Skip to main content

Bentang Raya Surga

Setiap dari kita pasti punya mimpi yang tidak pernah terucap. Entah karena tidak patut untuk diucapkan atau memang tidak ingin kita bagikan. Raya melihat salah satu mimpinya yang sederhana dan tidak pernah terucap menjadi nyata malam itu. Bentang berdiri di sana, di pelataran kantornya. Bentang yang berdomisili di pulau lain akhirnya menyempatkan diri mengunjunginya, di sela-sela jadwal kunjungan dinasnya di kota ini.


“You have to burn your hope, as I have burnt my hope first,” kata Bentang tenang.

“Saya tahu. Kamu sudah bilang berkali-kali,” jawab Raya tak kalah tenang. Dan berkali-kali juga saya gagal, celotehnya dalam hati.

Bentang menambahkan, “Saya sudah janji pada ibu saya.”

“Iya, saya tahu. Saya hargai pilihanmu.” Raya terlalu lelah untuk memperdebatkan hal yang sama berulang-ulang, dengan hasil akhir yang tidak mungkin berubah. Bentang sesekali meniupkan sangkakalanya, agar keduanya tetap sadar bahwa mereka tidak akan ada di jalan yang sama, sampai kapanpun. Sekalipun mereka berjalan beriringan, ada tembok tembus pandang di antara mereka, yang tidak akan pernah Bentang pecahkan, sekalipun palu godam itu ada di tangannya.

“Jadi, apa yang membuatmu ada di sini?” tanya Raya sambil melihat lentik bulu mata Bentang dari samping.

Bentang diam. Tidak ada jawaban yang bisa dia berikan untuk Raya.

Raya mulai menebak, “menjaga penggemar?”

Bentang mengangkat alisnya, terkejut dengan pertanyaan Raya. Ia melemparkan lirikan tajam khasnya, “Kenapa kamu masih mau saya temui sekarang? Kamu menjaga penggemar?”


“Jadi, kita saling menjaga?” Raya terkekeh. Gurauan spontan itu keluar begitu saja tanpa filter. Jadi kita saling menggemari? Tanya Raya dalam hati.

“Jaga ucapanmu,” tutup Bentang dingin.

Superior dan keras kepala Bentang masih belum berubah ternyata. Raya tersenyum. Dia tidak hanya rindu melihat matanya, tapi juga rindu superior dan keras kepalanya.

Hampir sebagian besar perempuan seusia Raya sudah bisa membayangkan dirinya akan dilamar, menua, dan menjadi seorang ibu yang penuh kasih, tetapi tidak dengan Raya. Dia tidak bisa membayangkan dirinya akan ada di posisi itu suatu hari nanti. Bayangannya seolah berhenti di suatu titik, dan setelah titik itu, semuanya menjadi gelap. Tidak terbayangkan. Bentang mungkin satu-satunya orang yang sempat membuat gelap itu menjadi agak remang, tetapi kemudian menjadi gelap kembali, saat Bentang meniupkan sangkakalanya.

“Hujan,” ucap Raya pelan sambil menatap kosong ke arah langit di seberang gedung. Keduanya mendadak hening. Tiba – tiba hujan, lagi – lagi hujan, selalu hujan setiap mereka bertemu. Hujan mungkin pertanda, bahwa bertemu adalah sebuah kesalahan.

Ray, kamu tidak akan pernah bisa menolak ajakannya untuk bertemu. Nanti, kalau Metallica launching album rohani, barulah kamu akan kehilangan minat untuk menemuinya. Ucapan sahabatnya semalam membuat dia menatap Bentang sambil tersenyum, getir.

Di penghujung hari itu, ada yang berdoa di sudut kegelapan..

Bapa kami yang ada di surga,
Berikanlah kami kebesaran hati,
Untuk bisa menerima apa yang tidak bisa kami ubah,

Untuk bisa menerima semua kehendak-Mu, semua kehendak-Mu..
Tidak hanya kehendak yang membuat kami merasa di bumi seperti di surga..

Comments

Post a Comment