Skip to main content

Kamar Sembunyi

Semua yang pernah singgah pasti tahu bagian beranda. Karena di sanalah gerbang pertama tempat dimulai perbincangan. Hal-hal yang ringan, yang gembira, dan fakta-fakta yang hampir semua orang tahu dibicarakan di sini. Obrolan di beranda seperti tempat screening apakah ia akan mengajakmu ke dalam atau tidak. 

Lalu bagaimana dengan bagian dalam rumahnya? Seperti rumah pada umumnya, ada ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Rumah sederhana tanpa ornamen apapun, yang ia pastikan bahwa segala peralatan di rumah itu memiliki fungsi. Oh, ada satu ruangan yang pintunya selalu tertutup rapat dan letaknya agak tersembunyi, ia menyebutnya Kamar Sembunyi. Di kamar inilah ia meletakkan bagian dirinya yang gelap, memori-memori yang mengerikan untuknya, penyesalan, dan ketakutan-ketakutan baik yang beralasan maupun tak beralasan. 

Berpuluh-puluh tahun, tak ada satupun orang yang dibawanya ke sana. Ia merasa tidak perlu ada yang tahu kamar itu. Jika ia sendiri saja sesekali masih sesak napas jika masuk ke ruangan itu, apalagi orang lain. Ia takut orang yang dibawa masuk ke tempat itu akan bergidik ngeri dan lari tunggang-langgang, atau lebih halusnya permisi baik-baik dan tidak pernah kembali lagi. Bagian dirinya yang infantil takut orang akan melihatnya dengan pandangan yang tidak lagi sama. Jadi, biarlah orang mengenal dirinya dari ruangan-ruangan lain di rumah ini, tanpa kamar sembunyi.

Sampai akhirnya ia bertemu seseorang yang hanya dalam sekali duduk di beranda, ia tahu bahwa mereka akan akrab dan ia segera mengajaknya ke dalam. Dalam beberapa kunjungan berikutnya, ia menerima beberapa benda untuk dipajang di rumahnya. "Tidak semua hal harus fungsional kan?" pertanyaan yang ia dapat ketika menerima pemberian itu. Sekarang rumahnya lebih semarak, lebih hidup. Hal-hal yang pernah ia impikan dan sempat terkubur lama karena rutinitas dan keadaan, kembali muncul ke permukaan. Seperti ada lilin-lilin harapan yang kembali menyala di sudut-sudut yang selama ini tidak terjangkau.

Semua bagian rumah ini sudah ia tunjukan kecuali Kamar Sembunyi. Berhari-hari ia menimbang apakah ia akan mengajak orang ini ke Kamar Sembunyi. Di suatu sore, dengan segala kecemasan, akhirnya ia memutuskan untuk mengajak orang ini masuk ke Kamar Sembunyi. Ia memperlihatkan satu-persatu yang ada di dalam kamar itu, menceritakan detail yang paling membekas untuknya, membawanya ikut merasakan ketakutan, kegelisahan, dan bagaimana itu membentuk dirinya yang sekarang. Lawan bicaranya mendengarkan tanpa memotong sedikitpun, menatap tanpa memberikan ekspresi penghakiman, walau ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh lawan bicaranya ketika mendengarkan apa yang ia ceritakan. 

Akhirnya mereka keluar dari Kamar Sembunyi, pergi ke beranda dimana lebih banyak udara segar. Mereka melanjutkan beberapa perbincangan di sana. Ada cemas sekaligus lega. Ia cemas jika lawan bicaranya tidak akan kembali lagi, tapi di sisi lain, ia lega karena setidaknya ia sudah memberi informasi yang utuh mengenai rumah ini. Jadi keputusan apapun yang akan diambil semoga tidak bias. Mengenai apa yang lawan bicaranya kelak akan putuskan, itu di luar kendalinya. Jika tetap tinggal, maka Kamar Sembunyi sudah selesai dan tidak lagi sungguh hal yang sembunyi bagi mereka.

Comments