Skip to main content

Topi Hijau

Kalau sebagian orang sedang berusaha menemukan belahan jiwa mereka, aku rasa aku sudah bertemu dengan belahan jiwaku. Travelling, dia adalah belahan jiwaku. Aku sudah merasa penuh ketika aku travelling.Ibuku bilang, ada bulu kakiku yang sudah jatuh di jalan, sehingga aku tidak pernah betah di rumah, persis seperti ayahku. Dari cerita ibuku, aku tahu bahwa Ayah adalah seorang petualang, bahkan dia melamar ibu di Segara Anak.

Ayahku masuk ke dalam golongan yang berbahagia menurut Gie, karena dia mati muda. Dia meninggal di usianya yang ke tiga puluh dua, saat sedang melakukan ekspedisi arung jeram di sungai Citarik. Saat itu, aku baru berusia lima tahun. Ingin rasanya aku bertanya pada Gie, apakah mereka yang ditinggalkan oleh orang yang mati muda juga termasuk golongan yang beruntung.


“Anjani, bawa foto ini bersamamu ke Rinjani,” ibu memberikan selembar foto yang terdiri dari tujuh pria dan tiga wanita. Mereka sedang berpose tersenyum riang di pinggir danau yang sangat cantik, Segara Anak rupanya. Ada ibu dan ayah di antara sepuluh orang itu.Ibu terlihat sangat gadis petualang di foto itu dengan carrier di punggungnya. Ah, ibu tidak pernah lagi bergiat di alam bebas semenjak kepergian ayah. Sementara ayah wajahnya tidak terlalu jelas, topi petualang hijau tua menutupi sebagian wajahnya.
            
             Aku dan Jagat sudah berada di Pos Penjagaan Sembalun. Kami akan mendaki Rinjani, yang katanya surganya para pendaki.  Tidak seperti biasanya, aku agak gugup untuk perjalanan kali ini. Mungkin karena ini adalah gunung impianku sekaligus gunung tertinggi dalam deretan gunung yang pernah aku daki, atau mungkin karena pendakian ini cuma terdiri dari dua orang, yaitu aku dan Jagat, travelmate terbaikku. Sebenarnya, kami punya misi yang berbeda untuk pendakian kali ini. Aku untuk merayakan kelulusan sarjanaku, sementara untuk Jagat, perjalananiniadalahbentukpelariannyadaripestapernikahanmantankekasih satu-satunya.

                Selepas registrasi, pendakian dimulai. Matahari mulai terbenam. Kami memakai headlamp. Padang sabana yang katanya cantik sama sekali tidak terlihat sekarang. Berjalan satu jam lebih tanpa henti dan tidak ada tanda-tanda Pos Satu membuatku mulai panik, ditambah lagi, rasa-rasanya jalan yang kami lalui sama persis. Jelas saja sama persis rasanya, karena kami melalui padang sabana tanpa pohon. Jagat berjalan di depanku, kadang berhenti sejenak, memastikan jalur yang kami lewati benar. Kami tidak banyak bicara. Jalan berdua di tengah gelap yang cukup mencekam dan di tengah rimba Rinjani membuatku sibuk berdoa dalam hati. Di saat seperti ini, saat uang tak ada artinya, saat gadget tak ada fungsinya, saat hanya ada dirimu dan seorang teman jalanmu, Tuhan rasanya begitu dekat.

“Gat, ini jalan kita bener kan? Keluarin tali rafiah dulu ya. Ngasih tanda jalan yang kita lewatin,” aku berhenti sejenak. Aku tidak berani menanyakan kenapa kita tidak kunjung sampai dan jalan yang kita lewati tidak ada bedanya. Jangan-jangan, kita hanya jalan berputar-putar. Aku bergidik membayangkannya.
            
