Skip to main content

Cerita dari Salak


Saya perlu naik gunung dalam waktu dekat untuk pemanasan Kerinci. Akhirnya, saya mengajak Leo untuk mendaki Guntur yang beberapa bulan lalu sempat tertunda. Tepat satu minggu sebelum pendakian, rencana berubah, dia menawarkan untuk menjadi “korban” di Latihan SAR organisasi Pecinta Alam yang dia ikuti. Saya dengan mudah mengiyakan, karena saya pikir, ini akan berbeda dari pendakian-pendakian sebelumnya.

Senin malam, saya datang ke sekretariat Pecinta Alamnya untuk briefing. Mereka sedang proses perekrutan anggota baru, dan perjalanan SAR ini adalah salah satu tahapnya. Para calon anggota akan diberi tahu bahwa ada sekelompok pendaki berjumlah tiga orang yang hilang di Gunung Salak, dan mereka harus mencari para korban ini. Mereka tidak diberitahu bahwa ini hanya latihan, jadi mereka menganggap bahwa benar ada survivor yang harus ditemukan dan dalam bahaya.

Kami diberitahu rute pencarian calon anggota dan dimana posisi kami sebagai korban harus berada. Latihan ini akan diadakan di kaki Gunung Salak.

Ada yang menarik dari malam itu. Sekretariat cukup ramai, sebagian besar sedang pendinginan dan berbincang sehabis jogging. Mereka rata-rata berperut rata, baik pria maupun wanita. Badan fit yang terbentuk karena jogging yang rutin, latihan panjat, naik gunung, dll, bukan karena ngegym. That’s awesome.

Malam itu juga saya dikenalkan dengan Andi, satu “korban” lagi. Dia masih dalam setelan lengkap pakaian kerjanya. Jadi, saya, Leo, dan Andi yang akan menjadi korban. Kami akan mulai mendaki Jumat malam dan direncanakan turun paling lambat Minggu pukul 12.00 siang. Kami harus menyerahkan ist barang bawaan kami, mulai dari merk, warna, dan ukuran barang-barang yang kami bawa. Keterangan tentang pakaian dalam tidak saya isi.

Ada yang lucu, saat kami packing di kosan Andi dan membagi barang-barang, Andi menyuruh saya memilih konsumsi kelompok mana yang akan saya bawa. Ada bungkus plastik yang berisi sosis dan sejenisnya, ada yang berisi minuman hangat dan bumbu-bumbu, juga ada yang berisi snack, cokelat, dan biskuit dengan jumlah yang banyak. Spontan, saya memilih yang berisi snack.

“Jangan. Itu konsumsi pribadi gw. Nanti gw yang bawa,” katanya.

Awkward moment. Baru kenal, jadi saya belum berani banyak komentar. Saya terlanjur memasukkan snack pribadi saya ke dalamnya dan tidak berani mengambil lagi. Haha.

“Ada lagi yang kurang gak ya?” Leo bertanya memastikan tidak ada lagi yang ketinggalan.

“Golok tebas?” kata saya.

“Raymond!” Serempak Andi dan Leo menyerukan kata itu.  Saya bingung, hah, Raymond?  Setelah perjalanan, baru saya tahu, yang dimaksud adalah tramon, golok tebas untuk siap-siap jika diperlukan membuka jalur.

***

Jumat malam kami berangkat. Tidak ada foto-foto di pendakian kali ini, karena saya tidak bawa kamera, dan sepertinya tidak ada yang perlu difoto juga. Sebelum mulai pendakian, kami ke villa tempat Base-SAR. Andi dan Leo mulai bermain dengan peta, menentukan jalur yang akan dilalui dan koordinat tempat kami akan camp malam ini, lalu memplot di GPS.

“Kita camp di sekitar sini aja Le, tempat yang lumayan datar terakhir. Ke atas lagi udah ngaceng banget jalurnya soalnya,” kata Andi sambil menunjuk peta kontur. Ngaceng, istilah yang mereka gunakan untuk jalur yang terjal.

Pukul setengah dua belas malam kami mulai mendaki. Andi, diikuti Leo, lalu saya di paling belakang. Jalurnya masih belum teralu parah. Kami melewati pemukiman penduduk, kebun bambu, kemudian menyeberangi sungai, dan jalur baru mulai menanjak. Saat menyeberangi sungai, ternyata sol bawah sepatu saya lepas.

“Tunggu Le, sol bawah gw lepas,” kata saya pura-pura tidak panik sambil menarik semuanya agar lepas dari sepatu saya.

“Masih ada alasnya lagi kan?”

“Ada kok,” jawab saya santai, padahal ketar-ketir karena alas berikutnya sangat licin, tidak ada gerigi-gerigi yang bisa mencengkram tanah.

Perjalanan dilanjutkan. Saat menyeberangi aliran yang kedua, sol sepatu yang sebelahnya lagi juga lepas. Ya Tuhan, sepatu ini baru saya beli setahun yang lalu. Padahal sepatu saya yang satu lagi tahan lima tahun lebih. Lengkaplah, saya berjalan dengan sepatu yang tidak mencengkeram tanah seperti sepatu tracking seharusnya.

Dua jam kami berjalan, akhirnya sampai di tempat camp dengan lahan yang lumayan datar. Ada orang-orang yang lebih banyak bercerita ketika di gunung daripada di kota, mereka adalah dua diantaranya. Setelah berbincang, sekitar pukul dua pagi, kami tidur.

“Besok kita berangkat jam berapa?” tanya saya untuk ancang-ancang persiapan besok.

“Sebangunnya aja,” Andi menjawab. Yes, bisa bangun siang.
Pukul enam pagi saya terbangun karena ada suara ramai orang berbincang. Leo juga baru terbangun. Andi masih terlelap. Jangan-jangan para caang itu.

