Skip to main content

Cerita dari Raung

Pagi di Raung, selepas Pos 9

"Itu Gunung Raung, Bang," kata saya di atas pesawat saat kami ke Banyuwangi di tahun 2018. Puncak Raung dan kalderanya sangat jelas terlihat saat kami akan mulai mendarat di Bandara Banyuwangi. Ketika itu, Gunung Raung tidak masuk dalam destinasi kami. Siapa yang menyangka, ternyata ujung timur Pulau Jawa ini menyimpan banyak tempat-tempat indah, mulai dari pantai, padang savana, hingga gunungnya tidak cukup untuk dikunjungi dalam maktu 3 - 4 hari. Ijen, Baluran, Pantai Pulau Merah, Teluk Ijo dan Benculuk menjadi tujuan kami ketika itu. Dalam hati, saya berjanji akan kembali ke Banyuwangi untuk mendaki Raung. Februari 2020, akhirnya keinginan itu terwujud.

Sampai tahun 2017, saya masih idealis bahwa mendaki gunung sebaiknya dilakukan dalam kelompok yang tidak terlalu besar dan bersama teman-teman terdekat. Seiring bertambahnya umur, saat teman-teman yang dulu mendaki bersama memiliki prioritas masing-masing, tidak lagi sempat mendaki, sulit menyocokkan jadwal, atau memiliki destinasi berbeda yang ingin dituju, saat itulah saya kepentok pada realita bahwa jika ingin tetap mendaki gunung, cara yang paling sederhana adalah ikut open trip. Mulai 2018, pendakian Binaiya di Maluku, saya memulai pendakian dengan Open Trip bersama Tiga Dewa Adventure.

Saya kembali mendaki dengan Tiga Dewa untuk Gunung Raung ini mengingat pelayanan di Binaiya kemarin memuaskan. 

Raung. Dari namanya saja sudah demikian gagah. Tidak seperti kebanyakan gunung di Jawa, mendaki gunung di Banyuwangi ini harus menggunakan pemandu dan menyiapkan peralatan panjat karena medannya yang cukup ekstrim. Kendaraan ke Gunung Raung tidak terlalu sulit. Dari Bandara Banyuwangi, naik Gojek atau Grab ke Stasiun Rogojampi sekitar 15 - 20 menit, kemudian naik kereta lokal dan berhenti di Stasiun Kalibaru sekitar satu jam. Dari Stasiun Kalibaru, begitu melihatmu membawa carrier, pasti sudah banyak ojek yang siap mengantarmu ke basecamp Raung, perjalanannya sekitar 30 menit. Mendaki Raung diwajibkan memiliki surat sehat dari Dokter, kemarin saya membuatnya di puskesmas Kalibaru. Tinggal bilang ke bapak ojeknya, dia sudah tahu kemana harus mengantar.

Berangkat dari Jakarta subuh, ambil penerbangan yang paling pagi, dan saya sudah sampai di Basecamp Bu Soetho kira-kira pukul satu siang, 5 Februari 2020. Pendakian rencananya akan dilakukan selama empat hari, tanggal 6 - 9 Februari.

Teman perjalanan kali ini

Ada dua belas peserta, sepuluh laki-laki dan dua perempuan. Mba Angga, satu-satunya peserta perempuan selain saya, ibu dari tiga anak yang berangkat dari Jawa Tengah. Ia terlibat di organisasi sosial dan bertugas menyupiri ambulans. Luar biasa sekali. Ternyata dia penggemar garis keras Sheila On 7, juga agen asuransi di tempat saya bekerja. Ia yang akan menjadi teman satu tenda saya selama perjalanan ini. 

Sepuluh peserta laki-laki lainnya masih sangat muda belia. Ada satu dari Bali yang masih kuliah semester empat, sedangkan sisanya baru lulus STM/SMK setahun yang lalu. Kebetulah sekali latar belakang mereka lumayan seragam, padahal hampir semuanya tidak saling mengenal satu sama lain. 

Kami didampingi oleh satu guide, Mas Congkrek, satu porter logistik, dan dua porter air. Kenapa ada porter air? Karena sama sekali tidak ada sumber air di sepanjang jalur pendakian. Setiap peserta diharuskan membawa empat botol air mineral ukuran 1.5 Liter untuk minum pribadi. Porter air akan membawakan air sampai Pos 7 untuk keperluan memasak dan minum kelompok. 

