Skip to main content

Cerita dari Cikuray

Kalau kamu gundah, resah, dan gelisah, padahal semua baik-baik saja, mungkin kamu cuma kurang piknik. Kurang menghirup zat asam, kurang masuk hutan, ya, kurang naik gunung. Setelah sembilan bulan, akhirnya saya naik gunung lagi, ke Cikuray, 2821 MDPL. Saya rindu meguji batas, mendorong diri berada di batas terakhir kemampuan. Saya rindu menanggung.

Pendakian kali ini terdiri dari saya, Iyas, dan Ella, tiga orang yang mungkin introvert, tetapi ketika berkumpul, kami mendadak menjadi kumpulan orang extrovert.

Perjalanan Dimulai
Saya baru bertemu mereka setahun yang lalu, tetapi rasanya seperti bertemu teman lama. Hatimu lansgung tahu, bahwa mereka kelak akan menjadi teman baikmu. Thanks to Leo, yang mempertemukan saya dengan mereka.

Sepanjang pendakian, sangat jarang saya menemukan perempuan. Berbeda sekali dengan tim saya, yang terdiri dari dua perempuan dan satu laki-laki. Thanks to Iyas, yang mau menemani dua perempuan yang haus naik gunung, meskipun harusnya pindahan dan ada jadwal pertemuan.

Ada yang bilang, kalau ingin tahu seberapa bertanggung jawab seseorang, ajaklah dia naik gunung. Kalau ingin tahu seberapa orang itu memberi rasa aman, ajaklah dia naik gunung. Naik gununglah bersama Iyas, kamu akan merasa aman. Mungkin dia nggak akan membawakan carrier beratmu jika tidak sangat terdesak, tapi percayalah, dia nggak akan meninggalkanmu di jalur, sekalipun pintu keluar sudah di depan mata. Mungkin dia memang mudah sekali tertidur, mungkin dia memang juga tidak tahan dingin, tapi tenang, dia senang sekali mencuci nesting. Apa hubungannya ya. Haha.

Untuk perempuan-perempuan di luar sana, perkenalkan, Iyas, calon imam yang baik, pendengar yang setia, penghangat suasana meskipun dia sendiri sedang kedinginan. Saya begitu takjub ketika tahu dia punya lagu "Lembayung Bali" di playlistnya. Jadilah, kami bersenandung sumbang di lereng puncak Cikuray.

Ella, gadis cantik imut yang rasanya seperti adik sendiri. Alon-alon asal kelakon. Sama-sama pengguna sepatu yang bikin jempol sakit kalau turun gunung. Bersama Ella, muncul pepatah, curhat tidak mengenal tempat dan waktu, termasuk curhat di puncak gunung, jam 1 pagi, sambil agak menggigil. "Cewe, curhat!" komentar dari orang di tenda sebelah yang nggak akan pernah saya lupakan. Maafkan saya, tidak menemani mencari lahan yang oke untuk "itu".

Segar, berkat maskeran di Gunung!
Di pendakian kali ini, secara nggak sengaja, kami menemukan kalau mashed potato bisa dijadikan makanan pokok. Mudah, enak, dan tidak sulit mencuci nesting. Yeaaayy. Bukan mashed potato sungguhan sebenarnya, hanya kentang yang direbus kemudian ditumbuk menggunakan sendok. Tapi apapun, akan jauh lebih nikmat bukan kalau dimakan di gunung.

Saya juga memperoleh kosakata baru, "ala-ala", yang ternyata tidak berkerabat dengan "bala-bala" yang bisa dimakan itu. Kamu tahu kenapa saya suka berteman dengan mereka yang lebih muda? Semangat, jiwa muda, dan gairah yang ditularkan oleh mereka. Bagus untuk kesehatan jiwa.

Suasana "beku" saat pendakian adalah hal yang biasa. Momen ini muncul saat semua orang merasa terlalu lelah. Tidak terkecuali di pendakian kali ini, tepatnya di akhir pendakian. Saya dan Ella menjadi sangat lambat di saat-saat terakhir turun gunung. Iyas yang harusnya sudah sampai entah dari berapa jam yang lalu, harus sabar menunggu kami. Agak semakin "beku" saat gerimis turun. Untunglah, momen segera mencair, saat Ella jatuh terpeleset.

Saya berjalan di paling belakang sambil agak terseok. Iyas sempat meneriaki, "Rani, Run!" sambil bergurau.

Momen beku ini memang biasa terjadi, tapi percayalah, ketika kami semua sudah santai, kami akan menertawai semua momen "beku" itu.

Pendakian, semakin sedikit jumlah orangnya, semakin intens kedekatannya. Jumlah yang tidak terlalu banyak membuat kita lebih leluasa untuk berbagi, untuk cerita, untuk menikmati momen bersama.

Tempat nenda yang dipilih Iyas sengaja yang agak terpencil
Semoga nggak kapok untuk perjalanan selanjutnya. Terimakasih untuk perjalanan ini.

Selfie, ala ala anak jaman sekarang

Comments