Skip to main content

Biar Kayak Orang-Orang

Di lingkungan kami semasa sekolah, adalah hal yang wajar jika anak-anak pulang ke rumah dan meminta kepada orang tuanya apa yang dimiliki anak-anak lain atau ingin pergi ke tempat anak-anak lain pergi. Intinya mengikuti tren. Tidak hanya mainan dan jalan-jalan, saat memilih tempat les atau SMP/SMA, salah satu pertimbangan yang biasa diambil adalah seberapa banyak teman-teman yang juga masuk kesana. Sayangnya, itu tidak berlaku di keluarga kami.

Semasa sekolah, anak-anak seusia saya akan lari pagi ke suatu tempat yang harus naik angkutan umum, lapangan RRI namanya. Ini artinya, butuh ongkos untuk sampai RRI dan tidak mungkin tidak jajan disana. 

"Ibu, besok aku mau lari pagi ke RRI ya?" Kataku meminta izin Ibu.
"Mau ngapain kesana? Ada lari dari sekolah?" Ibuku lalu balik bertanya.
"Nggak, ya mau lari pagi aja sama temen-temen."

Kemudian Ibu akan menjawab dengan memberi ceramah panjang untuk tidak perlu ikut-ikutan teman, harus punya pendirian sendiri. Harus bisa mengukur kemampuan sendiri dan orang tua apakah bisa ikut-ikutan seperti orang lain.

Nasihat yang sama akan diberikan jika kami meminta mainan, memilih tempat les, memilih sekolah, dan lain sebagainya. Perlahan, kami sadar bahwa alasan utama yang sebenarnya adalah keluarga kami secara ekonomi tidak mencukupi jika harus mengikuti tren. Segala yang berurusan dengan pendidikan, akan diusahakan segala rupa, tapi di luar itu, tahan keinginanmu. Jadilah seumur hidup saya tidak pernah lari pagi di RRI, tidak memiliki mainan yang umumnya dimiliki hampir semua anak-anak di jamannya, memilih SMA yang tidak biasa dipilih teman-teman satu SMP, dan masih banyak lagi.

Namun, ternyata nasihat ini terbawa menjadi kebiasaan cara berpikir kami hingga dewasa. Harus punya pendirian sendiri. Tidak apa tidak sama dengan kebanyakan orang, yang terpenting kamu tahu mengapa pilihan tersebut diambil dan bertanggung jawab dengan pilihan tersebut. 

Minggu lalu, Ibu genap berusia lima puluh tujuh tahun. Kami berlima menyalaminya satu persatu. Mungkin karena di lingkungan rumah dan pertemanannya, hanya Ibu yang belum punya menantu ataupun cucu, dia akhirnya berujar, "Ibu doain biar pada cepet dapet jodoh, pada nikah."

Aku menjawab ringan, "Memangnya kenapa harus menikah?"

Beliau menjawab santai, "Biar kayak orang-orang."

Kami sadar sekali, pasti alasannya tidak sesederhana itu. Tapi, secara spontan kami serempak bergurau mengingatkan Ibu bagaimana beliau menasihati ketika kami masih anak-anak dan memberi jawaban ingin seperti teman-teman. Hahaha. Kemudian kami tertawa bersama-sama. 

She raises us just right. Happy birthday!

Comments