Skip to main content

Gili dan Pandemi

Awal 2017 saya pernah berkunjung ke Gili Meno dan Gili Trawangan. Gili Trawangan memiliki matahari terbit dan tenggelam yang sangat cantik, tapi sangat hingar-bingar dengan pesta sampai pagi. Sementara Gili Meno sebaliknya, sangat sepi dan terkesan lebih eksklusif. 

Agustus 2020 ini, saya memutuskan untuk kembali ke Gili bersama kakak pertama, tapi kali ini Gili Air dan Gili Trawangan. Dua malam di Gili Air, satu malam di Gili Trawangan, dan satu malam di Pantai Senggigi. Perjalanan di tengah pandemi terasa sangat berbeda, yang pertama tentu saja kekhawatiran terpapar corona, berikutnya adalah destinasinya jadi luar biasa berbeda. 

Begitu sampai di Bangsal, kami diberitahukan kalau selama pandemi ini tidak ada lagi jadwal kapal yang pasti. Menunggu kapal penuh (kapasitas 50%, 22 orang), baru jalan. Saya teringat angkutan umum 69 di dekat rumah, yang menunggu penuh baru jalan. Saat melihat ada penumpang lain yang datang, senangnya luar biasa. Penumpang terakhir seperti sang Pahlawan yang menyelamatkan kami semua dari penantian. Setelah menunggu hampir dua jam, akhirnya kuota terpenuhi. 

Perjalanan dari Bangsal ke Gili Air hanya sekitar sepuluh menit. Kami tiba sekitar pukul tiga sore di penginapan yang hanya satu menit dari pelabuhan. Setelah mandi dan beristirahat, kami bersepeda ke arah barat untuk melihat matahari tenggelam sekalian mencari makan malam. Dari yang saya baca, Gili Air adalah perpaduan Gili Trawangan dan Gili Meno. Tidak terlalu sepi, tapi juga tidak terlalu hingar bingar. Saat mulai berkeliling, barulah saya terkejut. Hanya sedikit sekali restoran yang buka, hotel-hotel besar di tepi pantai pun banyak yang tidak beroperasi, ditambah lagi banyaknya kapal yang tidak melaut. Ini lebih sepi dari Gili Meno tiga tahun yang lalu, rasanya seperti kota mati.

"Ayam saja sekarang susah makan disini, Mba. Dulu banyak sisa makanan. Sekarang tamu sedikit sekali."

Gili Trawangan lebih ramai dari Gili Air, tapi tentu saja jauh lebih sepi dari tiga tahun yang lalu. Baru pulih sebentar dari gempa, kembali terpuruk karena pandemi. Terlebih lagi, pengunjungnya mayoritas adalah wisatawan asing dan saat ini penerbangan international belum dibuka. 

"Tiga bulan kemarin saat PSBB mesih ketat, kami seperti di Nusa Kambangan, Mba. Tidak bisa kemana-mana. Hanya bisa di pulau ini. Tadinya karyawan ada dua ratus, sekarang hanya ada lima belas. Hotel sebesar ini hanya dijaga oleh lima belas orang. Belum lagi ada ancaman pencurian barang-barang elektronik. Namanya jaman lagi susah begini." 

Saat itulah baru saya bisa memaklumi mengapa penginapan saya di Gili Trawangan terkesan low maintenance, sangat jauh berbeda dari saya menginap di tempat yang sama dulu. 

Ironis sekali. Saat saya datang ke pulau ini untuk liburan, bagi sebagian yang lain pulau ini adalah penjara.  Pulau dan pemandangan yang cantik ini menyimpan cerita yang lain bagi mereka. Tiba-tiba saya menyadari bahwa saya hidup di bubble dengan segala privileged, saat harus keluar dan melihat dunia nyata, saya tidak sepenuhnya siap. Betapa pandemi meluluh-lantakkan perekonomian terutama untuk mereka yang sangat bergantung pada sektor pariwisata, termasuk supir-supir di bandara, porter, pedagang, pengelola dan pegawai penginapan, pemilik perahu, pemandu wisata, dan mesih banyak lagi. 

Ketika sampai di rumah, saya masih membawa cerita itu dan tidak tahu apa yang bisa saya lakukan untuk membantu. Dan ternyata cukup membuat frustrasi.

Semoga keadaan semakin membaik. Semoga keadaan semakin membaik. Semoga keadaan semakin membaik.

Comments