Skip to main content

Keluarga Cemara




Saya sering merasa menjadi adik durjana. Bagaimana tidak, sedari kecil kalau Ibu sudah menunjukkan gelagat akan menyuruh saya mengerjakan pekerjaan rumah, saya akan dengan secepat kilat mengambil buku lalu pura-pura belajar. Kakak yang sudah hafal pola kurang ajar saya ini akan langsung teriak, "Kamu nggak usah pura-pura belajar". Saya lalu mendadak tuli dan meneruskan "membaca" sementara Ibu akan menyuruh kakak saya melakukan pekerjaan rumah. Sampai sekarang,  kalau pulang ke rumah pun saya masih menjadi yang paling malas mengerjakan pekerjaan rumah.

Air tuba dibalas dengan air susu. Betapa bandel dan keras kepalanya saya ketika kecil, kedua kakak ini tetap baik bukan kepalang. Yah, walaupun saya sempat dikunci mereka di kamar mandi atau didiamkan beberapa hari. Tidak akan lupa betapa senangnya saya saat Kakak Pertama mengajak ke Ramayana untuk dibelikan baju natal. Saya memilih baju pink dan celana putih ketika itu. Setiap dia mengabarkan akan pulang dari Bali yang mungkin hanya setahun sekali, saya sudah membayangkan lezatnya dunkin dari jauh-jauh hari. Kepulangannya selalu kami nantikan. Karena ada efek samping dari kepulangannya. Ibu akan memasak lebih lezat dari biasanya. Kakak kedua? Tidak ada satu orang pun di rumah yang tidak segan padanya. Dengan segala kemurahan hatinya, ia rela mencicil laptop untuk saya kuliah.

Semakin bertambah usia, semakin saya sadar bahwa mereka amatlah baik sementara saya tetap dengan segala kekurang-ajaran saya. Bagaimana tidak? Kakak kedua bangun jauh lebih pagi dan memasak untuk kami berdua, sementara saya sering kali baru bangun saat dia sudah berangkat. Sekali waktu saya ditugaskan memasak nasi, kamu tahu apa yang terjadi? Ternyata takarannya terlalu sedikit dan hanya cukup untuk satu orang. Tebak itu untuk siapa? Tentu saja untuk saya saja akhirnya.

Tidak hanya sebagai adik, sebagai kakakpun saya durhaka. Alih-alih menghabiskan waktu bersama, saya lebih sering jalan-jalan sendiri dan menghabiskan waktu di luar. Padahal mungkin mereka membutuhkan sedikit nasihat dari saya yang tentu saja tak selalu berguna. Sekali waktu, adik pertama curhat sesuatu dan sudah berpesan dengan sangat serius untuk tidak bilang siapa-siapa. Tapi apalah saya, hanya dalam semalam curhatan itu tersebar ke seluruh keluarga. Tidak bisa lepas dari ingatan saat kedua adik ini memelihara kelinci. Tibalah hari dimana kelinci itu mati digigit kucing. Adik kedua menangis terisak dan melapor ke adik pertama, lalu mereka menangis bersama. Saya yang menyaksikan ketika itu, ada bagian saya yang ikut sedih karena menyaksikan nasib kelinci yang naas, tapi di sisi lain ada sedikit lucu melihat mereka yang sering kali bertengkar, mendadak menangis berdua.

Sebagai anak? Ooh, saya merasa ini peran paling payah yang saya mainkan. Kalau dipikir-pikir, saya tidak pernah berhenti merepotkan, bahkan sampai setua ini. Saya entah sudah kemana, tapi Ibu Bapak selalu berada di garda terdepan setiap saya butuh bantuan. Sering kali merasa sombong dan bisa mandiri, padahal tidak sama sekali. Saya bisa membayangkan betapa 'berantakannya' sebenarnya saya tanpa mereka. Tidak jarang saya merasa pandangan saya yang paling benar dan memilih yang tidak umum. Belakangan saya menyadari, sama sekali bukan sepenuhnya karena saya berani. Tapi lebih karena sungguh memahami bahwa mereka akan selalu menemani, apapun yang terjadi. 

"Ibu selalu ingat tentang tulisanmu waktu di SMP. Ketika itu kamu menulis, andaikan saya dari lahir di Keluarga Cendana, tapi apa daya ternyata saya lahir di Keluarga Cemara. Ibu sedih sekali ketika itu." Ah, bahkan saya sama sekali tidak ingat pernah menulis demikian.

Saya mungkin akan tetap menjadi anak yang payah, adik yang durjana, dan kakak yang durhaka. Tapi satu hal, terima kasih sudah mengasihi dan tidak pernah meninggalkan. Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya, tetapi keluarga cemara saja maka saya akan sembuh. 

Comments