Skip to main content

Ran, Run?

"Ran, Run?" Pertanyaan khas dari Will, orang yang akhirnya memicu saya untuk kembali berlari setelah sekian lama dorman. Saya memulai lari kembali di Februari 2018. Masih sangat jelas dalam ingatan, beberapa bulan terakhir ketika itu jam tidur saya sangat kacau. Saya baru bisa tidur jam tiga pagi, bangun jam sembilan, jam setengah sepuluh sudah ada di kantor. Rutinitas yang sangat buruk untuk kesehatan, baik fisik maupun mental.

Senin, 19 Februari, hari perdana lari. Seperti biasa, saya baru bisa tidur jam tiga. Jam lima subuh, alarm sudah berbunyi. Astaga, itu beratnya bukan main. Perasaan saya baru tidur lima menit. Satu-satunya alasan untuk akhirnya tetap bangun dan bergegas adalah saya tidak ingin kepayahan lari di Sabtu nanti, hari pertama saya akan bertemu Will. Gengsi. Alasan yang sungguh mulia bukan. Hari itu saya lari di sekitaran Setiabudi, tidak sampai lima kilometer dengan pace yang lambat.

Hari kedua, saya sudah bisa tidur satu jam lebih cepat, jam dua pagi. Googling di malam sebelumnya mencari tempat khusus lari di sekitaran Setiabudi, rupanya ada yang namanya GOR Soemantri di dekat Plaza Festival. Kemana saja saya, lima tahun kost di Setiabudi baru tahu ada fasilitas itu dekat kost. Lari disini jauh lebih baik dibandingkan lari di sekitaran kost. Jaraknya langsung bertambah hampir dua kilo dengan pace yang lebih baik. Tiga hari berturut-turut, saya lari di GOR Sumantri. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk persiapan lari di Ragunan hari Sabtu. 

Akhirnya Sabtu tiba. Hari itu saya baru tahu kalau ke Ragunan dari Kuningan cukup satu kali naik Transjakarta dan jalurnya pun sudah tidak bercampur dengan kendaraan lain, jadi tidak sampai setengah jam sudah bisa sampai. Hampir sampai di Halte Ragunan, masuk pesan dari Will bahwa ia sudah sampai dan memakai baju merah. Random, tiba-tiba muncul cuplikan lagu dari film Warkop DKI, "yang pakai baju merah jangan sampai lepas." Saya bilang saya pakai baju hijau. Merah dan hijau, kami seperti ornamen natal kalau jalan bersebelahan. Lega sekali lari perdana saya tidak memalukan, setidaknya kami bisa lari dengan pace yang sama hari itu. 

Sejak hari itu, kami mulai rutin lari bersama, mengenal satu sama lain dengan cara yang sangat sehat, sungguh sehat secara harfiah. Hahaha. Lari di GOR Sumantri ketika hari kerja subuh-subuh, di Ragunan ketika akhir pekan, sesekali di UI kalau siangnya kami ingin makan babi panggang, atau di GBK kalau setelahnya ingin main kartu sampai tengah malam. Kalau Mitch Albom punya sesi Tuesday with Morrie, saya punya Tuesday with Will. Rutinitas ini berjalan dengan baik selama satu tahun. Rekor terbaiknya adalah saya bisa lari hampir 100 kilometer dalam satu bulan. Di ulang tahun ke dua puluh tujuh, saya menghadiahi diri sendiri dengan half marathon.

Bagian terbaik dari rutin lari ketika itu adalah saya merasa lebih sehat, baik secara fisik maupun mental. Jam sepuluh malam saya sudah sangat mengantuk, jam lima pagi saya bisa bangun dengan segar. Hari terasa berjalan dengan jauh lebih baik. Ooh mungkin ini sebenarnya adalah gabungan efek lari dan pendekatan sekaligus. 

Setelah tidak lagi kost, satu tahun belakangan, rutinitas lari saya mulai kacau, padahal ada embung yang nyaman untuk lari di dekat rumah. Ketika akhir pekan lari di Ragunan, cuma sampai dua kilometer, saya sudah bilang, "lari duluan aja, nanti saya balap." Will sudah paham kalau ini artinya adalah saya mau jalan kaki saja satu keliling. Hahaha. 

Terlepas dari semuanya, lari selalu berhasil jadi mood booster. Terlebih selama pandemi di tiga bulan ke belakang yang tidak bisa kemana-mana. Untunglah embung tidak ramai dan lumayan terpencil jadi lari tanpa masker tidak masalah. 

Terima kasih Will, sudah mempertemukan saya kembali kepada lari. Semoga Yang Maha Sehat selalu memberikan kebugaran sehingga kita bisa terus lari dengan sukacita.

"Ran, Run?"

Comments