Skip to main content

bersambung 3..

Keep travelling, Jani! Jadi sarjana dan masuk belantara dunia kerja bukan penghalang buat tetep jalan-jalan, 
Your travelmate,

– Jagat.

***

“Gimana Jan, udah siap buat jalan besok?” Jagat bertanya tanpa menatapku. Dia sedang sibuk berusaha memasukkan barang-barang perlengkapan naik gunung ke dalam carriernya. Aku yang sudah selesai packing memilih duduk di sudut beranda rumahku sambil memeriksa senter dan kamera.

“Hmm, ini salah satu perjalanan impian gw, Gat! Bokap namain gw Anjani karena Rinjani itu gunung favoritnya. Gw nggak tau banyak tentang bokap selain lewat cerita nyokap dan foto-fotonya. Tapi semoga dengan perjalanan kali ini, gw bisa ngerasain apa yang bokap rasain tentang Rinjani.” Aku terdiam. Kaget dengan ucapanku barusan. Selama ini, kerinduan sekaligus rasa penasaranku pada sosok ayah tak pernah aku ungkapkan pada siapapun, ternasuk Ibu.

Jagat berhenti packing. Dia melihat ke arahku tanpa berkata apa-apa. Suasana canggung begitu terasa. “Eh Gat, gimana persiapan nikahan Anindita?” kataku mengalihkan pembicaraan.

“Mana gw tahu! Gw bukan penghulunya!” Jawabnya ketus sambil kembali menyelesaikan packing nya yang hampir selesai. Aku tertawa terbahak-bahak. Suasana canggung mulai menguap.

Selesai packing, kami beristirahat. Jagat menginap di rumahku malam ini karena kami harus berangkat ke Bandara jam 05.00 pagi esok hari. Jagat mendapat jatah sofa ruang tamu malam itu. “Jani, gw tidur duluan!” katanya sambil mengusirku dan merebahkan diri di sofa. Aku masuk ke kamar, merebahkan diri, tapi tak kunjung bisa tidur. Akhirnya, aku memutuskan untuk masuk ke kamar ibu. Ibu baru saja selesai berdoa malam.

“Bu, nggak bisa tidur!” kataku sambil merebahkan diri di sofa. Ibu hanya tersenyum lalu duduk di sebelahku.

“Kamu kaya anak kecil mau piknik aja, malemnya nggak bisa tidur. Udah siap semuanya untuk jalan besok?” Ibu membelai kepalaku.

“Udah, Bu. Tinggal jalan. Aku tinggal seminggu ya! Ibu jangan nakal,” kataku bercanda. Aku menjuluki ibuku sebagai SUPERIBU. Bagaimana tidak, dia membesarkan ku sendirian, sangat supportive, dan tidak pernah melarang anak perempuan semata wayangnya travelling  selama persiapan dan situasinya mendukung. Ibu tidak pernah melarangku pergi, karena dia tahu, bahwa dia yang akan menjadi alasanku untuk pulang.

“Jani, tadi Ibu nemuin foto ini di tumpukan baju – baju lama di lemari. Pas banget kamu besok berangkat ke Rinjani,” kata Ibu sambil menyerahkan foto usang yang sudah hampir rusak. Aku ambil foto itu, ada tujuh laki-laki dan tiga perempuan berjajar sambil tersenyum riang dengan latar belakang danau dan gunung di belakangnya.

“Itu foto Ibu, Bapak, sama temen-temen pecinta alam kampus dulu di Segara Anak,” katanya riang sambil menerawang. Aku meminta izin untuk membawa foto itu untuk menemani perjalananku ke Rinjani esok hari.

“Bu, aku tidur ya. Mendadak ngantuk,” kataku sambil bergegas meninggalkan kamar. 

“Jani, ini selimut buat Jagat. Kamu ini gimana, masa anak orang nginep nggak dikasih selimut.” 

“Ah, dia mah kuat, Bu. Biasa tidur di hutan,” kataku sambil mengambil selimut dari Ibu dan berjalan ke ruang tamu. Jagat sudah terlelap. Aku selimuti pelan-pelan supaya dia tidak terbangun. Wajahnya begitu damai tanpa ekspresi. Aku pandangi lekat-lekat wajahnya. Wajah ini yang akan aku lihat setiap hari untuk satu minggu ke depan.

***

Senja itu, aku dan Jagat sudah sampai di Pos Sembalun siap memulai perjalanan. Perjalanan Jakarta – Lombok lancar tanpa ada halangan yang berarti. “Berdua aja Mas, Mba? Mau langsung jalan sekarang?” Kata penjaga pos ramah saat kami melakukan registrasi.

“Iya Mas, berdua aja dan mau langsung jalan. Rencananya mau camp di Pos 2,” Jagat menjelaskan sambil membayar uang registrasi. “Jalan dulu, Mas!” Kataku pamit setelah urusan registrasi selesai. “Ayo, Gat, berdoa dulu!” Selesai bedoa, pendakian ini benar-benar dimulai.

