Skip to main content

Feminis

Saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang membuat saya meyakini bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara. Setiap orang harus mandiri dan bisa menghidupi dirinya sendiri, tidak peduli dia laki-laki atau perempuan. Setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing, memperjuangkan apa yang menurutnya berharga, mengutarakan apa yang dia inginkan, tanpa harus mempertimbangkan apakah dia laki-laki atau perempuan. 

Sejak remaja, saya tidak bisa mengerti mengapa yang berlaku secara umum adalah para ibu yang melakukan pekerjaan rumah tangga, mendidik dan mengurus anak juga lebih dititikberatkan kepada para ibu, sementara para bapak yang bertugas memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Saya ketika itu bertanya-tanya mengapa tidak berlaku sebaliknya. Saya bergidik ngeri waktu mendengar istilah kodrat perempuan sebatas sumur, dapur, dan kasur. 

Memasuki masa SMP dan SMA, saya mempertanyakan mengapa dianggap wajar jika laki-laki yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu, tapi dianggap tabu jika itu dilakukan oleh perempuan. Mengapa laki-laki terkesan punya kewajiban melakukan antar jemput kekasihnya, membawakan barang-barang kekasihnya, dan seperti ada keharusan mentraktir jika pergi bersama. Mengapa stigma ini tidak berlaku untuk perempuan? Memangnya kenapa kalau perempuan yang menjemput atau mengantar pulang kekasihnya? Memangnya perempuan tidak sanggup membawa barang-barangnya sendiri? Kenapa kalau pergi berdua tidak bayar masing-masing saja? 

Mengapa konstruksi budaya kita membuat laki-laki harus lebih superior dan perempuan adalah subordinat dari laki-laki? Pertanyaan-pertanyaan ini ada di alam bawah sadar saya sampai akhirnya saya membaca novel-novel karya Ayu Utami ketika awal masuk kuliah. Ketika itulah saya menyadari bahwa ada orang di luar sana yang memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Setara, bukan supremasi perempuan. Lega sekali menyadari bahwa ternyata saya tidak sendirian mempertanyakan konstruksi budaya tersebut. 

Mengutip kata Yenny Wahid, kodrat perempuan itu hanya empat, yaitu haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya adalah kesepakatan. Pekerjaan rumah tangga, mendidik anak, memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sumur, dapur, dan kasur, itu adalah tugas bersama perempuan dan laki-laki. Perempuan dengan kehendak bebas memilih menjadi ibu rumah tangga dan laki-laki memilih memenuhi kebutuhan ekonomi adalah sama baiknya jika berlaku sebaliknya. Yang masih menjadi pertanyaan bagi saya adalah, jika perempuan memiliki haid, hamil, melahirkan, dan menyusui sebagai kodrat, apa yang menjadi kodrat laki-laki?

Stigma bahwa laki-laki harus bisa berkendara sama anehnya dengan stigma perempuan harus bisa memasak. Tidak bisa berkendara atau tidak bisa memasak sama sekali tidak membuat seseorang berkurang kelaki-lakiannya atau keperempuanannya. Saya masih terus belajar menjadi feminis yang adil, bukan yang oportunis dan berstandar ganda, walaupun masih sering terpeleset.

Comments

  1. Soal masak jadi sedikit merasa tersindir wkwk

    ReplyDelete
  2. Perempuan dan laki-laki, perbedaannya hanya terletak pada bentuk tubuh. Yang lainnya sama saja, sama sama manusia.

    ReplyDelete

Post a Comment