Hari pertama, tujuan kami adalah camp di Pos 4. Dari camp ke Pos 1, kami naik ojek. Jalurnya ampun-ampun, sangat sempit dan terjal. Yang terbayang ketika itu adalah, ini kalau saya jatuh, nggak jadi naik Raung deh. Untung saja semua peserta aman sampai di Pos 1. Dari Pos 2 sampai Pos 4 masih belum terlalu terjal, melewati perkebunan kopi. Kira-kira waktu tempuh ke setiap pos adalah empat puluh lima menit.

Hari kedua, tujuan kami adalah camp di Pos 7. Ini rasanya jalur paling terjal yang pernah saya lalui. Di beberapa tempat, bahkan dipasang tali atau webbing karena saking terjalnya, akan sangat sulit dilalui jika tidak menggunakan tali. Sama seperti sebelumnya, waktu tempuhnya masing-masing empat puluh lima menit. Tapi karena saking terjalnya, saya menghabiskan istirahat lebih lama di setiap pos. Pos 7 tempatnya cukup terbuka, terlihat pemandangan kota Banyuwangi. Setelah makan malam, jam 6 sore, kami sudah bersiap tidur karena dini hari sudah harus berangkat untuk summit. 

Perjalanan menuju puncak sejati

Hari ketiga, hari yang paling menegangkan tiba. Jam dua pagi, kami sudah dibangunkan untuk makan dan siap-siap. Jam tiga pagi, kami memulai perjalanan. Angin kencang, jalur yang sangat terjal, dan oksigen yang semakin tipis cukup membuat kami mudah kelelahan. Ditambah kami tidak boleh terlalu jauh satu sama lain, sehingga perjalanan untuk sampai Pos 9, batas vegetasi memakan waktu yang cukup lama. Rombongan pertama sampai di Pos 9 pukul lima pagi, peserta terakhir kira-kira sampai empat puluh lima menit setelahnya. 

Setelah Pos 9, jalurnya sudah terbuka, berbatu, dan berpasir. Mulai dari Pos ini, kami sudah harus mengenakan peralatan panjat seperti helm, harness, dan carabiner.  Saya kira puncak sejati cukup dua jam dari sini dan tidak lagi terlalu terjal, ternyata salah besar. Pemandangannya memang sangat bagus sejak Pos 9, tapi jalurnya ekstrem luar biasa. Jalurnya sangat kecil, kanan kiri jurang, ditambah lagi di beberapa tempat harus memanjat. Ada satu momen dimana saya harus memanjat dan tidak yakin dengan pijakan yang jadi tumpuan, kemudian ada batu kecil yang terjatuh dan menggelinding bebas ke jurang. Ya ampun, ini gw ngapain sih kesini. Saya ngomong ke diri sendiri. 

Kabut!

Lima jam perjalanan di jalur yang cantik tapi berbahaya, akhirnyaaaaa sampai juga di Puncak Sejati. Dan kejutan! Kabutnya sangat tebal, kaldera yang jadi bagian paling terkenal dari Raungnya sama sekali tidak terlihat. Kami menghabiskan waktu sedikit lebih lama di Puncak, berharap kabutnya bisa pergi sebentar dan kalderanya bisa kelihatan, ternyata tidak sama sekali. Akhirnya kami semua memutuskan turun sebelum kesorean. Saat turun, kabutnya juga sangat tebal. Ada saat kami harus berhenti karena jarak pendang sangat pendek. Dengan jalur yang demikian ekstrem, akan sangat berbahaya jika diteruskan.

Kami menghabiskan malam ketiga kembali di Pos 7. Mulai sore sampai keesokan harinya, hujan nggak berhenti sama sekali. 

Hari keempat, turun gunung. Begitu kami bangun, hujan masih sangat deras. Sebenarnya wajar, karena kami mendaki saat masih musim hujan. Sampai jam 8, nggak ada tanda-tanda berhenti. Akhirnya diputuskan untuk tetap turun. Jalur yang tadinya cuma terjal, sekarang ketambahan jadi licin. Sempat beberapa kali, saya terpeleset. Bahkan ada tempat yang saya harus merosot turunnya karena nggak memungkinkan untuk jalan. Jam tiga sore, akhirnya kami tiba kembali di basecamp Bu Soetho. 

Raung jadi gunung terekstrem saya sejauh ini. Dan rasanya cukup sekali.

Comments