Skip to main content

Cerita dari Binaiya - Menuju Desa Piliana



Setelah vakum selama tiga tahun, akhirnya saya kembali melanjutkan apa yang pernah ada di dalam bucket list, seven summit Indonesia. Binaiya adalah gunung keempat setelah terakhir mendaki Kerinci berdua Siska di 2015. Ada sedikit perasaan gugup dan khawatir, terlebih karena ini pendakian open trip saya yang pertama, tapi perasaan excited akan berada seminggu di gunung jauh lebih dominan. 

Saya ingat betul, tahun 2014 saya pergi ke Desa Sawai di Pulau Seram dan terkaget karena desa ini masih bagian dari Taman Nasional Manusela, tempat dimana Binaiya berada. Janji saya kepada diri sendiri untuk kembali ke Taman Nasional Manusela dan mencecap Binaiya ketika itu tergenapi kini.

Saya menjadi peserta terakhir yang sampai di Bandara Pattimura dan hampir ditinggal rombongan karena hanya pesawat saya yang delay. "Rani," saya memperkenalkan diri sambil menyalami mereka satu persatu. Sembilan peserta (tiga diantaranya perempuan) ditambah empat pemandu, merekalah yang akan menjadi teman perjalanan sembilan hari ke depan. Sepanjang perjalanan, perbincangan tidak jauh seputar pengalaman pendakian. Saya menyimak dengan baik dan belum berani nimbrung. Dari perbincangan itu, saya tahu saya memiliki jam terbang yang paling sedikit dibanding peserta lainnya. 


Teman perjalanan kali ini

Pesertanya cukup beragam, dari umur dua puluhan hingga umur lima puluhan. Yang paling kawakan kami panggil Engkong, beliau sudah berusia lima puluhan tapi semangatnya masih dua puluhan. Yang paling muda adalah Fahmi, dua puluh lima tahun pun belum sampai. Sedikit spoiler, dalam perjalanan, Fahmi dan Engkong yang seperti cucu dan kakek ini akan saling setia menemani nantinya.

Perjalanan untuk mencapai titik awal pendakian sendiri sudah cukup panjang. Dari Bandara Pattimura Ambon, naik mobil sekitar satu jam untuk sampai Pelabuhan Tulehu. Dari Tulehu, naik speedboat sekitar dua jam untuk sampai Pelabuhan Amahai di Pulau Seram. Dari Pelabuhan Amahai butuh waktu sekitar tiga sampai empat jam berkendara untuk sampai di Desa Piliana, tempat awal pendakian.

Kapal kami berhenti sebentar di Pulau Saparua. Ketika berhenti, cukup banyak pedagang yang menjajakan makanan, diantaranya adalah Salak dan Kenari. Rien, salah satu peserta perempuan, ditawarkan kenari. Tanpa ragu, dia memakan biji kenari dengan kulit-kulitnya. Kami semua kaget lalu menertawai. Rupanya ini pengalaman pertamanya makan kenari. Sejak saat itu, Rien punya panggilan baru, Kenari.

Kami sempat singgah di pasar untuk berbelanja logistik pendakian dan mengurus simaksi. Simaksinya cukup ketat, jadi harap diurus baik-baik ya. Ada satu rombongan yang pendakiannya harus ditunda satu hari karena ada persyaratan yang belum lengkap.


Pelabuhan Tulehu.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, sekitar pukul tujuh malam akhirnya kami tiba di Desa Piliana. Kedatangan kami disambut gerimis. Begitu turun dari mobil, dingin langsung terasa. Setelah menurunkan carrier dan makan malam, upacara adat untuk pendakian besok langsung dimulai. Upacara yang dipimpin Bapak Adat ini wajib dilakukan sebelum mendaki Binaiya. Kami semua duduk melingkar, lalu Bapak Adat berdoa bagi kami agar diberikan keselamatan selama pendakian dan diberikan nasihat agar berhati-hati, menjaga sikap, dan diingatkan untuk tidak mengambil apapun dari Binaiya. Piring berisi sirih diputarkan untuk dipegang tiap peserta. Di akhir upacara, Bapak Adat memegang kaki kami satu-persatu sambil didoakan.

Malam itu diakhiri dengan packing sebagai persiapan terakhir untuk memulai pendakian esok pagi. Kemudian kami tidur di pondokan dari kayu yang memang disediakan bagi para pendaki. Tidur berjajar rapi beralaskan matras dan bergelung di sleeping bag masing-masing. Suara arus sungai, gemerisik angin, dan dengkuran halus beberapa teman saling bersahutan. Saya tidur pulas sekali malam itu.



Pondok tempat kami bermalam

Comments