Skip to main content

Sabtu Malam



Biar saya ceritakan kisah Sabtu malam saya kali ini kepadamu. Tidak perlu membaca sampai akhir cerita, karena saya tidak menjamin cerita ini menarik untukmu, tidak juga ada jaminan bahwa cerita ini berguna untukmu. Tidak menarik, tidak berguna, ya, kamu bisa berhenti sampai di sini, menutup tab ‘di-beranda.blogspot.com’ dan beralih ke situs lain yang mungkin berguna atau menarik.

Alarm berdering bersahutan dengan petir pukul 16.30, membangunkan saya dari tidur siang yang hanya bisa dilakukan maksimal 2 kali dalam seminggu. Saya bangun dan bergegas, karena akan misa sore bersama seorang teman. Siap berangkat, baru saya tahu bahwa dia tidak bisa jadi berangkat. Saya memutuskan berangkat sendiri, dengan senang hati.

Double standard. Baru saya sadar ketika di perjalanan. Ada orang yang tidak bisa kita tolerir jika dia membatalkan janjinya, apapun alasannya. Sementara yang lain, tidak masalah dia membatalkan janjinya, apapun alasannya. Kenapa?

Paroki Santa Theresia adalah salah satu favorit saya, entah kenapa. Mungkin karena suasananya  yang menyenangkan, atau mungkin karena ada beberapa cerita di Paroki ini. Ketika kuliah dulu, kami sering mengamen di Paroki untuk danus KMK, salah satunya di Theresia ini. Saya masih ingat betul, saya dan seorang teman pernah dipanggil menghadap romo paroki dan “disemprot” lumayan keras karena mengamen di halaman gereja tanpa izin. Sekarang romo itu yang menjadi favorit saya di sini.

Selesai misa, saya pergi ke Sabang untuk makan malam. Sabang, bagi saya, semacam “malioboro”-nya Jogja. Banyak makanan enak di warung –warung tenda, pengamen yang berlalu – lalang, dan café-café cozy di sepanjang jalan. Pernah juga, saya dan teman-teman KMK mengamen di sepanjang jalan ini, dari satu warung tenda ke warung tenda yang lain, beberapa kali putaran. Kalau dibayangkan sekarang, saya masih takjub, entah keberanian macam apa yang merasuki kami.

Warung tenda yang saya kunjungi penuh sekali, hanya ada satu kursi kosong persis di depan seorang turis setengah baya. Akhirnya saya memutuskan untuk duduk di situ. Tak lama kemudian, dia memanggil pelayan untuk membayar. Pelayan menggunakan kalkulator untuk menunjukkan berapa yang harus turis itu bayar,kemudian turis mengeluarkan dompetnya, dan kebingungan memilih lembar yang harus dia berikan. 

Akhirnya, si pelayan yang mengambil uangnya langsung dari dompetnya. Saya tidak bisa tidak tersenyum melihat itu. Saya jadi ingat, hal ini pernah terjadi pada saya, ketika perjalanan ke Nepal. Susah sekali membedakan mata uang. Harus dilihat terlebih dahulu nilai nominalnya, karena belum hafal.

Turis itu melihat saya tersenyum, dia ikut tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

“Where are you from?” saya bertanya.

“Germany,” jawabnya ramah. Kita harus ramah di negeri orang, ini wajib hukumnya.

“Enjoy your meals. Bye,” tambahnya lagi sambil melambaikan tangan. Dia pun berlalu pergi, dengan backpack dan baju lusuhnya. Kapan lagi saya kemana? Saya bertanya pada diri saya sendiri.

Berjalanlah sendiri, maka kamu akan lebih peka dengan apa yang ada di sekitarmu. Begitu katanya. Semenjak masuk ke dunia kerja, kecenderungan saya semakin soliter. Kecuali naik gunung dan camping, tidak masalah bagi saya untuk sendiri di tempat makan umum, pergi ke bioskop, pergi ke pertunjukkan musik, misa, atau jogging di CFD. Jangan-jangan, kesendirian saya sudah sangat akut dan pada tahap saya sudah menikmatinya. Haha.

Tak lama kemudian, datang dua orang duduk di sebelah saya, pria dan wanita yang mungkin umurnya hanya berbeda dua atau tiga tahun di atas saya. Mereka berbicara tentang Surya Kencana dan Mandalawangi. Saya tetap makan seolah tak mendengarkan mereka, padahal dalam hati, saya ikut mendeskripsikan cantiknya Surya Kencana dan syahdunya Mandalawangi. Ah..