            “Iya bener kok. Nggak ada percabangan lagi harusnya,” katanya santai. Nada santainya membuat resahku sedikit terobati. Pembawaannya yang tenang dan memberi rasa aman adalah beberapa alasan mengapa ia menjadi teman jalan favoritku. Tak lama kemudian, aku bisa menarik napas lega karena akhirnya kami tiba di Pos Satu Sembalun. Dua jam dari Pos Satu, kami mendengar gemericik air, pertanda bahwa kami sudah tiba di Pos Dua. Di pos ini, kami segera mendirikan tenda.

***



Aku terbangun karena silau cahaya matahari. Jagat masih tertidur di dalam kantung tidurnya. Aku buka pintu tenda lalu takjub dengan yang kulihat. Bukit-bukit, kemudian padang ilalang, dan matahari yang muncul di antara bukit-bukit itu. Ya ampun, pemandangan ini adalah foto yang kupasang di wallpaperlaptopku, aku dapat dari hasil googling Rinjani setahun yang lalu.

            “Gat! Bangun, Gat! Lo harus lihat,” kataku berteriak sambil loncat-loncat gembira di luar tenda. Jagat akhirnya bangun, menggeliat malas, kemudian duduk mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak lama kemudian, dia tersenyum sambil keluar dari tenda.
            
            “Besok subuh Jani, kalau semesta mendukung, kita bakal ada di sana!” Jagat menunjuk puncak Rinjani yang menjulang paling tinggi dan seolah paling tangguh.
                
            Setelah mengabadikan momen kami di Pos 2 Sembalun, kami sarapan dan bergegas melanjutkan pendakian. Sore ini, kami harus sampai di Plawangan Sembalun. Di sini, sulit sekali menemukan pohon besar dan rimbun. Jalurnya sangat terbuka. Sejauh mata memandang, hanya ada perbukitan teletubbies dan padang sabana. Jalur sembalun sangat cantik, sekaligus menyakitkan.
            
            “Jani, sehat?” Jagat bertanya saat kami beristirahat.

“Bukit penyesalan ini emang benar-benar luar biasa,” kataku sambil menerawang jalur  yang telah kami lalui.Tujuh bukit penyesalan adalah salah satu bagian yang tak terlupakan dari Rinjani. Para pendaki harus naik turun sebanyak tujuh bukit dengan medan yang terjal dan terbuka. Matahari dan angin kadang menyerang tanpa ampun. Konon, bukit penyesalan ini seolah-olah ingin membuat para pendaki menyesal mendaki Rinjani.

Jam empat sore akhirnya kami tiba di Plawangan Sembalun. Aku duduk bersisian dengan Jagat. Di bawah kami, lautan awan yang tak beraturan seperti kasur kapas membentang luas. Kami bisa melihat beberapa puncak gunung ada di hadapan kami, jika tidak ada awan yang menghalangi. Di belakang, puncak sang Dewi Anjani berdiri anggun, seperti siap memeluk siapa saja yang mendatanginya.

“Jani, itu Segara Anak,” Jagat menunjuk ke arah bawah. Aku terpesona. Rupanya, jika awan di bawah kaki kami tersibak perlahan, Segara Anak akan menampilkan keindahannya pelan-pelan, malu-malu. Rinjani penuh dengan kejutan dan aku masih menunggu kejutan-kejutan selanjutnya.

***
Jam tujuh malam aku dan Jagat sudah bergegas tidur. Tengah malam nanti, kami harus melanjutkan perjalanan agar bisa menikmati matahari terbit dari puncak. Aku sudah hampir terlelap ketika tiba-tiba Jagat membangunkanku.

“Jani, tolong ambilin kotak obat dong. Di dalem carrier lo kayaknya. Ada obat sakit kepala?” Jagat duduk sambil agak menunduk. Aku terkesiap. Selama aku melakukan perjalanan bersamanya, belum pernah dia sakit. Kuambilkan obat dan kubuatkan air hangat. Tak lama kemudian, kami memutuskan untuk kembali tidur.

