Skip to main content

Melayang

Dia menenggak segelas tequila. Berharap kesedihannya berlalu dan sepinya menguap bersama sebotol tequila yang ia minum di sudut kamar. Saya ingin melayang malam ini, gumamnya dalam hati.

Ia teringat pengalaman pertama melayangnya. Di tepi pantai, di ujung timur negeri ini, bersama teman-teman yang baru ia kenal selama beberapa hari. Pikirannya melayang menemui orang-orang terkasihnya. Ia bersyukur untuk keluarga besarnya di ujung barat negeri ini yang diberikan kesehatan dan pengertian, kekasih yang begitu sabar dan mendamaikan, sahabat-sahabat yang meskipun terpencar-pencar tapi selalu berada di sisinya, juga rekan-rekan kerja yang menyenangkan.

Kepalanya mulai terasa berat. Ia memilih rebah di atas pasir sambil memandang langit dengan bintangnya yang begitu banyak. Tawa dan obrolan teman-temannya terasa jauh. Perlahan ia terlelap. Semuanya terasa sempurna malam itu. 

Pikirannya kembali ke sudut kamar di tengah belantara ibukota. Satu teguk. Dua teguk. Tiga teguk. Empat teguk. Dia terkekeh dalam hati menertawai dirinya sendiri. Dasar orang tidak sabaran, bahkan ingin melayang pun harus buru-buru.

Sampai tidak ada lagi yang tersisa di botolnya, barulah ia menunggu efek itu muncul.

Tidak lama kemudian, ia mulai tidak bisa mengontrol ucapannya. Segala dialog yang ada di pikiran, yang biasanya hanya tetap tinggal disana, keluar begitu saja dari mulutnya. Ia menertawai paradoksnya hidup, menyalahkan dirinya untuk kebodohan-kebodohannya yang kadang keterlaluan, menyesali sikapnya yang tidak pandai bersyukur, dilanjutkan dengan marah pada keadaan sambil menitikkan air mata, kemudian tertawa lagi.

Aneh sekali, pikirnya. Melayangnya yang pertama, ia lebih banyak diam. Tapi kali ini, ia meracau tanpa kontrol.

Tiba-tiba, ia merasa begitu ingin berdoa. Badannya disandarkan dengan santai ke tembok lalu memejamkan mata mengambil sikap doa. Ia merasa bahwa tuhannya hadir disana bersamanya. Ia berbincang seperti pada seorang sahabat lama, menceritakan rasa syukurnya, mempertanyakan beberapa hal, lalu dengan tanpa takut menceritakan segala harapannya. Terasa begitu dekat dan nyata. Saat itulah ia sadar, bahwa selama ini ia berdoa dengan cara yang salah. Perlahan, ia pun jatuh lelap.

Hari sudah pagi, ia terbangun dan kepalanya terasa berat bukan main. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Dialog terjadi dalam kepalanya, tapi kali ini tentu saja tidak ia racaukan dengan suara. Dialog imajiner itu membawanya pada satu janji, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa kejadian seperti semalam adalah pengalaman kedua dan terakhirnya.

Comments