Skip to main content

Telanjang

Ibu saya adalah orang yang pandai bergaul. Sejak saya masih kecil, saya tahu ia sudah memiliki banyak teman. Jaringannya luas. Mulai dari ibu-ibu muda, ibu-ibu yang sebaya dengannya, nenek-nenek, sampai abang ojek di pangkalan. Kalau kami jalan kaki dari rumah ke jalan besar untuk naik angkot, banyak sekali yang disapa, bahkan bisa berhenti berkali-kali untuk berbincang sebentar dengan orang yang berpapasan di jalan. Waktu kecil, kalau ia sudah terlalu lama berbincang, saya akan melihat wajahnya lekat-lekat, dan ia langsung akan sadar dan segera pamit dengan orang yang sedang berbincang dengannya.

Ibu saya adalah pendengar yang baik. Sejak saya masih kecil, banyak teman-temannya yang datang ke rumah untuk berbincang dan curhat kepadanya. Saya suka mencuri dengar pembicaraan orang tua, dan berkali-kali saya disuruh menjauh agar tidak mendengar obrolan orang dewasa dengan segala keruwetannya. Semakin besar, saya makin menyadari kalau ia hampir selalu menjadi pendengar untuk teman-temannya. Ia akan dengan sabar mendengarkan, dan seringkali memberi saran hanya ketika diminta. 

Yang saya bingung, ia hampir tidak pernah berbicara tentang dirinya, atau masalah pribadi dan keluarga. Ia terlihat seperti orang yang terbuka, tapi sebenarnya cukup tertutup. Saya lupa apakah saya bertanya atau bagaimana, tapi saya ingat dulu ia pernah bilang, untuk hal-hal yang sangat personal, ia hanya akan bercerita ke A atau B, ia menyebut nama teman terdekatnya ketika itu. Nggak perlu banyak-banyak orang tau susahnya kita, senengnya kita. "Belum tentu pas kita seneng, mereka juga lagi seneng. Kalo kita susah, bisa jadi mereka malah nyorakin." Ketika dulu saya masih melihat segala sesuatu hitam dan putih, yang kedua bagi saya terlalu berpikiran negatif kepada orang lain. 

Saat sudah semakin besar, saya semakin memahami, bahwa menunjukan sisi gelap atau bercerita tentang kesulitan dan keresahan kita kepada orang lain memang bukan hal yang mudah, sekalipun kepada orang terdekat. Menunjukan sisi diri yang rapuh kepada orang lain membuat kita berada di posisi yang lebih rentan. Ada ketakutan untuk dihakimi, dipandang lemah, dianggap buruk, takut merepotkan orang lain, dan ketakutan-ketakutan lainnya. 

Ternyata ketakutan tidak hanya muncul ketika menunjukkan sisi rapuh diri, tapi juga ketika sedang senang. Bagaimana kalau lawan bicara kita tidak sedang baik-baik saja, bagaimana kalau dianggap pamer, bagaimana kalau ini terlalu remeh, dan alasan-alasan lainnya yang akhirnya memutuskan untuk menyimpan segala emosi itu sendiri. 

Sama sekali tidak mudah untuk berani menunjukkan luka-luka, membuka diri untuk menyampaikan apa yang sedang dirasakan. Menjadi 'telanjang' sama sekali tidak mudah, sekalipun kepada orang terdekat. Tapi kita tahu, saat sudah berani untuk sama-sama 'telanjang', ada kedekatan yang tidak lagi sama. Kedekatan di tahap selanjutnya. Menunjukkan bagian dirimu yang paling rentan kepada seseorang dan tetap diterima dengan baik membuatmu merasa bahwa kamu tidak sendirian. Saat orang yang kamu percaya menunjukkan sisi dirinya yang paling rentan, membuatmu merasa sungguh dipercaya. 

Tidak perlu menelanjangi dirimu di hadapan banyak orang. Cukup kepada orang yang tepat. Ternyata ini pesan implisit dari ibu saya. 

Iya sih, hanya orang 'sakit' yang telanjang di tempat umum bukan. 

Comments