Skip to main content

Seandainya

"Seandainya kamu bisa memilih satu profesi lain selain seniman, kamu akan memilih jadi apa?" Pertanyaan ini keluar begitu saja di percakapan acak saya dan Cen. Kemudian ia menceritakan profesi lain yang masih terkait dengan estetika tetapi lebih teknis. Dua hal yang sebenarnya memang sangat mencerminkan dirinya saya kira. Ia bisa sangat mengolah rasa tapi sangat teknis sekaligus. 

"Hmm, kalau saya bisa memilih satu profesi lain selain aktuaris, saya mau jadi apa ya.." Saya terdiam beberapa saat, kemudian terpikir profesi yang berkaitan dengan anak-anak dan perempuan. Dua isu yang saya cukup peduli walau sekarang saya tidak terlalu mengikuti perkembangannya dan entah apa yang sudah saya lakukan untuk isu tersebut. Entah kenapa dengan hanya membayangkan, ada gairah  yang menyala. Menyenangkan rasanya membayangkan saya bisa ahli di bidang itu, melakukan hal yang disukai, terjun ke hal-hal yang saya peduli, kemudian menjalani profesi yang bukan untuk mencari penghidupan dari sana.

Langkah selanjutnya? Tinggal apakah saya sungguh-sungguh mau untuk mewujudkannya. Apakah saya sungguh mau terus menyalakan lilin gairah itu tetap menyala. 

Beberapa hari kemudian, lagi-lagi secara acak, saya bertanya di percakapan yang lain ke Cen, "Kalau kamu dilahirkan sebagai perempuan, kamu akan jadi perempuan yang seperti apa?" Cen mengernyitkan dahinya. Ia kemudian memberikan jawaban di luar dugaan, tapi pada intinya dia merasa ruang geraknya tidak akan sebebas sekarang. Di akhir jawabannya, ia bertanya balik meskipun diawali dengan sedikit protes, "Pertanyaan macam apa sih ini. Kalau kamu memang gimana?"

Hmm, saya juga nggak tahu pertanyaan macam apa. Tiba-tiba muncul di kepala, dan sama Cen, saya merasa lebih bebas bercerita dan bertanya, termasuk hal yang paling absurd sekalipun. Saya bahkan nggak pernah membayangkan kalau saya jadi laki-laki. Kemudian saya membayangkan saya versi laki-laki seperti apa. "Hmm, sepertinya saya akan lebih bebas bergerak. Masuk keluar hutan, naik gunung sendirian, menjelajah dengan lebih bebas." Saya merasa akan memiliki lebih banyak ruang untuk berekspresi. Saya lumayan terperangah dengan jawaban saya sendiri. 

Sejauh saya bisa menjangkau memori, saya berusaha mengambil keputusan bukan karena gender saya apa, tapi karena saya sebagai manusia. Soal pendidikan, pekerjaan, hobi, pasangan, dan keputusan-keputusan sehari-hari, saya berusaha tidak memutuskan karena, "Ah, saya kan perempuan, maka saya memilih ini." Ketika saya berpikir bahwa tidak ada yang lebih superior antara perempuan dan laki-laki, bahwa kodrat perempuan adalah hanya menstruasi, melahirkan, dan menyusui, dan sisanya sama dengan laki-laki, maka saya juga berusaha adil bagaimana memandang, berperilaku, dan mengambil keputusan tanpa membedakan gender. 

Saya kira saya sudah demikian, tapi ketika membayangkan bahwa saya memiliki ruang yang lebih bebas kalau saya menjadi laki-laki, ternyata secara tidak sadar saya masih membatasi diri dan ruang gerak. Entah karena struktur sosial yang membuatnya seperti itu atau ternyata sayalah yang memang tidak mau melepas batas dan ikatannya. Saya masih berusaha menemukan jawabannya.

Ada satu benang merah dari pertanyaan dan percakapan absurd ini. Pertanyaan hipotesis ini membawa kami pada hal-hal terpendam, impian-impian yang tidur, yang mungkin tidak akan pernah terbawa ke permukaan kalau tidak dibicarakan. Ia terendap oleh rutinitas dan obrolan teknis sehari-hari. Obrolan ini membuat kami berimajinasi, kemudian merefleksikan keseharian kami, dan senjang di antara keduanya.

Comments