Skip to main content

Rumit




Aku menyukaimu sejak kita masih anak-anak. Aku menyukaimu seperti aku suka mandi hujan, seperti aku suka berlari, dan seperti aku suka belajar matematika. Tidak butuh alasan untuk suka mandi hujan, berlari, dan belajar matematika, mereka seolah sudah tertulis di DNA ku. Serupa itulah aku menyukaimu, sudah tertulis di DNA ku juga sepertinya.

Anak – anak tidak peduli pada kerumitan, tidak bisa berpikir panjang, dan menyukai hal yang spontan. Aku tidak peduli bahwa doa yang harus kita hafal ternyata berbeda, kamu harus hafal Al-Fatihah sedangkan aku harus hafal Bapa Kami. Aku sangat bersyukur bahwa aku bisa bertemu denganmu selama hampir setiap hari selama lima tahun. Aku gembira saat berlari bersamamu mengejar lawan untuk menjaga benteng kita. Aku menyukaimu dengan sederhana, spontan, dan tanpa kerumitan.

Tahun berlalu, aku dan kamu tumbuh dewasa, dan kita kembali bertemu, saat kamu sudah bersama calon pasangan hidupmu.

Orang dewasa menyukai kerumitan, sudah bisa berpikir panjang, dan penuh pertimbangan. Saat itulah kita sadar, bahwa doamu dan doaku berbeda. Kita tidak akan pernah ada di benteng yang sama seperti dulu. Menyukaimu tidak bisa lagi spontan, ada yang perlu dijaga agar kita tidak jatuh terlalu jauh. Hubungan kita rumit, seperti headset kusutku. Yaa, kita memilih untuk tinggal di kerumitan ini.

Aku bisa bercerita padamu seperti anak-anak bercerita pada pada temannya tanpa rasa malu, aku bisa berlindung di sampingmu seperti aku punya kakak pria yang luar biasa melindungi, aku bisa menyandarkan kepalaku di bahumu seperti aku rebah di bantal bauku. Satu hal yang tidak pernah berubah dari dulu adalah bahwa aku begitu percaya padamu. Aku percaya padamu tanpa syarat, seperti anak-anak yang percaya pada Santa Claus bahwa mereka akan mendapat kado terbaik di malam natal. Aku percaya bahwa kamu akan selalu memenuhi ucapanmu.

Aku percaya padamu sampai siang itu tiba. Sampai saat aku melihatmu makan bersama perempuan cantik yang jelas bisa menjadi makmummu nanti, mungkin dia calon pasangan hidupmu, yang selama ini sering kita ributkan. Kita saling menatap. Pandanganmu begitu dingin dan menusuk. Seolah aku telah membunuh hewan kesayanganmu. Aku mencoba mencerna semua yang aku lihat.

Aku berasumsi itu adalah calon pasangan hidupmu. Sempat aku memutuskan ingin kembali, menyalami perempuan cantik itu, lalu memberitahu aku siapa. Ah, aku ternyata tidak seberani itu. Aku memilih untuk terus melaju dengan pandangan yang semakin kabur dan mendadak merasa menjadi orang paling tolol sedunia karena telah begitu percaya kepadamu.

Bukan salahmu, salahku yang terlalu mempercayaimu. Aku belajar, bahwa yang paling menyedihkan dari ini semua adalah mulai meragukan hampir semua ucapan yang pernah begitu aku percaya.

Aku ingin kembali menyukaimu seperti waktu masih anak-anak dulu. Sederhana, spontan, dan tanpa kerumitan.

Comments

Post a Comment