Badan Jagat sesekali menggigil. Aku langsung bangun, memastikan Jagat baik-baik saja. Dia tetap tertidur ternyata meskipun badannya menggigil. Mungkin pengaruh obat tidur yang terdapat di obat sakit kepalanya, pikirku. Kuisi beberapa botol dengan air panas lalu kuletakkan di sekitar sleepingbagnya. Kurapatkan jarak tidurku dengan Jagat agar aku tahu apakah dia masih menggigil atau tidak. Kondisi Jagat yang menurun membuatku agak ciut dan ragu apakah kami bisa menjejak Puncak Rinjani besok.

***

Alarm berbunyi, pertanda sudah pukul satu pagi. Jagat masih tertidur lelap. Aku ragu apakah akan membangunkannya atau tidak. Kuputuskan untuk memasak air. Tak lama kemudian, Jagat terbangun. “Sehat, Gat?” tanyaku sambil mencelupkan teh. Jagat hanya mengangguk.

“Kalo lo masih sakit, kita tunda aja, gak usah mun...”

Jagat langsung memotong kata-kataku, “Nggak, gue udah mendingan kok. Kita akan tetep muncak malem ini.” Aku berdoa dalam hati, semoga Jagat memang benar-benar sudah sehat.

Setelah kami selesai makan, menyiapkan perbekalan, dan menyiapkan peralatan yang akan dibawa ke puncak, pendakian siap dimulai. Jam tanganku masih menunjukkan pukul 02.00. Semoga, cuaca cerah dan kami bisa menikmati matahari terbit dari puncak gunung tertinggi kedua di Indonesia. Aku lihat ke jalur arah puncak Rinjani, terlihat sinar-sinar kecil dari headlamp pendaki seperti berbaris. Mereka terlihat sudah begitu tinggi. Aku menahan napas, gugup.

Kami sudah melewati batas vegetasi. Sudah tidak ada lagi tumbuhan di sini. Medan berpasir memaksa kami harus naik tiga langkah dan turun dua langkah. Angin yang begitu kencang membuatku harus menancapkan tracking pole dalam-dalam agar tidak limbung. Kami mencoba untuk tetap bergerak agar panas tubuh tetap terjaga. Jagat yang dari tadi berjalan di depanku mendadak berhenti. Aku mendekatinya, memegang pundaknya, “Jagat, are you okay?suaraku ditelan angin. Gigiku bergemeletuk karena kedinginan.

“Gue agak pusing. Kita duduk sebentar ya di balik batu itu,” Jagat berjalan ke balik batu. Aku mengikutinya dari belakang. Batu ini lumayan besar, cukup melindungi aku dan Jagat dari angin yang begitu kencang.

Setelah semuanya kembali aman, kami memulai perjalanan lagi. Aku berusaha mengatur napasku yang tinggal satu-satu. Tiba-tiba, Buk! Aku terjatuh. Jagat langsung berjalan ke arahku. Aku dibantunya kembali berdiri. “Nggak apa-apa kan?” Aku mengangguk.

Akhirnya, pukul 05.35 kami sampai di Puncak Rinjani. Ada beberapa pendaki lain yang telah sampai. Kami saling bersalaman, memberi senyum, dan ucapan selamat. Aku dan Jagat saling memisahkan diri. Kami mengambil tempat kami masing-masing untuk merenung. Kunikmati matahari yang terbit perlahan dengan jingganya, melayangkan pandangan ke Segara Anak yang begitu molek, mengingat semua orang yang aku kasihi, dan hidupku yang patut aku syukuri. “ Terimakasih, Tuhan,” aku berkata lirih sambil mengelap air mataku.

Jagat tiba-tiba sudah ada di sebelahku mengeluarkan jubah dan toga. “Pake! Ayo foto!” katanya riang. Aku hampir lupa kalau salah satu agenda utamaku di puncak adalah berfoto dengan toga. Setelah puas berfoto, aku menawarkan Jagat untuk membuat video ucapan selamat kepada mantan kekasihnya.