“Ada orang, Le!”

“Iya,” Leo bangun untuk mengintip keluar tapi ternyata tidak kelihatan.

Kami memutuskan untuk tidur lagi, sampai akhirnya ada yang mendekat ke tenda kami, dan membuka resleting tenda.

Leo dan perempuan itu, yang kemudian saya tahu bernama Nisa, sama-sama terkejut melihat satu sama lain. Tak lama kemudian, terjadilah debat diantara syahdunya pagi dengan kicauan burung di tengah gunung.
Andi terbangun dan langsung berteriak, “Ngapain lo di sini?”

“Lo yang ngapain di sini?” jawab Nisa spontan.

Mereka bertiga berdebat mengeluarkan peta, mencari tahu siapa yang salah jalur pendakian. Saya duduk di pojok tenda, memperhatikan mereka bertiga. Ah, saya benar-benar hanya pengikut disini.

Intinya, jika para caang tahu bahwa kami di sini, kami akan tertangkap basah sebagai korban, dan pencarian selesai. Padahal, seharusnya paling cepat kami ditemukan sabtu siang.

“Gw kasih lo lima belas menit buat packing dan buruan naik ke atas, jangan sampe keliatan caang. Caang bentar lagi orientasi medan dan mulai pencarian,” Nisa memberikan instruksi.

Tanpa minum dan makan sedikitpun, saya dan Leo langsung ke atas, Andi yang akan packing tenda dan kemudian menyusul agar tidak terlalu mencolok. Ini sejarah packing terkilat yang saya punya.

Sekitar empat jam, kami bergerak dari ketinggian 900 mdpl ke 1400mdpl. Dua pria itu harus agak melambatkan ritme jalan mereka, dan saya harus mempercepat agar bisa mengikuti dua pria robot itu. Tiap ada dua percabangan, mereka mengecek ke arah yang berbeda, sementara saya diam menunggu di tengah-tengah. Mereka menggunakan berbagai istilah yang tidak saya mengerti. Ah, selain hanya pengikut, saya juga yang paling bodoh di sini. Percayalah, tidak enak jadi yang tertinggal sendirian, tidak banyak mengerti, dan tidak berada di tingkat pengetahuan yang setara.

Jalur yang kami lalui tanahnya sangat gembur dan licin, ditambah lagi sepatu saya yang bermasalah. 
Pohonnya rata-rata berduri, sehingga tidak bisa dijadikan tumpuan. Ditambah lagi banyak pacet hitam kecil lucu yang suka menghisap. Sepanjang perjalanan, terdengar beberapa kali nama kami diteriakkan oleh mereka. Saya agak bergidik, mengerikan sekali jika itu benar terjadi, dicari oleh tim SAR.

Sekitar pukul dua belas siang, kami mendirikan camp, mulai memasak untuk makan, setelah itu tidur siang.
Para caang dibagi ke tiga kelompok, Alfa, Bravo, dan Charlie. Yang paling mungkin menemukan kami adalah Tim Charlie. Dan benar, saat sedang tidur siang, seperti dugaan kami, mereka tiba dan menemukan kami. Ceritanya saya mengalami ankle dan tidak bisa berjalan. Dengan prosedur SAR, mereka menginterogasi nama dan perlengkapan yang kami bawa, memastikan bahwa kami adalah benar survivor yang mereka cari. Kemudian mereka memberikan pertolongan pertama. 

Setelah itu, mereka berkomunikasi dengan manager SAR, dan mendapatkan instruksi bahwa saya harus ditandu jika belum bisa berjalan juga. Tim Alva dan Bravo juga diinstruksikan untuk menuju ke sini untuk memberikan bantuan. Saya sudah membayangkan, sepertinya seru merasakan ditandu sampai bawah.

Tanpa diduga, selesai makan malam, ada instruksi bahwa kami harus turun semua karena ada yang cidera di Tim Bravo dan harus direscue sungguhan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di alam, yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan diri untuk mengantisipasinya.

Tiga setengah jam perjalanan turun, entah berapa puluh kali saya terpeleset. Pukul 1 pagi, kami sudah tiba di basecamp. Kebanyakan pria langsung melanjutkan perjalanan untuk merescue Tim Bravo. Ini perjalanan pendakian saya yang paling singkat dengan jumlah lecet terbanyak.

***

Seru! Biasanya saya mendaki gunung untuk wisata, mengikuti jalur konvensional, dan pelaksanaan di lapangan tidak terlalu jauh berbeda dengan perencanaan. Kali ini, saya melihat bagaimana mereka melakukan pendakian yang tidak untuk wisata, untuk proses belajar dan latihan, dan betapa coolnya memiliki kemampuan itu dalam berkegiatan di alam bebas. Sekali lagi, alam tidak akan pernah bisa ditaklukan, yang kita bisa lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Canggung sekali karena saya outsider di sini, satu-satunya orang dari luar organisasi ini. Tapi untunglah, mereka ramah dengan penerimaan yang baik. Bertemu dengan orang-orang baru, menangkap keseruan dan brotherhood mereka, dan mengamati dari jauh. Sampai akhirnya, minggu pagi saya memutuskan untuk pulang terlebih dahulu karena tidak ada lagi yang perlu saya lakukan di sana.

Satu lagi pengalaman baru!

Ke Salak lagi? Tidak. Terimakasih! Hahaha.

Comments

  1. Wedew kul amat!!!
    Gua pernah juga ngerasain jadi korban yg di gotong di tandu... Percayalah kak rasanya ga enak liat temenlu keberatan pas lagi gotong lu terus yg bisa lu lakukan hanya diam dan tahan napas berharap berat badanlu berkurang...
    Wk

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha, iya sih la. apalagi jalannya gak datar.

      Delete

Post a Comment