Skip to main content

Cerita dari Pulau Seram

Kami sedang dalam perjalanan menuju Desa Sawai  dari Pelabuhan Amahai menggunakan mobil sewaan. Rasanya seperti naik wahana halilintar, tapi durasinya satu jam setengah. Halilintar memiliki pengamanan yang baik, tapi kali ini, pengemudinya bahkan tidak mengenakan sabuk pengaman. Kami memegang apapun yang bisa menjadi tumpuan agar kami tidak terpental dari tempat duduk.

“Santai aja, Bang. Nggak usah buru-buru,” kataku agak berteriak karena musik yang dinyalakan oleh sopir sangat kencang.

“Iya, Bang! Kita takut,” Azki yang duduk di sebelahku menambahkan.

Sopir melihat ke arah kami melalui kaca depan sambil tersenyum janggal, “Kalau takut, jangan kesini. Saya lagi BT ini. Kalau tidak BT, tidak mau saya antar kalian.”

Saya, Agnes, dan Azki hanya bisa saling berpandangan, dan berpegangan semakin erat pada tumpuan, ditambah berpegangan pada iman sekarang. Kami sedang berjalan di tengah hutan antah berantah, sangat sedikit kendaraan yang lewat. Ya Tuhan, saya mau liburan, bukan ingin kembali kepada-Mu hari ini, bisik saya dalam hati. 

“Crazy! He is not a safe driver. I don’t want to die today; I still have fifteen days for my holiday. I will kiss the ground if we arrive safely,” kata Danilo melihat ke arah kami. Dia duduk di sebelah sopir. Danilo, turis Itali yang kami temui di pelabuhan dan memutuskan untuk bergabung bersama kami. Dia berencana menghabiskan 45 hari liburannya di Indonesia.

Setelah satu setengah jam yang rasanya berada dalam peregangan nyawa, akhirnya kami sampai dengan selamat. Aaaaah, bahagianya bisa kembali menjejakkan kaki di tanah. Sopir itu memberikan nomor ponselnya jika ingin dijemput kembali. Untuk kesopanan, saya mencatat nomor teleponnya. Kami tidak ingin meregang nyawa untuk yang kedua kalinya, semoga ada sopir lain yang bisa membawa kami kembali ke kota dua hari lagi.

Kami harus menyambung dengan long boat sekitar tiga puluh menit untuk sampai di Lisar Bahari Resort, tempat kami berencana menginap. Benar-benar relaksasi, pemandangan selama menuju resort sangat cantik. Gradasi air laut yang sangat cantik, tebing-tebing, dan terumbu karang yang bisa langsung dilihat dari atas perahu mewarnai perjalanan kami.

“Mamma Mia, Paradise!” Danilo mengeluarkan dua kata andalannya yang akan sangat sering kami dengar tiga hari ke depan.
Pemandangan dari Long Boat

Akhirnya, setelah perjalanan panjang dari Ambon, sampailah kami di resort yang sangat cantik, dengan nuansa kayu, langsung di bangun di atas laut, dengan pemandangan yang langsung ke laut. Rasanya seperti di atas akuarium raksasa, karena langsung bisa melihat ikan – ikan dan terumbu karang warna – warni dari beranda resort.

Lisar Bahari Resort

Saat senja, kami duduk di beranda, menikmati golden moment, matahari tenggelam.  Danilo sedang menulis catatan perjalanannya, kami bertiga sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

Malamnya, kami dihidangkan makan malam ikan tuna sambal yang sangat segar, mie goreng, dan sayur. Ah, nikmatnya.


Golden Moment dari Beranda

“Do you know, I have a dream, one day, I want to have a guest house like this, from wood, in the beach, in a little island. I also want to have a guest house above the tree,” Danilo membuka percakapan malam itu.

Kami berempat berbincang sampai pukul dua belas malam di beranda resort, diiringi angin laut dan temaram lampu. Mendadak, saya mengingat film Rectoverso bagian Sebatas Punggung.

Pembicara utama malam ini adalah Danilo, dia yang paling banyak bercerita di antara kami. Danilo ingin menghabiskan masa tuanya dengan memiliki sebuah guest house di tempat yang tenang. Tempat dimana dia tidak perlu berkejaran dengan waktu, tidak perlu lagi tahu sekarang pukul berapa. Tempat dimana penunjuk waktunya hanya matahari terbit dan tenggelam.

Umurnya sekarang tiga puluh empat tahun, lebih tua sepuluh tahun dari kami. Dia tinggal di kaki gunung Alpen di Itali, bekerja di perlengkapan outdoor, menjadi guide untuk pendaki, dan instruktur kegiatan outdoor untuk anak-anak. Dia banyak bercerita tentang Itali, negara-negara yang pernah dikunjunginya, keluarganya, bahkan mantan kekasihnya.

