahmu. Cahaya jingga dari matahari yang akan tenggelam terpantul di wajahmu. Aku berjalan mendekat dengan langkah yang semakin melambat, mengambil waktu untuk mempersiapkan diriku sendiri. Perlahan, kau merentangkan tanganmu, disertai senyuman teduh yang takkan pernah bisa kulupakan. Aku memelukmu, erat, tanpa kata-kata.

"Aku rindu padamu. Aku di rumah sekarang," kataku setelah puas melepaskan energi kerinduan itu.

"Akhirnya kau pulang. Aku tahu, kau akan pulang," katamu sambil tersenyum riang.

Akhirnya aku menghabiskan senja itu untuk bercerita kepadamu.

Aku bercerita tentang pekerjaanku yang rasanya tidak ada gunanya selain bagi perusahaanku. Akupun ragu, jika pekerjaan itu sungguh berguna bagi perusahaanku. Lalu aku bertanya, jadi untuk apa bekerja, menghabiskan hariku di cubical itu, selain karena aku memang belum mati dan tidak mau menjadi batu sandungan bagi orang lain?

Kau memutarkan semacam cuplikan video, tapi rasanya sangat nyata. Aku bertemu dengan seorang pembersih toilet umum di pusat perbelanjaan. Saat aku ingin buang air kecil, aku mengernyit karena toilet itu terlalu kotor. Lalu dengan sigap ia membersihkan toilet itu dan setelah bersih, dia mempersilakanku menggunakannya. Dia menghabiskan seluruh harinya di toilet umum.

Kemudian, kau juga mempertemukanku dengan kakakku sendiri. Dia bekerja belasan tahun dan jauh dari keluarga. Dia andil banyak dalam gelar sarjanaku meski akhirnya dia belum pernah mencecap gelar ini sendiri untuknya.

Video selesai, samar, kutemukan jawabanku. Kau menatapku, sambil tetap tersenyum, "Tidak ada hal yang kecil di hadapanku. Apapun itu, lakukan dengan cinta."

Lalu aku bercerita tentang kisah kasih yang tak berbalas. Aku sudah hampir menangis saat menceritakannya, tetapi kau malah tertawa terkekeh-kekeh. Aku menggerutu dalam hati. Kurang ajar betul dia tertawa di atas patah hatiku. Akhirnya kau berhenti tertawa dan menatapku dengan sungguh, "Jani, Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu."

Aku terdiam. Mencoba mencerna. Untuk dia yang rasanya aku kasihi, aku cemburu, aku tidak sabar, aku perhitungan. Ah..

"Jadi, kau yakin bahwa kau mengasihinya? Kau menjadi begitu takut kehilangan dia bukan? Jadi, siapa yang sebenarnya kau kasihi, dia atau dirimu sendiri? Menurutmu, sebenarnya, itu bentuk kasih atau cinta diri?" Kau menyerangku dengan pertanyaan tak terduga. Aku jatuh, telak, tanpa perlawanan.

Kau mengerlingkan matamu, "Kasih itu energi. Dia kekal. Jika kau mengasihi, kasih itu akan kembali padamu, dengan cara apapun, cepat atau lambat. Mengerti? Biar kurekat lagi hatimu yang patah." Aku kembali memelukmu. Hatiku sudah tidak lagi patah sekarang.

"Boleh aku menceritakan kisahku, satu lagi.." Aku meminta waktunya untuk sedikit lebih lama lagi duduk di sampingku.

"Jani, sejuta kisahpun, aku masih tetap mau mendengarkan. Duduk di sini, di sampingmu, sungguh menyenangkan. Kau mungkin lupa, kau yang sering tidak punya waktu untuk berbincang, bukan aku," senyumnya kembali mengembang. Kali ini, aku yang tertawa, sindiran telak kali ini.

Kemudian aku bercerita tentang kekhawatiranku menjadi orang dewasa. Betapa tanggung jawab kadang begitu berat. Betapa menyenangkan menjadi anak kecil lagi, yang hanya bermain, riang, tanpa pikiran.

Lagi-lagi, kau memutar video. Sepertinya ini halaman taman kanak-kanak. Kulihat diriku di sana sedang memanjat patung kuda yang tinggi tanpa takut jatuh. Ada anak laki-laki yang sedang berusaha mendorong pantatku agar aku bisa segera naik ke atas kuda itu. Anak-anak yang lain ada yang bermain kejar-kejaran, ada yang antri menunggu giliran bermain ayunan, ada juga yang menangis karena terjatuh.

"Tetaplah menjadi anak-anak, tanpa menjadi kekanak-kanakan, Jani. Anak-anak selalu tulus, percaya sepenuh hati dan jiwa mereka, selalu bergembira, dan mudah bekerja sama. Anak-anak tidak mudah takut dan selalu mengambil kesempatan. Mengerti?"

Aku mengangguk. Tak lama kemudian, perutku berbunyi, tanda lapar. Tanpa ragu, kau mengajakku makan malam. Ini dia yang juga paling aku tunggu-tunggu. Aku sungguh rindu makan malam bersamamu. Aku, ibu, dan kau, kita semua duduk untuk makan malam bersama.

"Mungkin aku akan pergi lagi suatu hari nanti. Mungkin aku akan pulang hanya jika aku rindu lagi seperti kepulanganku hari ini. Tapi boleh aku meminta sesuatu? Jika aku tersesat, maukah kau menjemputku? Jika aku mengetuk pintu utama itu, maukah kau membukakannya untukku?"





Comments