Matahari mulai terbenam. Kami memakai headlamp. Padang sabana yang katanya cantik sama sekali tidak terlihat sekarang. Berjalan satu jam lebih tanpa henti dan tidak ada tanda-tanda Pos Satu membuatku mulai panik, ditambah lagi, rasa-rasanya jalan yang kami lalui sama persis. Jelas saja sama persis rasanya, karena kami melalui padang sabana tanpa pohon. Jagat berjalan di depanku, kadang berhenti sejenak, memastikan jalur yang kami lewati benar. Kami tidak banyak bicara. Jalan berdua di tengah gelap yang cukup mencekam dan di tengah rimba Rinjani membuatku sibuk berdoa dalam hati. Di saat seperti ini, saat uang tak ada artinya, saat gadget tak ada fungsinya, saat hanya ada dirimu dan seorang teman jalanmu, Tuhan rasanya begitu dekat.

“Gat, ini jalan kita bener kan? Keluarin tali rafiah dulu ya. Ngasih tanda jalan yang kita lewatin,” aku berhenti sejenak. Aku tidak berani menanyakan kenapa kita tidak kunjung sampai dan jalan yang kita lewati tidak ada bedanya. Jangan-jangan, kita hanya jalan berputar-putar.  Hiiii.

“Iya bener kok. Nggak ada percabangan lagi harusnya,” katanya santai. Nada santainya membuat resahku sedikit terobati.

“Gat, liat ke atas! Bintangnya banyak banget!” kataku berusaha meramaikan perjalanan ini. Menutupi rasa gugup dan takut.

“Wow, iya. Di kota mana bisa liat yang kaya gini. Udah kena polusi cahaya sama polusi udara. Ehhh, Jani! Liat, itu pos satu di depan!” Jagat agak berteriak. Aku menarik napas lega. Terimakasih, Tuhan. Akhirnya, kami sampai di Pos Satu, mengeluarkan makanan ringan dan minuman, istirahat sejenak.

Perjalanan menuju Pos  2 sudah jauh lebih rileks. 1.5 jam kemudian, kami tiba di Pos 2. Tenda langsung didirikan dan makan malam harus segera dimasak. Sambil memotong bawang, aku memulai pembicaraan, “Anindita mantan lo satu-satunya, Gat?”

“Haha, iya. Lo kenal dia nggak sih?” Dia menjawab santai sambil mengecek nasi yang sedang dimasak di nesting. Aku heran, biasanya dia selalu menghindar jika ditanya tentang Anindita.

“Nggak. Gw cuma tau dari yang lain aja. Katanya kalian berdua cocok banget ya. Putus kenapa?” tanyaku langsung to the point. Yang aku tahu, Anindita memutuskan hubungannya dengan Jagat karena masalah perbedaan agama. Orang tua Anindita tidak menyetujui hubungan mereka.

“Ah, pura-pura gak tau lo Jan! Haha. Kadang Tuhan cuma berniat mempertemukan, bukan mempersatukan. Eh, ni airnya udah mendidih, cemplungin bayemnya!” Jagat mengambil bayam yang sudah aku petiki dan memasukkannya ke air mendidih.

“Terus, lo masih sayang sama dia?” Aku bertanya lagi sambil mengaduk-aduk bayam.

“Lima tahun jadian Jan! Udah dua tahun gw putus. Jangan bilang sayanglah, gw lebih suka istilah mengasihi. Yaaa, gw mengasihi Anindita, tapi udah nggak lagi “menginginkan”. Mengasihi itu membebaskan harusnya.”

“Terus, kenapa lo kabur ke sini dan nggak mau dateng ke nikahannya dia kalo emang lo udah nggak menginginkan?” kataku penuh selidik bak wartawan infotainment.

“Sssstt, berisik! Itu nasi sama bayemnya udah mateng. Ayo masak telornya, gw laper nih.” Kalau sudah begini, Jagat sudah tidak bisa diselidiki lagi.

Setelah kenyang dan membersihkan alat masak, kami masuk ke kantung tidur masing-masing, bergegas tidur. Dingin mulai menyengat. Suara tonggeret bersahut-sahutan seolah ada dirigen yang memimpin mereka. “Malem, Gat!”

“Hmmm..” Jagat menjawab dengan kesadarang yang tinggal setengah. Tak lama kemudian, kami masuk ke alam mimpi masing-masing.

bersambung...

Comments

  1. ran, klo udah tamat, coba dh kirim k penerbit, untung2an, siapa tau dterima, bgus kok critanya, aq aja yg gk trtarik naik gunung suka, apalagi yg hobi, aq ngiri dh kmu bsa nulis bgus gtu, aq jga pngen bisa, ajarin dong

    ReplyDelete
  2. Haha, ini peer doang ja sbnrnya. 1 atau 2 part lg harusnya selesai. Btw, saran dan kritik sangat diterima loh.

    ReplyDelete

Post a Comment