Dia menyukai travelling karena ayahnya. Dia juga memutuskan kekasihnya, salah satu alasannya karena travelling, kekasihnya tidak memungkinkan untuk diajak travelling bersama. Saat saya bertanya, berapa yang dia habiskan untuk perjalanan ke Indonesia kali ini, dia tidak mau menjawab. Dia hanya mengatakan, “I spent all of my saving for this. When I get back to my country, I have no money.”

Alarm berbunyi pukul enam pagi. Kami duduk di beranda menanti matahari terbit. Tak lama kemudian, sekitar pukul setengah tujuh, ada dua long boat yang mengangkut anak-anak sekolah ke pulau di seberang. Wow, mereka harus sekolah menggunakan boat, menyeberangi laut setiap hari. Belakangan, saya tahu, kapal hanya berangkat sekali, jadi kalau terlambat, anak itu tidak bisa ke sekolah.


Anak - Anak yang Akan Berangkat Sekolah dengan Boat

Pukul sembilan, kami bersiap untuk mengikuti paket tour dari Lisar Bahari ditemani dua pemandu, Cano dan Bapak yang saya lupa namanya, sebut saja Bapak A. Yang pertama kami kunjungi adalah Sungai Salawai. Azki sempat melihat satu buaya sedang melompat, beruntung buaya itu tidak melompat ke kapal kami. Setelah itu, kami mengunjungi tempat proses pembuatan sagu. Ternyata sagu berasal dari bagian kayunya, yang kemudian di serut, diairi, diendapkan, dan jadilah tepung sagu siap  dikonsumsi.

Setelah melihat proses pembuatan sagu, kami mampir di suatu pulau untuk mengambil kelapa langsung dari pohonnya. Perjalanan dilanjutkan ke Pulau Jodoh untuk makan siang. Abang Cano dan Bapak A membakar ikan, sementara kami keliling pulau. Danilo bahkan sempat snorkeling. Banyak ubur-ubur katanya.


Pulau Kecil Tempat Mengambil Kelapa
Makan siang yang luar biasa. Ikan bakar segar, kangkung, colo-colo, dan air kelapa segar. Mamma Mia, lezatnya..

Setelah makan siang, kami akan segera snorkeling di tengah laut. Kesalahan terbesar kami jauh-jauh ke pulau di bagian timur Indonesia, dengan keindahan bawah laut yang luar biasa adalah kami tidak bisa berenang. Pak Ali sudah memberi pesan kepada dua pemandu kami bahwa cuma si Bule yang berenang, sedangkan kami bertiga tidak bisa, jadi pemandu kami harus bersiap-siap rescue kami bertiga jika terjadi apa-apa.

Danilo sudah terjun dan snorkeling jauh sekali dari kapal yang kami naiki. Agnes sudah di air juga, terlihat asik snorkeling jauh di belakang kapal, sementara saya dan Azki masih di kapal. Berkali-kali saya harus naik turun kapal karena ada saja masalahnya, air masuk ke dalam mata, air masuk ke dalam mulut, dan lain-lain. Saya lebih suka gunung daripada laut, rengek saya dalam hati.

Agnes dan Azki sempat harus ditarik oleh pemandu kami, karena tidak bisa kembali ke kapal, terbawa ombak, sementara saya masih naik turun kapal karena entah masalah alat snorkeling atau masalah keberanian. Hahaha. Akhirnya, kami bertiga hanya snorkeling di sekitar kapal.

“Kalian jauh-jauh ke Pulau Seram dari Jakarta hanya untuk snorkeling di bawah kapal,” kata Abang Cano tersenyum meledek.

“Gak apa-apa, yang penting selamet!” Kami bertiga berjanji akan belajar renang sepulang dari sini.


Snorkeling di Sebelah Kapal
Yang terakhir kami kunjungi hari itu adalah Tebing Batu. Tidak terlalu dalam, hanya sepinggang. Airnya sangat tenang. Tempatnya sangat bagus. Sayang, banyak coret-coretan dari orang yang tidak bertanggung jawab di tebingnya.

Ini kali pertama saya ke bagian Timur Indonesia, dan saya langsung jatuh cinta. Pensiun dini, menabung untuk memiliki guesthouse dan mengabdikan diri di pedalaman timur Indonesia terdengar menyenangkan. Menghabiskan masa tua di tempat yang tenang.

Paradise!
Paradise!

Comments