Skip to main content

Main Kartu

Sewaktu saya masih sekolah, rumah kami sering disambangi oleh sahabat-sahabat Bapak, terutama saat akhir pekan. Mereka senang sekali bermain kartu di ruang tamu kami dengan durasi yang tidak sebentar, bisa dari siang sampai dini hari. Dulu, saya terheran-heran bagaimana mereka bisa main kartu lama sekali. Memangnya tidak bosan ya.

Saya memanggil mereka dengan panggilan dalam Bahasa Karo, yaitu 'bulang' yang artinya 'kakek'. Ada Bulang Bukit yang sangat dermawan. Saya paling gembira kalau sudah disuruh membeli rokok olehnya, karena itu artinya akan ada tambahan uang jajan. Ada Bulang Tarigan yang kalau berbincang dengan Ibu saya suka pakai bahasa sunda. Yang paling saya ingat darinya adalah sakit pinggangnya kalau kelamaan duduk main kartu. Yang terakhir adalah Bulang Gang Suci, dipanggil demikian karena rumahnya di Gang Suci. Perawakannya yang tinggi besar dan rambutnya yang keriting agak gondrong langsung tidak lagi menakutkan kalau sudah mendengar ia bersenandung atau tersenyum. Kila ini suaranya merdu dan senyumnya manis sekali. Kata Bapak, beliau sangat pintar. Bapak adalah yang paling muda di antara mereka semua.

Tidak banyak yang saya ketahui tentang pertemanan mereka selain membelikan kartu baru dan rokok, dan memanggil mereka untuk berhenti sejenak jika makanan sudah siap dihidangkan.

Kalau tidak salah, mereka dulu bekerja di pabrik yang sama. Meskipun saat krisis moneter akhirnya pabrik tersebut tutup, pertemanan mereka tetap berlanjut. Masih ingat jelas di ingatan, waktu itu adik saya yang paling kecil lahir prematur saat usia kandungan ibu belum genap tujuh bulan. Para bapak-bapak itulah yang membawa adik saya yang baru berusia beberapa jam keliling Jakarta mencari rumah sakit.

Contoh brotherhood yang sangat nyata rasanya ada dalam lingkaran mereka. Bagaimana tidak, mereka bersahabat sejak muda sampai satu-persatu menghadap Sang Pencipta. Bulang Bukit di tahun 2013, Bulang Gang Suci di tahun 2016, dan Bulang Tarigan di tahun 2018. Saya tidak pernah membayangkan jika saya sebagai Bapak, yang kehilangan sahabatnya satu-persatu, membantu mengurus pemakaman, dan mengantar mereka satu-persatu ke peristirahatan terakhir. Tidak ada lagi yang main kartu di ruang tamu kami semenjak itu.

Saat Bulang Tarigan meninggal tahun lalu, saya bertanya pada Bapak, "Pak sedih nggak temen main kartunya sekarang udah pada nggak ada?"

Beliau dengan cepat menjawab, "Ya sedihlah. Tapi mungkin mereka lagi reuni, lagi main kartu di  sekarang." Kami semua tertawa sejenak. Para bulang kebetulan dimakamkan di Taman Pemakaman umum yang sama.

Masa kecil saya memang sangat dekat dengan kartu, tapi saya tidak pernah bermain kecuali Solitaire di komputer. Sekitar dua bulan lalu, untuk pertama kalinya saya diajari main Truf. Dan sama seperti Bapak dan kawan-kawan, kami bisa bermain berjam-jam. Bahkan saat terbangun, pinggang saya sakit. Langsung saya teringat Bulang Tarigan.

Akhirnya pertanyaan saya semasa kecil terjawab mengapa orang bisa keasyikan main kartu. Ada harap-harap cemas dan ngeri-ngeri sedap saat membuka setiap kartu yang menjadi bagianmu. Berharap keberuntungan ada bersamamu. Semoga pasanganmu memiliki kartu yang bisa saling melengkapi, atau setidaknya membaca sinyal yang kamu berikan dan kemudian memenangkan permainan babak ini. Kalau menang, ada kepuasan tersendiri. Kalau kalah, ya juga tak masalah, tidak ada yang dipertaruhkan kecuali "yah kalah" dan mendengar bluffing dari lawan yang membuat permainan selanjutnya menjadi semakin ditunggu dengan harapan yang baru.

Ooh, betapa harapan adalah sumber kekuatan dan keseruan, bahkan dalam hal yang sifatnya hanya permainan.

Saat bermain, fokusmu hanya memenangkan permainan ini. Mungkin ini juga mengapa Bapak dan para bulang sangat senang bermain kartu. Sejenak lupa kalau mereka adalah bapak dengan segala tuntutan dan tanggung jawab, ditambah lagi mungkin masalah di rumah dan tempat kerja. Refreshing sejenak.

Hmm, tiba-tiba saya muncul ide. Mungkin saya bisa mulai mengajak Bapak main kartu di ruang tamu bersama kakak-kakak dan adik-adik, menggantikan para bulang yang sudah jelas tidak akan pernah tergantikan.

Comments