Skip to main content

Di Beranda

senja di beranda


Ada tiga kursi di beranda, entah apa yang membuat Alam memilih kursi paling tua diantara ketiganya, yang catnya sudah pudar dan berkarat di sana-sini. Dia sudah memilih singgasananya. Dia akan selalu memilih kursi itu setiap kali dia berkunjung ke berandaku.

Di berandaku bersamanya, waktu berjalan bagai berlari. Senja sekejap menjadi tengah malam. Menghabiskan waktu berbincang di beranda saat senja tiba seusai seharian bekerja, untuk itulah berandaku diciptakan. Rupanya, Alam menjadi salah seorang yang membuat konsep berandaku menjadi nyata.

Aku mulai hafal urutan ritual kami. Alam akan mematikan kendaraannya lalu berjalan menuju singgasananya yang berkarat itu. Sebelum duduk, Alam akan membuka resleting jaketnya setengah, tanpa melepasnya. Aku akan masuk mengambil air, dan saat aku kembali, dia sudah menghisap rokok pertamanya.

Berandaku dihidupkan oleh asapnya, suaraku, suaranya, tawaku, tawanya, dan hening kami. Aku masih menunggu saat hening kami tidak lagi terasa canggung tetapi terasa nyaman. Aku masih menunggu saat aku bisa membalas tatapannya, lalu berkaca sepuasnya di sana.

“Sebatang lagi, Raya. Baru saya akan pulang,” Alam menyalakan batang terakhirnya. Satu lagi ritual yang alam lakukan sebelum meninggalkan berandaku. Aku selalu berharap batang rokok terakhirnya memanjang menjadi sepanjang galah bambu.

“Lama-lama, kita akan terbiasa dengan ritual ini, Raya. Saya akan terbiasa denganmu, kamu akan terbiasa menemani saya disini, di berandamu. Ketika suatu hari saya tidak kembali kesini, bukan saya yang kamu rindukan, tapi kebiasaan kita yang kamu rindukan,” Alam menatapku dengan tatapan khasnya. Tatapan yang membuatmu merasa bahwa kamulah dunia untuknya. Aku meliriknya sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke bunga warna kuning yang tumbuh di belakang tempat duduknya. Aku masih belum bisa membalas tatapannya.

“Lam, saya tidak ingin sekedar terbiasa. Saya ingin, perasaan excited untuk terus mengulang ritual ini tidak hilang meskipun kita telah menghabiskan ribuan senja di sini,” kataku masih menerawang ke bunga-bunga kuning di belakangmu.

Semoga waktu yang dihabiskan di beranda bukan karena sekedar rutinitas, bukan karena sekedar terbiasa, bukan karena “seharusnya memang demikian”. Semoga lebih karena memang itu yang selalu kita tunggu-tunggu, memang itu yang selalu kita butuhkan, tidak peduli seberapa banyak waktu yang telah kita habiskan.

Semoga rasanya selalu sama, seperti waktu pertama.

Comments