Skip to main content

Pohon Pikiran

Aku melihat kata-kata keluar dari telingamu
Banyak sekali dan tak beraturan
Kemudian mereka berputar-putar di atas kepalamu
Terus menjalar dan semakin tinggi
Menyerupai pohon yang telah berusia ratusan tahun
Yang dahan dan daunnya kemana-mana
Sementara akarnya tertanam erat di kepalamu. 

"Kasihku, kau punya pohon pikiran! 
Bolehkah aku memanjat kepalamu?"
Kau mengangguk.
Betapa aku ingin mengetahui isi pikiranmu!

Akhirnya aku berada di bawah rindangnya pohon pikiranmu.
Betapa menakjubkan. Bahkan ini lebih menakjubkan dari pohon-pohon istimewa yang selalu kita kagumi itu.

Aku akan menelusuri setiap dahan dan daunnya yang terbuat dari kata-kata, tekadku dalam hati.
Betapa buah pikiran di setiap ujung dahan itu begitu menggiurkan.

Sayang sekali, belum selesai satu dahan, aku sudah ketiduran.
Bagaimana tidak, satu dahan bisa terdiri dari berjuta-juta kata tak beraturan yang harus kupahami sendiri maknanya. 
Jangankan sampai pada buah pikiranmu, sudah berkali-kali aku terbangun dan tertidur lagi, tidak juga selesai satu dahan.

Kau tersenyum melihatku yang kepayahan.
"Mendekatlah, kita duduk bersama menikmati pohon ini."
Kemudian kau mulai bercerita dari satu dahan yang paling pendek.
Suaramu yang lembut dan angin semilir bergantian membelai telingaku. Menyenangkan sekali. 
Tak terasa kita sampai pada buah yang pertama.

"Hari Ini cukup?" 
Tanganmu mengusap kepalaku.
Aku sedikit kecewa. Aku ingin membahas seluruh pohon itu dalam sekali duduk.
Kalau satu hari hanya satu buah, kapan aku bisa menyelesaikan semuanya dan memahamimu seluruhnya.
Aku menggerutu dalam hati.

"Besok lagi, ya?"
Aku memintamu dengan penuh harap.

"Mengapa begitu terburu-buru?"

"Karena aku ingin menjelajahi seluruh pohon pikiranmu dan mencicipi semua buahnya, dan tentu saja dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

Kau memegang pundakku.
"Pohon pikiranku akan selalu ada di sini, ia masih terus bertumbuh.
Buahnya belum semuanya matang.
Jika kau ingin memetiknya sekarang, rasanya pasti masih pahit.
Maukah kau menunggu bersamaku?"

Aku mulai memahami bahwa lebih cepat tidak selalu lebih baik.
Tapi aku masih menyimpan kekhawatiran.
"Kalau ternyata nanti buahnya tidak seperti yang kita harapkan?"

Kau terdiam. Melemparkan pandanganmu pada buah-buah yang belum matang.
"Ya memang, aku tidak bisa menjamin buahnya akan manis. 
Tapi setidaknya kita bisa merawat bersama pohon ini. 
Memupuknya, memelihara ranting-rantingnya, melindungi daun-daunnya dari hama.
Mengupayakan segala yang terbaik agar buahnya bisa kita nikmati bersama."

Aku yang sekarang terdiam.
Berganti-ganti menatap kau dan pohon pikiranmu. 
Akhirnya aku menjawab,
"Karena dengan sukacita aku mengasihimu, mari menunggu buahnya dan merawat pohonmu juga dengan sukacita."

"Ya, dengan sukacita.
Ah, tapi sesekali dukapun tak apa."
Katamu sambil memberikan selang air kepadaku dan bergegas memotong ranting-ranting yang sudah tua dan mati.

Comments