“Anindita! Selamat untuk pernikahan kalian. Semoga bahagia selalu. Hmm, kadang Tuhan cuma berniat mempertemukan, bukan mempersatukan. Turut berbahagia dari puncak Rinjani!” Jagat memberi isyarat selesai. Rekaman aku matikan.Ada sekilaskesansedih yang kutangkapdariJagat, tetapidiaberusahamenutupinya.

Setelah puas berfoto dan membuat video, kami memutuskan untuk turun. Kulihat jam, masih pukul tujuh pagi. Jagat turun terlebih dahulu, aku mengikuti dari belakang. Turunnya jauh lebih mudah dan cepat, karena medannya pasir, kami hanya tinggal merosot, seperti bermain ski. Jagat memberi isyarat untuk menjaga jarak aman, tidak terlalu dekat agar tidak bertabrakan, tetapi juga tidak terlalu jauh agar tidak sampai terpisah.

Alam memang tidak bisa ditebak. Cuaca yang tadinya cerah dan terang-benderang mendadak gelap dan berkabut. Jarak pandang menjadi sangat dekat. Aku tidak bisa lagi melihat Jagat. Kupercepat jalanku agar bisa mengejar Jagat, tetapi aku malah jatuh terguling hampir masuk ke jurang yang ada di sebelah kananku. Aku tidak jatuh lebih jauh karena tertahan batu bulat besar. Aku sangat takut tapi berusaha untuk tidak panik. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti, menunggu kabut tidak lagi menghalangi pandanganku. Lengan kananku terasa perih, setelah kuperiksa, ternyata jaketku sobek dan ada luka di sana. Kucoba hiraukan rasa sakitnya.

Setengah jam kemudian, kabut mulai menipis. Jarak pandang mulai jauh, dan saat itulah baru aku sadar, bahwa aku terjatuh cukup jauh dari jalur seharusnya.

“Jagat! Jagaaaaaattttt...” aku berteriak sekuat tenaga, tapi tidak ada jawaban. Setelah mencoba beberapa kali dan gagal, akhirnya aku putuskan berhenti memanggil. Kualihkan tenagaku untuk mencoba ke jalur yang benar yang jauh di atas, tapi sulit sekali karena medannya pasir halus.Tracking pole ku sudah jatuh jauh ke bawah, dan tidak ada akar atau apapun yang bisa aku jadikan pegangan.

Cuaca sudah kembali cerah. Aku mulai haus. Untunglah, di pecinta alam, kami diajarkan untuk membawa air dan survival kit masing-masing agar ketika terpisah, kami tetap bisa bertahan. Aku minum air sedikit, hanya untuk sekedar membasahi rongga mulut dan kerongkongan. Aku terdiam sambil berusaha memulihkan tenaga. Saat merasa sudah cukup kuat, aku kembali mencoba merangkak ke atas, setelah berhasil beberapa langkah, batu yang aku pijak melorot. Akupun ikut terseret kembali ke bawah.



Samudera awan yang ada di hadapan dan pemandangan yang harusnya sangat indah ini menjadi getir sekarang. Manusia memang sangat kecil di tengah semesta ini. Aku bergidik ngeri membayangkan aku harus dievakuasi dalam keadaan tak bernyawa. Membayangkan mendadak aku akan terkenal di koran, televisi, sampai media sosial karena meninggal di Rinjani. Aku tak kuat membayangkan kesedihan ibuku karena harus ditinggal kedua kalinya oleh orang yang begitu dicintainya karena alasan yang sama, bergiat di alam bebas. Aku harus kembali dengan selamat, itu tekadku.

Kuhiraukan rasa sakit di lengan dan perut. Aku berusaha untuk kembali ke jalur yang benar. Tiba-tiba, cuaca kembali gelap, kabut kembali tebal. Aku mulai lelah dan menangis karena kesal, entah kesal pada siapa. Aku menangis sambil tetap berusaha merangkak ke atas, sampai akhirnya tiba-tiba, ada yang menarik tanganku. Saking terkejutnya, aku menarik tanganku dengan keras dan akupun merosot lagi ke bawah.

