Skip to main content

Cerita dari Lawu

Pendakian Lawu, Maret 2019

Setelah sekian lama, akhirnya kembali ke pendakian dalam kelompok kecil. Kali ini, pendakian dilakukan ke Gunung Lawu via Candi Ceto bersama dengkul-dengkul racing. Mendengar ceritanya yang sudah kerap kali Lawu tektok dan ada Warung Mbo' Yem di dekat puncak membuat saya merasa aman dan cenderung menyederhanakan pendakian kali ini. Satu keputusan yang kemudian akan saya sesali.

Saya tidak banyak melakukan research tentang jalur yang akan kami lalui karena saya pikir teman perjalanan kali ini sudah khatam dengan jalur pendakian. Kaus kaki tebal saya masukkan kembali ke lemari dan saya ganti dengan kaus kaki yang lebih tipis. Bahkan kesalahan yang paling tolol adalah obat-obatan seperti obat flu dan sakit kepala tidak ikut terbawa.

Saya dijemput di Stasiun Solo Balapan pukul setengah delapan pagi untuk kemudian bervespa ria ke basecamp Ceto. Yuhuu, ini pertama kalinya saya naik Vespa sungguhan, Vespa biru nan antik dan klimis. Masih teringat jelas terakhir interaksi saya dengan vespa adalah ketika masih berusia lima tahun. Saya bermain-main dengan vespa Pak RT dalam kondisi mesin mati. Akhirnya joknya rusak karena saya duduk loncat-loncat di atasnya. Karena panik, saya pun diam-diam melipir pulang dan belum meminta maaf kepada Beliau hingga saat ini.

Perjalanan dari Kota Solo ke basecamp Ceto menghabiskan waktu 1,5 - 2 jam. Kami mampir sebentar di Pasar Karanganyar untuk membeli logistik dan sarapan. Mulai dari pasar hingga basecamp, pemandangannya cantik sekali. Cuaca yang belum terlalu panas, hamparan kebun teh, dan paralayang menjadi pemanis dari perjalanan ini. Tapi jangan salah, jalanan yang berliku dengan tanjakan curam membuat saya beberapa kali menahan napas berharap berat badan saya berkurang beberapa kilo sehingga sedikit meringankan.

Berdasarkan prakiraan cuaca, senang sekali karena dua hari pendakian ini diramalkan cerah. Kami memulai perjalanan dari basecamp pukul sepuluh pagi. Jalur pendakian cukup ramai. Terlihat wajah-wajah yang masih sangat muda. Memori saya melayang pada pengalaman pendakian 5-10 tahun yang lalu saat saya masih seusia mereka. Dulu, kegiatan pendakian belum sepopuler saat ini. Perlu persiapan panjang sebelum pendakian, mulai dari jogging seminggu minimal dua kali, pinjam alat sana-sini, research jalur dan sumber air, hingga membuat rencana dan timeline perjalanan. Alam selalu memberi kejutan dan sulit diprediksi, maka persiapkanlah diri sebaik mungkin. Demikian pesan yang selalu didengungkan.

Perjalanan hingga Pos 3 ditambah istirahat memakan waktu kira-kira 2.5 jam. Ketika itu saya masih segar, kaki saya masih menjejak dengan pasti. Teman perjalanan yang memimpin di depan sepertinya keringetan pun nggak. Selepas Pos 3, jalur semakin terjal. Untungnya jalur mulai tertutup sehingga cuaca tidak terlalu panas. Dari Pos 3 hingga Pos 5, saya mulai kepayahan. Masih bisa jalan, tapi seperti tidak menapak. Langkah saya sudah sangat gontai. Oh, kalau teman saya jangan ditanya, dia jalan santai seperti biasa, sabar menunggu sambil sesekali menghisap rokoknya. Ingin rasanya saya bertukar dengkul.

"Nyun, itu Pos!" Kata saya dengan napas tersengal. Padahal saya tidak melihat apapun kecuali jalur terjal.

"Iya, Posyandu," Jawabnya asal. Hahaha.

Selepas Pos 5, hamparan sabana hijau sudah menanti. Kami duduk sejenak sambil melepas lelah. Menyenangkan sekali. Ah, tapi tidak bisa berlama-lama karena hari sudah semakin sore dan cuaca semakin dingin. Kepada teman-teman, jika ingin istirahat di tempat terbuka dan lebih dari lima-sepuluh menit, sebaiknya menggunakan jaket ya. Agar suhu tubuh tetap terjaga. 

