Skip to main content

Lorong Waktu




Raya mengambil jins belel dan flannel hijaunya, lalu mematung di depan cermin. Cermin di hadapannya mendadak menjadi lorong waktu, membawanya kembali ke masa putih merah, masa dimana puber saja bahkan belum dimulai. Petualangan Sherina, Sheila on 7, pramuka, permainan benteng, bermain sepeda, sekolah bocor, mandi hujan, dan berbagai kenangan berkelebat. Sebentar lagi, Raya akan menemui teman kecilnya, untuk pertama kalinya hang out bersama dalam usia yang tidak lagi anak-anak.

 “Halo Lam,” sapa Raya agak canggung saat menemui Alam yang ada di kursi kemudi. Sabtu malam sembilan tahun yang lalu, mereka berdua memutuskan untuk tidak lagi berpacaran. Saat itulah terakhir mereka bertemu. Malam ini, mendadak Raya seperti kembali berumur lima belas tahun, kembali menjadi remaja yang canggung dan gugup.

“Sehat, Ray?” tanya Alam dengan suara khasnya. Raya hanya berani melihat sekilas, potongan rambut Alam tidak berubah dari terakhir mereka bertemu.

“Sehat,” jawab Raya singkat. Kamu sehat, Lam? Ah, bahkan Raya terlalu gugup sampai pertanyaan sederhana seperti ini tidak keluar dari tenggorokannya.

“Maaf ya, panas, nggak ada AC nya,” balas Alam lagi.

Tenang Lam, aku terbiasa jalan kaki, naik bus, atau angkot. Tidak pernah ada AC disana. Bisik Raya dalam hati.
 
“Iya, nggak apa-apa,” cuma itu yang akhirnya terdengar di udara. Setelahnya, muncul hening yang agak panjang dan canggung.

Mereka tidak banyak berbincang malam itu. Semuanya terasa ajaib, seperti kembali dari masa lalu, seperti membuka kotak usang yang selalu ada di sudut sana. Melihat kembali cara Alam berjalan yang begitu khas, tawa yang selalu diikuti matanya yang tinggal segaris, dan tatapan matanya yang tajam dan dalam. Alam ternyata tidak banyak berubah dan ternyata Raya masih begitu hafal pada setiap detail yang Alam miliki.

Comments

Post a Comment