Kabut masih tebal. Yang menarik tanganku sudah ada di sebelahku sekarang, ternyata pria yang tidak terlalu tua, tapi juga tidak semuda Jagat. Pria ini memakai topi khas petualang warna hijau tua dengan slayer merah di lehernya. Entah aku harus takut atau lega sekarang. Takut karena mungkin pria ini bermaksud tidak baik atau lega karena aku tidak sendirian dalam ketersesatan ini sekarang.

“Kamu tersesat?” dia bertanya sambil tersenyum ramah. Melihat senyum dan tatapan matanya, rasa takutku tersublim menjadi rasa aman yang tidak terkatakan. Aku spontan menceritakan kronologi aku tersesat secara detail seperti seorang anak kecil bercerita ketika ditanya bagaimana harinya di sekolah atau siapa yang menakalinya hari ini.

“Siapa namamu?” dia bertanya lagi. Dia jarang menatapku langsung. Dia lebih sering menerawang ke depan.

Aku menatap ke arahnya, “Anjani.” Aku berharap bisa melihat matanya tapi dia tidak juga memalingkan wajahnya ke arahku. Aku merasa pernah mengenalinya, tapi entah dimana.

“Wow, namamu terinspirasi dari gunung ini?” dia bertanya, lagi-lagi tanpa melihat mataku.

“Ya, kata ibu, Rinjani adalah gunung favorit ayahku, itu mengapa aku dinamai Anjani.”

“Kata Ibu?” dia bertanya lagi. Ah, tapi entah kenapa aku sedang merasa dites, bukan ditanyai karena dia memang tidak tahu.

Lagi-lagi, aku bercerita panjang lebar seperti aku sudah akrab dengannya. Aku mendadak lupa bahwa aku sedang tersesat. Kuceritakan tentang kepergian ayahku dengan lengkap.

“Anjani, ayahmu sudah berbahagia di sana,” jawabnya singkat dan tenang.

“Aku tahu. Soe Hok Gie yang mengatakan padaku,” aku menggumam.

Pria itu terkekeh. Dia mengelus rambutku dengan lembut, “Berbahagialah mereka yang mati muda. Itu yang Gie katakan kepadamu, Jani?” Aku mengangguk. Begitu nyaman ketika pria ini mengelus rambutku.Aku seperti kembali ke masa kecilku.

“Jadi kamu tidak masalah jika tersesat dan mati di sini?” kali ini dia menatapku lekat-lekat. Aku menghiraukan pertanyaannya, aku berkaca di kedalaman matanya, tapi bukan diriku sekarang yang ada di pantulan itu, melainkan sosok aku ketika masih anak-anak.

“Ayahmu berbahagia bukan karena dia mati muda, tapi karena dia punya dua perempuan tangguh. Ibumu dan kamu, Jani!” dia merangkulku sekarang. Aku tidak menghindar, aku malah sangat menikmatinya. Lagi-lagi, ini rasa nyaman yang rasanya pernah aku rasakan, tapi entah kapan dan dimana.

“Tetaplah bergiat di alam bebas, karena dengan itu, mungkin kamu bisa tetap merasakan kedekatan dengan ayahmu, kedekatan dengan semangat, jiwa petualang dan jiwa bebasnya. Tapi ingat, sejauh apapun kamu pergi, rumah adalah tujuan akhir yang sesungguhnya. Ibumu menunggu di rumah. Sesekali, ajaklah ibumu naik gunung. Katakan padanya, ayahmu menunggu di puncak.”

Aku hanya mendengar dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak kenal siapa orang ini, tapi kehadirannya membuatku merasa penuh, mengobati rasa rindu yang selama ini selalu ada. Tak lama kemudian, dia berdiri, mendahuluiku, memberikan tangannya, menarikku ke jalur yang benar ke atas sana. Cuaca masih berkabut. Jarak pandang masih sangat pendek, aku hanya percaya saja mengikuti langkahnya. Akhirnya, sampailah aku di tempat yang datar. Dia berdiri di belakangku.