Selesai makan, saya langsung berjalan kaki menuju Gramedia di Grand Indonesia. Sudah lama saya tidak berjalan kaki di tengah kota sendirian. Saat berjalan di trotoar, ada kring kring kring suara sepeda, sepedaku roda dua. Saya ke pinggir, rupanya pedagang kopi keliling. Dia memberikan senyum ramahnya sebagai ganti permisi, saya membalas senyumnya, semoga laku kopinya, Mas, kata saya dalam hati tentu saja.

Tenggelam di toko buku selalu menyenangkan, mengalami bookgasm kalau kata seorang teman.
Ternyata menyukai bukupun mengalami perubahan. Favorit saya adalah majalah Bobo ketika SD. Buku-buku terbitan Balai Pustaka  dan Mira W ketika SMP. Teenlit, kisah-kisah anak autis, “Tips & Trik”, novel-novel inspiratif tentang cita-cita seperti milik Andrea Hirata dan 5 CM ketika SMA. Ketika kuliah saya hampir tidak membaca novel. Setelah lulus, barulah saya mengenal dan menggemari karya-karya Djenar, Ayu Utami, Leila S. Chudori, dan Dee. Semoga saya segera bisa menyelami Remy Silado, Pramoedya, Arswendo, atau Laksmi Pamuntjak.

Ketika anak-anak kita perlu diberikan yang hitam putih, yang memberikan kepastian dan harapan. Ketika remaja, kebanyakan perlu diberikan kepercayaan bahwa siapapun bisa meraih mimpi mereka, asal mau berusaha. Dan ketika beranjak dewasa, kita belajar bahwa dunia tidak bisa dilihat sebagai hitam dan putih, ada abu-abu di sana. Ada bagian yang gelap, ada bagian yang terang, ada bagian yang remang, ada yang tidak pasti, dan tidak semua bisa tercapai.

Setelah memilih beberapa buku, saya pulang.

“Ojek, Neng?” Tanya seorang bapak pada saya sambil tersenyum saat saya bergegas kembali ke kos.

“Nggak, Pak,” Jawab saya sambil membalas senyumnya. Dia mengangguk takzim.

Saya selalu berusaha menjawab tawaran tukang ojek, supir angkot,  atau kenek bus. Kenapa? Dulu, waktu Bapak saya masih menjadi supir angkutan umum, saya pernah ikut di mobilnya. Kalau Bapak saya menawarkan ke calon penumpang, dan calon penumpang itu tidak menjawab sama sekali, saya jadi kesal. Ah, seberapa sulitnya untuk menjawab tidak.

Mungkin itu juga yang membuat saya percaya pada angkutan umum, selarut apapun saya menggunakan jasa mereka. Karena saya berasumsi, semua supir angkutan umum harusnya berniat baik, seperti ayah saya.

Akhirnya, di sinilah saya. Menuliskan cerita ini, menutup Sabtu malam yang perlahan menjadi Minggu pagi.

Ada hari dimana kita bisa menghitung berapa banyak kata yang kita ucapkan. Salah satunya adalah hari ini. Ada hari dimana yang paling riuh adalah obrolan di dalam kepalamu sendiri. Salah satunya adalah hari ini. Ada hari..

Comments

  1. Enak baca kata-katanya. Gue pikir harusnya lo nulis buku, ran :D
    Baca postingan ini gw serasa diiiringi lagunya kunto aji :p
    Gw juga gitu ran, dulu waktu kerja di luar kota gw kemana mana sendiri, nonton sendiri, gw jg suka banget ke toko buku sendiri sampe seharian. Waktu itu gw pikir gw keren banget dan merasa merdeka bisa ngelakuin apa aja sendirian, tp sekarang gw rasa pikiran itu cuma cara gw untuk menghalau kesepian :p ngemeng ape seh gw yeee
    Yuk ran, bikin bukuuuuu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yaampun, Qbo.. Blogger papan atas bisa sampe ke blog gw! Haha.
      Iya, berasa merdeka banget, bebas mau kemana aja.

      Pengen banget, Bo. Tapi gak tau mulai dari mana. Ayo lah, lo yang udah pengalaman, bimbing gw.

      Delete

Post a Comment