Gupakan Menjangan

Akhirnya jam 4 kurang kami pun tiba di Gupakan Menjangan dan bersiap mendirikan tenda. Ternyata anginnya luar biasa kencang, tidak lebih dari 10 menit kami mendirikan tenda, saya mulai menggigil kedinginan. Meskipun Flysheet belum siap terpasang, saya masuk lebih dulu ke dalam tenda untuk memakai jaket dan memasang matras. Begitu masuk tenda, alergi dingin saya kambuh. Saya lupa kapan saya mulai alergi dingin, yang pasti sebelum dua puluh lima saya tidak ada masalah.

Beberapa tahun lalu, jika kedinginan tubuh saya akan bentol-bentol besar. Anehnya, gejalanya mengalami perubahan. Badan saya tidak lagi bentol-bentol, tapi berganti dengan bersin-bersin hebat dan ingusan.

Semakin malam, anginnya makin kencang dan flu saya makin menjadi-jadi. Ditambah saya kesal pada diri sendiri karena lupa membawa obat dan mengapa menjadi begitu lemah. Suara angin sudah seperti suara air terjun. Tenda sudah tidak karuan bentuknya akibat dihajar angin dari berbagai arah. Teman-teman sudah berusaha membenarkan tenda, tapi tidak banyak berhasil karena memang anginnya luar biasa.

Dalam kondisi demikian, kembali tersadar bahwa banyak hal terjadi di luar kontrol manusia dan kita bukan apa-apa dibandingkan kekuatan alam yang luar biasa dahsyat. Hal ini sulit disadari ketika berada di tengah kota dengan segala kenyamanannya.

Di tengah merasakan diri yang begitu kecil dan lemah, saya teringat pada cerita di Alkitab ketika sekolah minggu dulu. Cerita tentang Yesus yang meredakan angin ribut. Saya berdoa dengan segenap hati memohon agar angin ini reda dan entah bagaimana, saya percaya saja bahwa angin ini akan reda. Tidak lama berselang, terdengar sekelompok pendaki datang dan mendirikan tenda di belakang kami. Ajaib, tenda kami yang sebelumnya dihajar angin habis-habisan, tiba-tiba jadi jauh lebih baik.

Tuhan seperti tersenyum dan mengerlingkan matanya. Diam-diam, saya malu sendiri. Entah kapan terakhir saya berdoa dengan iman 'kanak-kanak' yang demikian. 

Setelah itu kamipun terlelap meski tidak terlalu nyenyak.

***

Awalnya, kami berniat untuk bangun pukul setengah empat pagi untuk melihat matahari terbit dari puncak. Niat itu akhirnya dibatalkan dan kami mulai muncak pukul enam pagi.

Luar biasa, cuacanya sangat mendukung. Sabana yang supercantik dan puncak yang sangat cerah jadi bonus pendakian hari kedua.

Hargo Dumiling

Pukul dua belas siang, kami membereskan tenda dan bersiap turun tanpa lupa membawa sampah turut serta. Saat turun, sempat hujan sebentar sehingga jalurnya menjadi licin. Jika saat naik membutuhkan waktu kurang lebih enam jam, turun membutuhkan waktu sekitar tiga setengah jam. Aduh, tapi selepas Pos 3, saat turun kaki mulai tremor. Ditambah jalur yang licin, beberapa kali terpeleset.

Pukul setengah empat sore, kami tiba di basecamp dan memutuskan untuk menginap semalam disana sebelum esok hari kembali ke Jakarta. Kami bermalam di Basecamp Lawu Barokah. Basecamp ini termasuk paket lengkap. Bapak ibunya ramah, kamar mandinya bersih, ada wifi gratis, dan makanannya enak. Dari Basecamp ini, sorenya kami bisa melihat matahari tenggelam. Malamnya, kerlap-kerlip kota Solo terlihat jelas walaupun saya akhirnya segera masuk karena tidak tahan dingin, dan paginya disuguhi dengan pemandangan merbabu merapi. Basecamp ini juga menyediakan paket jemput dan antar dari Solo Jebres - Ceto PP.

Kontak Basecamp Lawu Barokah
Di hari ketiga, saya pulang dan kembali ke Jakarta dengan banyak pelajaran baru. Untuk tetap research jalur pendakian, jangan lupa membawa obat-obatan, dan kesadaran bahwa saya semakin menua dan tidak sekuat dulu. Hahaha. Satu lagi, untuk berdoa seperti kanak-kanak :)

Apapun gunungnya, persiapkan diri sebaik mungkin.

Pemandangan Dari Basecamp

Comments