Mendadak cuaca cerah dan terasa menyilaukan mata. Kulihat samar-samar dari kejauhan, sosok yang begitu aku kenal. Jagat! Dia sedang berlari ke arahku. Begitu sampai di hadapanku, dia memelukku erat, kubalas pelukannya dengan air mata menggenang. Tak ada kata apapun yang keluar selain kelegaan dan kebahagiaan yang memenuhi udara lereng puncak Rinjani. Kulihat jam tanganku, sudah pukul tiga sore, artinya aku sudah terpisah dengan Jagat selama delapan jam. Selama itukah? Aku merasa disorientasi waktu.

“Gat, kenalin, ini...” aku menoleh ke belakang dan sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Kulayangkan pandanganku, sejauh mata memandang, tidak kutemukan siapa-siapa kecuali aku dan Jagat. Mendadak, aku merasa kehilangan yang amat sangat. Akhirnya kami memutuskan untuk turun. Sepanjang jalan sampai kembali ke tenda, Jagat tidak melepaskan genggamannya dari tanganku.

Kami berdua terlalu lelah untuk mengerti apa yang terjadi hari itu. Setelah makan malam, kami langsung masuk ke sleepingbag masing-masing, tidur tanpa bermimpi sama sekali.

***
            
            Perjalanan empat jam menurun, terjal, dan berbatu dari Plawangan Sembalun berbuah manis. Kami menginjakkan kaki di surganya Rinjani, danau Segara Anak. Cantik sekali. Segara Anak seperti seorang ibu, tenang, menunggu, dan memberi kedamaian. Sesekali, ada gerombolan awan yang bermain-main di atas airnya yang biru. Gunung Baru Jari yang ada di tengah-tengah Segara Anak memberi keeksotikannya tersendiri.

Setelah menemukan titik terbaik untuk menikmati Segara Anak, akhirnya kami mendirikan tenda. Setelah itu, kami memasang matras di luar untuk menikmati senja. “Jani, waktu lo hilang, ada yang bantuin gue nyariin lo,” Jagat mulai bercerita. Aku tercekat ketika mendengar deskripsi dari Jagat, bahwa pria yang membantunya itu memakai topi petualang warna hijau tua dan berslayer merah di lehernya. Akhirnya kuceritakan pada Jagat kronologi pertemuanku dengan pria yang menolongku, yang ciri-cirinya sangat mirip dengan yang Jagat ceritakan.

“Jani, jadwal pesawat kita jam berapa lusa?”

Oh ya, malam ini malam terakhir kami di Rinjani. Aku keluarkan tas yang berisi dompet dan dokumen penting lainnya. Saat membuka tiket, tiba-tiba foto pemberian ibu terjatuh. Kupandangi foto itu, foto yang berlatar belakang Segara Anak. Ada ibu dengan carriernya, delapan teman perjalanannya, dan ayahku dengan topi petualang warna hijau tua dan slayer merah di lehernya.

Mendadak aku merasa mata dan hatiku terbuka. Aku tahu siapa yang membantu Jagat menemukanku, siapa yang menemaniku di lereng puncak saat aku tersesat dan akhirnya bisa selamat, dia pria bertopi petualang warna hijau tua dengan slayer merah di lehernya. Aku membeku sambil tetap menatap lekat-lekat foto itu. Jagat yang kebingungan mengambil fotonya dari tanganku dan melihatnya, “Jani, ini dia yang nolongin gue buat nemuin lo! Gimana lo bisa punya fotonya?” Kali ini Jagat menunjuk pria bertopi dan berslayer merah itu.

Dia bokap gue, Gat,” kataku lirih.

Tak kudengar komentar apapun dari Jagat, hanya rangkulan hangat bersahabat yang mendarat di pundakku.


Comments